Cerita tentang Mesin Uap

Semua itu tentu tak dapat dijalankan tanpa landasan care atau kerja merawat. Ia berlandaskan keyakinan bahwa semua orang dibebaskan mencari apa yang terbaik bagi dirinya sembari sadar di akhir hari kita tidak bisa lepas dari hidup kolektif.
Sorgemagz/Fransiskus Adi Pramono

Petang itu, satu per satu dari kami tiba di Lembang. Beberapa datang bergerombol dengan kendaraan, sebagian datang sendiri. Ada yang susah payah menembus kemacetan Jakarta, ada yang tertimpa kemalangan di jalan, ada yang datang sedari awal mengurus banyak keperluan, tapi hampir semuanya datang dengan hati yang kalut. Di jalan menanjak dari arah Bandung, saya berkelakar mencoba memecah keheningan dalam mobil: “Ini rasanya sama seperti malam kita biasa diundang mendadak untuk datang ke Lembang.” Namun kami semua tahu, ini untuk kali yang terakhir.

Sebelumnya, kabar duka berpulangnya Budiyoga Permana menyebar cepat pada siang hari. Berapa kali pun mendengar kabar seseorang yang kita kenal meninggal dunia, selalu ada ruang untuk tidak percaya, ketidaksiapan, ketakutan. Keseharian yang kita jalani dengan dengan anggapan bahwa semua akan berjalan seperti biasa mendadak terkacaukan. Selanjutnya, yang bisa kita lakukan hanyalah mencari kepastian, berbagi kesedihan, saling menguatkan.

Dan petang itu di Lembang, di rumah Yoga yang pernah kami singgahi berkali-kali, saya dapati kumpulan orang yang sudah saling mengenal hingga belasan tahun. Tentu tanpa peristiwa kedukaan, hampir tidak mungkin sebanyak ini bisa meriung. Sembari berbincang di depan rumah, saling bertukar kabar, beberapa kali secara naluriah saya dan beberapa kawan menengok ke atas balkon. Tempat biasanya kami menghabiskan sisa malam sembari sembunyi-sembunyi menyesap asap rokok.

Di balkon itu biasanya berbagai kelakar, obrolan filsafat, evaluasi kegiatan, situasi politik, hingga masalah asmara didedah hingga larut. Sialnya, ada kebiasaan Yoga untuk tiba-tiba mengajak kami ngobrol di tengah malam ketika sedang siap tertidur. Undangan mendadak seperti itu biasanya saya jawab tergantung pada tingkat kantuk, cuaca, dan suhu dingin di Bandung. Setelah matahari terbit, kami biasa menutup kunjungan ke Lembang dengan menyantap roti balok dan segelas teh lemon hangat.

Juga di pagi itu, sekawanan kami kembali bertahan tanpa tidur. Kali ini sembari melayangkan obrolan untuk menutupi kesedihan. Meski bisa berkelit di antara berbagai alasan kesibukan, urusan keluarga, atau kepentingan pribadi, banyak yang memilih rela hadir untuk mengantar kepergian Yoga ke tempat peristirahatan. Jika ditanya kenapa banyak yang mau tetap tinggal selarut itu, mungkin jawabannya ada pada ingatan kebersamaan. Sejalan dengan waktu, banyak yang telah dilalui dan dikerjakan bersama dalam keriaan, kepedulian, kenyamanan, kesedihan, kemarahan, kekecewaan.

Tentang Gagal yang Biasa

Cerita itu tentu bisa bermula dari mana saja. Bagi saya, cerita pertemuan dengan Yoga bermula di bangku panas depan klinik kampus atau pintu Media Parahyangan yang dibuka paksa. Mulai dari sana kita belajar bersama tentang hal-hal yang sebelumnya tidak begitu kita mengerti: dunia menulis, mencetak tulisan, situasi politik, diskusi filsafat, mengorganisir gerakan, menyiapkan kampanye, menjalani keseharian sebagai mahasiswa. Namun ketidaktahuan juga berarti sebuah kesempatan bagi manusia yang ingin berkembang.

Dari ruangan itu, berbagai macam pemahaman disemai dan diuji. Berbagai macam pengetahuan yang kami dapatkan di ruang kelas universitas didiskusikan dan dikritisi. Tulisan, musik, dan film yang kita konsumsi saling ditukar dan dibahas. Bahkan kepercayaan-kepercayaan personal kita pun boleh dibagi dan memungkinkan untuk dipertanyakan. Satu-satunya tiket untuk bisa masuk dalam lingkaran percakapan tersebut adalah kebebasan berpikir. Bagi Yoga hal tersebut merupakan prasyarat mendasar bagi dimungkinkannya demokrasi, kemanusiaan, kesetaraan, solidaritas, dan keberagaman. Termasuk menghindarkan kita menjadi fasis sejak dalam pikiran.

