Duet Maut Penguasa dan Pengusaha Memanipulasi Hak Asasi Manusia

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP), menyambangi Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Kamis, 8 Juni 2023. Ia hadir sebagai saksi dalam sidang pencemaran nama baik dirinya oleh Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar setelah seminggu sebelumnya mangkir.
fatia mauldiyanti

Persidangan tersebut dijaga ketat oleh aparat keamanan, bahkan beberapa penasehat hukum dan mayoritas warga yang hendak menonton dilarang masuk ke ruang sidang. Namun yang jauh lebih penting, persidangan ini jelas-jelas menunjukan tontonan bagaimana negara dan aparat penegak hukum memanipulasi pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM).

Proses manipulasi akan pemahaman hak asasi manusia itu terjadi sejak agenda sidang yang diselenggarakan sebulan sebelumnya pada 8 Mei 2023. Dalam agenda sidang jawaban atas eksepsi penasihat hukum, tim jaksa mendalilkan bahwa hak asasi manusia adalah milik semua warga Indonesia. Jaksa berkesimpulan bahwa LBP sebagai warga negara juga memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum, dan memiliki hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, serta martabat miliknya.

Jaksa Penuntut Umum dalam Persidangan Fatia dan Haris

Fenomena ini menarik untuk diulas. Setidaknya pernyataan jaksa di atas menunjukan pemahaman yang salah kaprah dalam memaknai konsep hak asasi manusia. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan seharusnya paham tentang tanggung jawab negara yang memposisikan pemerintah sebagai pihak yang wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.

Upaya pemenuhan HAM memposisikan warga sebagai pemegang hak (rights holders) dan negara, termasuk lembaga Kejaksaan, sebagai pemegang tanggung jawab (duty bearers). Dalil ngawur tentang HAM oleh jaksa di atas justru menimbulkan narasi bahwa penerapan HAM di Indonesia diselenggarakan bukan untuk warga tetapi untuk kekuasaan itu sendiri.

Jika kita telusuri tonggak sejarah diskursus HAM, maka dalil jaksa mengenai membela hak LBP menjadi ahistoris. Baik dari Kitab Hammurabi, Piagam Madinah, Magna Charta, hingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), secara umum menekankan hak asasi manusia adalah perisai bagi warga untuk melindungi diri dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Pemahaman tersebut berkebalikan dengan langgam hak asasi manusia nyaring didengungkan oleh jaksa sebagai representasi dari LBP yang merupakan pejabat negara. Bagi mereka hak asasi manusia justru ditujukan dari, oleh, dan untuk kekuasaan seorang pejabat.

Jessica Whyte seorang akademikus di University of New South Wales, Australia menjelaskan bahwa peristiwa tersebut terkait dengan dengan pengaruh doktrin neoliberalisme dalam penerapan hak asasi manusia. Melalui bukunya yang berjudul The Morals of the Market: Human Rights and the Rise of Neoliberalism, Whyte hendak mengungkapkan bahwa kelindan hak asasi manusia dengan doktrin neoliberalisme sudah terjadi sejak proses awal kelahiran DUHAM tahun 1947.

Diskursus hak asasi manusia berhasil diboncengi oleh para punggawa neoliberalisme seperti Friedrich von Hayek sebagai sokongan moral dan hukum bagi tatanan pasar liberal. Belajar dari paham liberal klasik abad ke-19, Whyte (2019) mengatakan bahwa punggawa neolib lain dari Chicago School, Milton Friedman dalam Neo-Liberalism and its Prospects (1951) juga mengatakan hal yang senada. Neoliberalisme membutuhkan peran negara dalam pemeliharaan ketertiban dan penegakan kontrak atau perjanjian. Artinya, ruang intervensi negara untuk menciptakan kondisi persaingan perlu diperbanyak daripada yang sudah pernah ada pada era laissez-faire abad ke-19.

Karena pasar menjadi institusi keramat bagi paham neoliberalisme, maka dimensi kehidupan manusia diukur melalui standar ekonomi belaka. Manusia direduksi menjadi homo economicus, di mana tujuan mencapai keuntungan material secara maksimal diutamakan melalui efisiensi, deregulasi dan privatisasi berbagai bidang kehidupan. Selain itu, hampir semua kebijakan publik diukur berbasis pendekatan pasar semata.

Lalu di mana kaitannya dengan hak asasi manusia? Whyte dalam wawancara yang berjudul How Neoliberalism Embraced Human Rights (2021) mengatakan bahwa bagi kaum neoliberal, hak asasi manusia digunakan untuk melindungi masyarakat sipil dan wilayah pribadi individu seperti hak milik pribadi dari tantangan politik (negara). Hal ini juga berlaku dalam skala internasional yang berarti untuk melindungi para investor dengan bebas keluar masuk menempatkan modalnya.

