Orde Baru mengusung kritik atas Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Presiden Soekarno. Masa kekuasaan Soekarno itu sarat ideologisasi pada hampir semua aspek kehidupan. Paradigma tersebut seolah membuat semua permasalahan, dari krisis ekonomi, politik, hingga urusan rumah tangga seolah bisa selesai dengan dalil idiologi. Hal ini justru bersifat kontraproduktif dan jauh dari nilai-nilai demokrasi.
Rahman Tolleng saat itu tampil sebagai rujukan aktivis pergerakan lewat organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan koran mingguan Mahasiswa Indonesia. Pemikiran Rahman Tolleng dipengaruhi Daniel Bell seorang sosiolog Amerika. Saat itu pada tahun 1960-an demagogi PKI (Partai Komunis Indonesia) seakan-akan dianggap paling mampu menjawab problem rakyat tertindas. Namun bagi kalangan cendekia pandangan itu justru kehilangan relevansi.
Pada masa itu, negara-negara kapitalistik mulai mengadopsi sistem sosialis, misalnya, buruh diberi hak kepemilikan saham perusahaan di tempat mereka bekerja. Program ESOP (Employee Stock Ownership Plan) ini menyangkal teori pertentangan kelas yang selalu menjadi mantra sakti pengikut komunis. Tetapi, Daniel Bell juga menilai kapitalisme menghadapi ancaman baru tumbuhnya hedonisme yang menggerus etos puritanisme dan asketisme.
Di titik ini, Rahman Tolleng pada awal Orde Baru terlibat merumuskan platform kekaryaan Golkar berorientasi partai politik modern. Pelembagaan politik untuk memperjuangkan kepentingan pekerja, petani, guru, nelayan, dan kelompok-kelompok fungsional lainnya.
Wajar kemudian Orde Baru dilekatkan atribut pemerintahan teknokratik karena mengedepankan keahlian spesifik ketimbang jargon ideologis ala Soekarno. Sialnya tujuan Rahman Tolleng dan kawan-kawan patah di tengah jalan. Bahkan, harus diganjar jeruji besi oleh rezim Orde Baru yang ia perjuangkan.
Agenda Reformasi
Tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto pun setelah 32 tahun berkuasa mundur. Penanda rezim Orde Baru tumbang. suasana gegap-gempita dirasakan memasuki era yang disebut reformasi. Kini 25 tahun berlalu, ternyata agenda reformasi melenceng. Banyak pihak menganggap reformasi dibajak oligarki.
Kita sudah melaksanakan empat kali Pemilu langsung, indikator pelaksanaan demokrasi. Namun pelembagaan politik tidak kunjung terwujud. Sebaliknya personalisasi politik semakin tampak nyata. Kompetisi Pemilu ditentukan figur elite, dan bukan adu platform atau program kerja partai politik. Calon anggota legislatif, bahkan calon presiden hanya mengandalkan pencitraan meraih popularitas.
Rahman Tolleng pada seminar Asosiasi Sarjana Komunikasi Indonesia di Bandung mendefinisikan reformasi adalah mendamaikan ketidaksabaran dan ketakutan. Pihak reformis tidak sabar ingin segera menuntut perubahan total. Di sisi lain mereka yang diindikasikan anasir rezim Orde Baru takut terhempas gelombang reformasi.
Tegangan ini membuat tidak adanya ruang untuk merumuskan konsepsi pelembagaan politik demokratis. Karenanya, partai politik sekarang dominan dihuni anasir Orde Baru yang bersembunyi di balik narasi reformasi. Dan mereka yang mendaku aktivis reformasi 98 terlihat gagap.
Keadaan menuntut kita harus refleksi sejenak ditemani secangkir kopi di Pojok Rahman Tolleng untuk menemukan kembali elan vital reformasi.