Budiyoga Permana (Sorgemagz/Adhito Harinugroho)

Proses belajar pun bisa di mana dan berbentuk apa saja. Ada yang bereksperimen membentuk band dengan bermacam aliran, mengelola koperasi, menginisiasi sekolah untuk anak-anak, membuat video, mengadakan berbagai kelas seminar, mendesain terbitan, demonstrasi di kebun binatang, berkebun, berjualan buku, hingga corat-coret tembok kampus. Kadang kami bisa mengunjungi serikat petani atau buruh, kelompok seniman, sekretariat mahasiswa di lain kota, atau perkumpulan penuh asap rokok lainnya. Namun yang lebih penting, segala kegiatan itu adalah upaya untuk belajar mengenai value, mengisi yang hilang dalam transaksi pengetahuan di lembaga pendidikan formal. Maka tak heran jika seorang kawan berkelakar bahwa baginya kuliah adalah ruang-ruang belajar informal tersebut, sedangkan kelas universitas adalah ekstrakulikulernya.

Tentu melaksanakan berbagai aktivitas tersebut bukan tanpa ancaman dan kecurigaan dari pihak universitas. Beberapa kali kegiatan yang kami lakukan diawasi aparat keamanan, diancam dibubarkan, anggaran dilenyapkan, hingga diancam sanksi. Bermacam tuduhan sebagai gerombolan komunis, kelompok radikal, pengacau keamanan, hingga antek asing sudah pernah disematkan kepada kami. Kehadiran Yoga sebagai seorang alumni berbadan besar dan bersuara lantang tentu juga dianggap oleh otoritas kampus sebagai pengaruh buruk bagi anak-anak mahasiswa yang diharuskan bersikap jinak. Tapi dia tidak ambil pusing dengan berbagai tudingan tersebut, malah bisa menjadi bahan kelakar di kemudian hari. Pernah aktif di gerakan reformasi, baginya berbagai cap buruk itu tidak seberapa dengan ancaman kekerasan negara.

Yoga paham betul dengan konsekuensi logis dari pilihannya untuk terjun kembali ke gerakan mahasiswa. Apa yang ia lakukan tentu harus dibayar dengan berkurangnya waktu untuk keluarga dan mengorbankan kesempatan mengejar kepentingan privatnya. Namun beberapa kali, secara serius ia menjawab mengapa masih mau menyambangi kampus di tengah stereotip negatif tersebut: “Gua ngga pengen anak-anak gua harus lari-lari di jalanan dikejar polisi kaya gua dulu.” Nampaknya, harapan itu harus ditemui dengan kekecewaan melihat kondisi demokrasi Indonesia yang makin terpuruk dibayangi otoritarianisme.

Lalu apakah ini berarti segala upaya yang Yoga upayakan dan investasikan menemui kegagalan? Yang pasti, pada momen beberapa kali kami kalah di ajang pemilihan presiden mahasiswa, ditolak cintanya, atau gagal mendapat beasiswa, dia selalu menjawab: “gagal itu biasa, justru kalau kita berhasil itu yang baru luar biasa!”. Dengan kata lain kekalahan, kegagalan, merupakan sesuatu yang lumrah hadir dalam keseharian di antara banyak orang. Nampaknya, ungkapan tersebut terkait dengan penggambaran sosok Sutan Sjahrir, sosok yang sering muncul dalam diskusi-diskusi bersama Yoga. Pada tulisan perpisahan oleh Soedjatmoko, Sjahrir digambarkan sebagai orang yang gagal dalam politik namun menunjukkan kebesarannya sebagai seorang manusia.

Kegagalan tentu bukan sesuatu yang melulu perlu diromantisasi, namun harus terus diupayakan untuk dilampaui. Meski kita paham betul, menemukan kemauan untuk terus mencoba ditengah bertumpuk-tumpuk kegagalan bukanlah hal yang mudah. Tapi mungkin dengan menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang lumrah, kita bisa bertolak dari keterpurukan dan melanjutkan perjuangan. Bahkan justru di saat yang paling terpuruk adalah momen yang paling tepat untuk berubah dan bergerak. Saya bayangkan Yoga akan menimpali dengan retorika favoritnya yang lain: “Tempalah besi ketika panas!”

