Tipuan Reshuffle Kabinet

source: http://aquarianradio.com/
Istimewa

Jokowi saat ini hampir pasti akan melakukan reshuffle kabinet. Di akhir Juni lalu, Jokowi telah meminta laporan kinerja menteri yang jadi bahan evaluasinya. Sejumlah politisi partai bahkan telah mengklaim Jokowi sudah sepakat reshuffle dilakukan pasca lebaran, meski hingga saat ini belum ada kejelasan.

Telah lama memang sejumlah pihak mengusulkan adanya reshuffle kabinet. Sebagian kalangan beranggapan bahwa buruknya kinerja pemerintahan Jokowi-JK diakibatkan oleh menteri yang inkompeten. Sebagian lainnya meminta Jokowi-JK memberi lebih banyak kursi menteri dari partai pemerintahan. Jokowi sendiri akhirnya mengambil sikap akan merombak kabinet setelah desakan dari partai pendukungnya semakin kencang.

Hembus angin reshuffle kabinet ini memang datang dalam situasi nasional yang cukup genting. Pemerintah dianggap mensponsori upaya pelemahan KPK. Publik juga dipertontonkan bagaimana perlindungan terhadap koruptor saat ini begitu vulgar dan dipaksakan dalam prosedur hukum yang membuat ketidakpastian hukum dan kegaduhan politik. Buruknya kinerja ekonomi dan dampak perekonomian global pun membawa ancaman krisis ekonomi bagi Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, upaya reshuffle kabinet diharapkan menjadi jalan keluar agar mampu mendongkrak kinerja pemerintah.

Beberapa pos menteri santer dikabarkan akan dicopot, mulai dari pos Menko Perekonomian, Menkopolhukam, Menkumham, Kepala Bapenas, hingga Menteri BUMN. Proporsi profesional-partai memang jadi tarik menarik. Menteri dari partai pemerintahan bahkan menghembuskan kabar bahwa ada menteri berlatar belakang profesional yang ‘menghina’ presiden yang sebaiknya diganti demi wibawa presiden. Partai mulai mengirim sinyal bahwa upaya reshuffle haruslah mementingkan posisi menteri dari partai koalisi dan bukan profesional.

Memilih dan memberhentikan menteri tentu saja merupakan hak prerogatif presiden. Idealnya dalam mengganti menteri, presiden telah mampu menempatkan The right man in the right place karena telah melalui masa trial and error. Namun faktanya, dalam desain politik kita, presiden harus mengakomodir calon dari parpol, layak atau tidak, demi terkonsolidasinya pemerintahan. Tentu pemerintah dihadapkan pada dilema antara memperkuat koalisinya atau mengutamakan agenda publik dengan memilih profesional.

Pintu Reshuffle tentunya membuka kemungkinan terakomodasinya berbagai macam agenda politik. Setidaknya kita dapat melihat ada 3 kemungkinan yang sedang diupayakan dalam masa reshuffle ini: Pertama, pintu ini menjadi ajang Jokowi untuk mengonsolidasikan kabinet baik dari partai pemerintah maupun non pemerintah untuk memperkuat posisi politiknya. Kedua, menjadi ladang pertarungan partai politik untuk mendapatkan jatah kursi kabinet yang lebih banyak ataupun masuk pemerintahan bagi mereka yang sekarang tidak mendapatkan jabatan. Dan ketiga adalah anggapan optimis bahwa Jokowi memilih para profesional dan memperbaiki citranya dengan tujuan memperbaiki agenda-agenda prioritas pemerintahan yang terseok-seok selama ini.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan partai-partai pendukung pemerintah dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sepertinya menjadikan momentum ini untuk menambah kursi. Indikasinya sudah terlihat dari kisruh yang sengaja dihembuskan oleh PDIP dan partai KIH lainnya soal menteri yang menghina presiden. Tikam-menikam antar menteri dari partai politik dan profesional secara vulgar ditunjukan dengan dalil-dalil yang tidak jelas dan tidak dibuktikan. Dari gelagatnya, blok KIH seakan resah dengan keberadaan para menteri non partai yang menjadi penghalang komunikasi politik mereka dengan Jokowi.

Partai pendukung pemerintahan, terutama PDIP memang saat ini justru dianggap sebagai penghambat kerja presiden dengan rongrongan politiknya. Situasi anomali ini diperparah dengan ketidaktegasan presiden sendiri dalam mengambil keputusan politik dan menolak titah sang ibu suri. PDI-P jelas menjadikan isu reshuffle ini sebagai arena “laga” untuk mendapatkan kursi lebih banyak, dan menyingkirkan sosok menteri yang tidak disukai.

Sedangkan atas restu partainya pula, Jokowi juga berencana menggandeng Koalisi Merah Putih (KMP) dalam kabinetnya. Komunikasi politik yang telah terjalin selama ini antara Jokowi dan KMP menunggu untuk disahkan dalam struktur kabinet. Contohnya ada dua nama dari Partai Amanat Nasional (PAN) disebut-sebut berpeluang untuk menjadi pembantu presiden, yaitu Drajad Wibowo dan Bara Hasibuan. Jelas manuver tersebut ditujukan untuk memperkuat posisinya di parlemen. Dukungan KIH saja memang tidak cukup,apalagi kalau dukungan itu labil, penuh dengan tawar-menawar dan bahkan menjadi biang kegaduhan.

Jika melihat manuver-manuver politik yang dilakukan menjelang reshuffle ini maka sepertinya memang prioritas masih dalam tahap mengonsolidasikan kekuatan pemerintah dan partai politik saja. Merangkul yang dianggap bisa setia kepada Jokowi, lalu menyingkirkan mereka yang dianggap sebagai duri. Belum ada tanda-tanda ada upaya memilih the right man in the right place sebagai upaya perbaikan ekonomi maupun perbaikan agenda-agenda lain yang terpuruk selama ini.

Politik dagang sapi memang seakan jadi keharusan dalam desain institusional yang mengharuskan adanya koalisi partai-partai. Terutama saat situasi parlemen yang terbelah dan perlu ada upaya mengamankan agenda pemerintah di DPR lewat partai yang berkoalisi.  Namun saat kondisi anomali seperti dalam pemerintahan Jokowi-JK ini saat batas antara dua faksi jadi kabur, posisi kabinet seolah “diobral” ke siapa saja yang mau untuk menyokong stabilitas posisi pemerintah.  Maka sangat terasa, agenda reshuffle ini kemungkinan besar hanya untuk memuaskan syahwat para politisi yang tak kebagian posisi sebelumnya, dengan cara menjual diri kepada pemerintah demi mendapat kekuasaan.

Sulit juga berharap reshuffle kabinet ini memang untuk perbaikan kinerja pemerintahan. Kalau konsolidasi sukses, mungkin kestabilan posisi pemerintah bisa tercapai, namun itu bukan berarti pemerintah menjadi lebih berkomitmen terhadap agenda publik, bisa jadi sebaliknya. Karena kondisi yang tercipta bisa jadi tetap konsolidasi para oligark pendukung pemerintah yang kembali ingin memenuhi pundi-pundinya. Persoalan ekonomi yang sangat krusial ini pun sangat mungkin terabaikan. Jika pemerintah gagal memperbaiki kinerja dan salah menerapkan kebijakan ekonomi, krisis pun menghampiri Indonesia.

Kondisi itu seolah-olah membuat upaya reshuffle ini lebih kepada konsolidasi para pendukung pemerintahan Jokowi, dengan memasukkan mereka yang potensial menjadi kawan dan menyingkirkan lawan, daripada untuk tujuan perbaikan kondisi bangsa.