Menurut Whyte, inilah taktik jitu kaum neoliberal untuk mendepolitisasi negara. Pembatasan peran negara digencarkan demi pelestarian pasar kompetitif dari intervensi politik. Pertanyaan selanjutnya, jenis politik macam apa?

Dalam wawancara yang sama, Whyte menjelaskan bahwa apa yang sungguh ditakuti oleh kaum neoliberal sebenarnya bukan negara tetapi kedaulatan rakyat. Kaum neoliberal was-was dengan paham kedaulatan rakyat versi filsuf Perancis J.J Rousseau yang mana wajah kedaulatan rakyat itu terejawantahkan melalui institusi negara. Posisi ambivalen kaum neoliberal terhadap negara membuat mereka harus senantiasa mengawasi ketidakpuasan sosial dan ancaman terhadap pasar.

Dalam konteks kasus Fatia-Haris, hasil riset koalisi Bersihkan Indonesia yang disuarakan mereka di kanal Youtube dinilai sebagai ancaman bagi kaum penguasa cum pengusaha seperti LBP. Kajian tersebut memberikan informasi kepada publik bagaimana kebijakan negara dikangkangi kepentingan untuk mengeruk profit oleh pejabatnya sendiri dalam kasus tambang di Papua. Lebih jauh lagi, kita dapat melihat ini sebagai fenomena bangkitnya politik kedaulatan rakyat. Khususnya bagi rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri dan juga gerakan dalam mengelola sumber daya alam mereka sendiri.

Aksi solidaritas terhadap Fatia dan Haris di Persidangan

Upaya untuk pengelolaan sumber daya alam secara independen itu membuat argumen Whyte relevan pada kasus antara LBP dan Fatia-Haris. Whyte menjelaskan bahwa bagi kaum neoliberal, gagasan merebut kembali sumber daya alam bertentangan dengan gagasan kepemilikan sumber daya alam yang diukur melalui standar permintaan dan penawaran pasar bebas. Dalam mekanisme pasar, ukurannya hanya kuasa modal sebagai tolok ukur daya beli.

Kekuasaan modal yang dilandasi paham neoliberalisme seperti pada kasus Fatia-Haris dan tambang di Papua mengharuskan gerakan demokrasi dan hak asasi manusia tak hanya mengarahkan senjata kritiknya kepada kekuasaan negara. Almarhum Herry B. Priyono (2022) mengatakan fenomena mengguritanya kekuasaan bisnis merupakan tanda bahwa locus atau tubuh kekuasaan tidak lagi tunggal tetapi jamak.

LBP bukan sekedar pejabat publik tetapi juga simbol dari perkawinan antara kuasa dan harta. Disebutkan dalam riset Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua Kasus Intan Jaya yang menjadi akar kasus Fatia-Haris, LBP melalui perusahaan Toba Sejahtera Group berupaya mengeruk sumber daya alam di Papua. Tak hanya di sektor batu bara, gurita bisnis LBP juga merambah sektor minyak, gas, perkebunan, kehutanan, properti, kendaraan listrik, dan infrastruktur.

Kesadaran akan jamaknya kekuasaan yang menjadi target gerakan demokrasi dan hak asasi manusia merupakan kunci masyarakat sipil menangkal gerakan tersebut diboncengi kepentingan kekuasaan dan bisnis. Sebab, jika kekuasaan bisnis dibiarkan lolos dari prinsip demokrasi dan hak asasi manusia maka rumus kekuasaan dari Lord Acton benar-bernar berlaku: Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.

LBP sebagai representasi perkawinan antara kuasa dan harta, memaksa gerakan demokrasi dan hak asasi manusia bekerja ganda. Sebagai pejabat negara, pengawasan dan transparansi LBP mesti diukur melalui kebijakan publiknya. Sedangkan sebagai pengusaha, gerak gurita bisnis LBP musti dipagari dengan tanggung jawab tata kelola dan akuntabilitas.

Dalam kasus Fatia-Haris maupun pengerukan sumber daya alam di Papua, neoliberalisme berhasil mengelabui diskursus hak asasi manusia di bawah ketiak kekuasaan bisnis atau modal. Hanya melalui penerapan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia pada kekuasaan modal, setidaknya dapat mengembalikan diskursus HAM kepada khittahnya yang memiliki elan politik revolusioner. Dengan demikian, kita dapat memastikan dihadapan kuasa dan harta bahwa dalil hak asasi manusia akan bertindak sebagai pelindung warga.

*) Fian Alaydrus adalah peneliti di Haris Azhar Law Office