Jangan Lupa Bersenang-senang

Alkisah pada rapat pembentukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Wisma Tempo Sirnagalih tahun 1994, Arief Budiman dalam sebuah diskusi menyampaikan ucapannya yang terkenal untuk menyemangati para jurnalis: “Keep the hard work, and don’t forget to have fun!” Kata-kata itu menggema di banyak kalangan, dan menjadi salah satu pegangan untuk menghindari burnout dalam menjalankan beragam aktivitas. Bagi kami saat lampau, hal itu bisa sesimpel mengeluarkan meja, pengeras suara, dan komputer ke lapangan parkir dan menari dengan lagu-lagu .mp3 di sepanjang malam.

Berhubung banyak dari kami yang bermain musik, muncullah ide untuk mengadakan semacam gigs kecil-kecilan di lapangan parkir tersebut. Tentu karena nihilnya pendanaan, kami meminta kesukarelaan siapapun yang memiliki alat musik dan peralatan sound system untuk dipinjam satu malam itu. Para penampil bisa siapa saja dan dalam bentuk penampilan apa saja, syaratnya tinggal menuliskan diri di sebuah papan tulis kecil. Ternyata banyak yang ingin tampil dan penonton datang termasuk yang dari luar kota. Pertama-tama nama gigs sederhana ini berganti-ganti mengikuti kondisi, hingga pada satu waktu, nama gigs tersebut mengerucut pada apa yang diusulkan Yoga: Sorge.

Poster elektronik Sorge Gigs #1 (Sorgemagz/desain oleh Ashari Panji)

Ia mengambil istilah tersebut dari pemikiran Heidegger, yang secara luwes ia artikan sebagai kata ajakan “terlibatlah”. Jika ditelusuri lebih jauh kata Sorge sendiri lekat dengan pemaknaan akan care (kepedulian, perawatan, perhatian, keterlibatan, keprihatinan, dsb) dan laku meng-Ada-pada-dunia. Dengan demikian kata tersebut merepresentasikan gagasan yang mengambil jarak dari kekejaman alat-alat kekuasaan dan hidup yang melulu berpusat pada kepentingan privat atau akumulasi kapital. Sesuatu yang jelas tak hadir pada politik akhir-akhir ini.

Sedari awal, Yoga mengajak untuk mengimajinasikan laku Politik di luar carut-marut yang saat ini nampak pada tampuk kekuasaan. Jika politik kini begitu kental dengan adu pengaruh dan kekayaan, bagaimana jika kita mengimajinasikan Politik yang lebih peduli dan melibatkan? Jika banyak orang mudah hanyut dengan janji populisme, kenapa tidak kita lantang menentang meskipun bakal tak diterima banyak kalangan? Kami lalu mencoba mengolah sebuah media, bereksperimen dengan berbagai media, dan menyuarakan hal yang krusial meski tak ramai dibicarakan. Kemudian pengorganisasian pun coba dijalankan dengan bentuk koperasi berdasarkan pengalaman serta nilai dasar yang kita sepakati. Tentu dengan tak lupa mengupayakan apa yang mungkin kita senangi: bermain musik, menghadirkan konser, membuat album, merekam gambar, menyajikan hidangan, makan bersama. Semua itu tentu tak dapat dijalankan tanpa landasan care atau kerja merawat. Ia berlandaskan keyakinan bahwa semua orang dibebaskan mencari apa yang terbaik bagi dirinya sembari sadar di akhir hari kita tidak bisa lepas dari hidup kolektif.

Harus diakui, menjalankan laku care atau kerja merawat bukanlah hal yang mudah dilakukan. Seseorang harus merelakan waktu yang berharga dan kepentingan privatnya diberikan kepada sesuatu yang ada di luar dirinya. Karena itu apa yang dilakukan Yoga hampir dua dekade meminjamkan waktunya untuk banyak orang serta mempertaruhkannya untuk masa depan sangatlah penting. Terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung, menjalani berbagai kegiatan bersama, meminta berbagai masukan, serta menghindarkan diri dari keputusan masa muda yang buruk.

Selain itu, sedari awal care atau kerja merawat bukanlah sesuatu yang tanpa cela. Afeksi bisa menjadi sesuatu yang memaksa, mengekang, mengintimidasi, bahkan kejam. Pemahaman-pemahaman buruk semacam patriarkis, rasisme, intoleransi, heteronormativitas, ableism, dan bentuk ketidakadilan lain bisa menyakiti orang yang dekat dengan kita tanpa disadari. Hal ini tentu nampak, misal, dari lingkup keluarga yang seharusnya berlandaskan pada care namun masih memungkinkan hal-hal buruk tersebut hadir.

