Apakah yang anda lakukan apabila tim atau individu yang anda jagokan di dalam sebuah kompetisi (apapun cabang olahraganya) kalah? Bagi sebagian dari anda yang berjiwa “normal”, mungkin anda akan sedikit bersumpah-serapah, memaki-maki jagoan anda, dan setelahnya, hidup kembali berjalan seperti biasa. Bagi sebagian dari anda yang lain yang terbiasa melakukan kekerasan, mungkin vandalisme adalah jawabannya. Melempar barang, mencorat-coret tembok, menghajar orang yang lewat di pinggir jalan, sampai mungkin pada titik terekstrem, menghancurkan diri anda sendiri. Lalu bagi sebagian dari anda yang lain, yang memiliki jiwa avonturir di dalam dunia taruh-bertaruh, mungkin anda terpaksa harus menjual barang-barang kesayangan anda untuk membayar hutang judi yang sedemikian besar. Atau apabila anda tidak mempunyai barang, maka solusi terakhirnya adalah kabur dari kejaran preman-preman debt collector (sebuah kisah nyata yang terjadi pada seorang teman).
Dan alkisah pada sekitar satu dekade yang lalu, tepatnya di tahun 2002, situasi yang serupa menimpa dua orang berkebangsaan Belanda yang bernama Johan Kramer dan Matthijs de Jongh. Saat itu, tim nasional Sepakbola Belanda gagal melenggang masuk ke dalam putaran final Piala Dunia 2002 yang diadakan di Korea Selatan dan Jepang. Kramer dan de Jongh praktis harus gigit jari saat dihadapkan pada kenyataan bahwa timnas mereka, yang cukup punya nama besar di kancah persepakbolaan dunia, harus gagal mentas di pagelaran sepakbola tertinggi sejagat.
Saya asumsikan bahwa, sebagai orang-orang “normal”, Kramer dan de Jongh juga mengalami hal-hal “normal” persis seperti yang telah saya ilustrasikan di atas. Bersumpah-serapah sehabis menyaksikan pahitnya kenyataan melalui sebuah tayangan langsung di televisi, sembari menikmati bir dingin di sebuah pub kecil di dalam balutan seragam berwarna oranye.
Namun, Kramer dan de Jongh tidaklah benar-benar “normal”. