Seperti yang dilansir dari Mongabay, Persoalan lahan ini berawal pada 1925, sekitar 2.956 warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda. Permohonan itu dikabulkan beberapa tahun kemudian tahun 1929. Mereka dapat hak membuka kawasan hutan seluas 4.000 bahu (3.000 hektar) dari Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo. Walaupun mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang.
Masih dilansir dari Mongabay, pasca kemerdekaan, warga Pakel terus berjuang mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam “Akta 1929”. Pada 1980-an, lahan kelola warga yang masuk “Akta 1929” ini masuk konsesi perusahaan perkebunan Bumi Sari. Konflik agraria pun terus terjadi hingga kini. Pada tahun 2019 warga melakukan penguasaan kembali (reclaiming) lahan—yang masuk konsesi perusahaan. Menurut Data Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda) menyebutkan, sepanjang 2020-2023, setidaknya 14 warga Pakel menjadi korban karena perjuangan mereka mempertahankan hak tanahnya. Antara lain, pada November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari kepolisian, dua jadi tersangka.
Jum’at 3 Februari 2023. Tiga orang petani warga Desa Pakel ditangkap Polda Jawa Timur. Penangkapan l tersebut diduga berkaitan dengan konflik lahan warga dengan perusahaan. Sebab ketiganya merupakan perwakilan warga selaku pejabat desa dalam upaya mempertahankan lahan warga.
Senin (20 Februari 2023) Tekad Garuda beserta warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur melakukan Aksi Geruduk Jakarta dan mogok makan di depan kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jakarta Selatan, Senin, 20/2/2023. Aksi mogok makan ini sebagai bentuk solidaritas dan dukungan kepada tiga Petani warga Desa Pakel.