Meskipun demikian, tanpa kerja merawat, kehidupan akan sulit untuk tumbuh. Dibandingkan kerja industrialistik yang harus serba cepat dan tepat, merawat sesuatu seringkali membutuhkan kesabaran. Konsepsi waktu yang dimaknai dalam care biasanya juga berbeda dengan ritme pekerjaan profesional. Begitu banyak deliberasi yang harus dilakukan, menanyakan konsensus, mengutamakan dialog, mencoba memahami permasalahan personal masing-masing, sembari mengupayakan sebuah proyek bersama untuk kepentingan orang banyak. Karena itu, sorge akan selalu menjadi sebuah pengupayaan untuk masa depan, tak hanya sekadar berlandaskan ingatan masa lalu. Tentu itu semua harus dilakukan dengan “kesabaran revolusioner” yang seringnya terasa melelahkan, tak efektif, tak berdampak, dan tak berujung. Mungkin kutipan dari Kelly Hayes dan Mariame Kaba di Boston Review berikut cukup menggambarkan betapa tidak mudahnya mengupayakan perubahan sembari merawat orang-orang di dalamnya:

Political transformation is not as simple as handing newcomers a new set of politics and telling them, “Yours are bad, use these instead.” Instead, we will sometimes have to accompany people along messy transformational journeys. And we must also remember that no matter how far we have come, we are still on our own messy journeys, and our own transformations will continue as we grow.

Entropi

Yoga selalu mempunyai cara untuk menjelaskan bagaimana menggerakkan sebuah perubahan. Ia akan memulai cerita dengan bertanya pada lawan bicaranya: “Kira-kira apa yang membuat kereta atau mesin di zaman dulu bekerja? Apakah karena kayu atau batu bara yang menghasilkan api?” Mesin itu berjalan karena ada uap air, sesuatu yang seringnya tak kasat mata, yang menggerakan katup dan gerigi di dalamnya. Bagi dia, uap itu adalah gagasan, sesuatu yang juga tak terlihat namun dapat mewujudkan banyak hal. Untuk itu, banyak waktu yang ia dedikasikan dalam upaya memproduksi gagasan.

Mesin uap pada masanya membawa begitu banyak perubahan dalam peradaban manusia. Revolusi industri dan perkembangan sistem transportasi dimungkinkan oleh mekanisme yang begitu panas dan meletup-letup itu. Demi menggerakkan banyak hal, energi yang tersimpan dalam mesin uap tersalurkan pada mekanisme yang lain. Ia tak akan abadi menggerakan sesuatu namun perlahan melesap dalam entropi. Pada akhirnya energi yang memungkinkan jalannya mekanisme tersebut harus memencar ke seluruh penjuru semesta. Mungkin bagi beberapa orang keniscayaan ini menyedihkan bahkan menakutkan karena hanya bisa menyerahkan segalanya pada pada panah waktu.

Petang itu, mesin uap yang kita kenal sudah berhenti bekerja. Namun kita tahu, dari sana berbagai hal telah dimungkinkan. Uap itu, gagasan itu, tidak sepenuhnya lenyap. Ia menyebar dan menjelma berbagai wujud: dalam berbagai karya, dalam pekerjaan yang kita tekuni, dalam keluarga yang kita hidupi, dalam orang-orang yang kita kenal ataupun tidak, dalam kenangan dan aspirasi. Banyak upaya yang dilakukan Yoga selama hidupnya ditujukkan untuk menyebarkan nilai dan gagasan menuju masa depan. Karenanya, salah satu bentuk penghormatan yang bisa dilakukan kini adalah dengan mengupayakan harapan tersebut dan melampauinya.

Tentu penutup tulisan ini tak akan lengkap tanpa pungkasan favorit Yoga: A luta continua. Ungkapan bahasa Portugis ini terkenal dikumandangkan pada perjuangan kemerdekaan Mozambique, menyebar menjadi simbol perjuangan di berbagai negara di Afrika, serta diadopsi pula pada berbagai gerakan di Indonesia. Secara sederhana ucapan itu ingin menunjukkan berbagai upaya perubahan tidak bisa dicapai dengan instan melainkan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan usaha yang melelahkan. Dalam konteks ini, mungkin Yoga ingin menyampaikan bahwa ia tahu harapannya tak mungkin tercapai di masa hidupnya. Gagasan perubahan itu perlu senantiasa didorong menuju ke masa depan.

Dan perjuangan itu terus berlanjut.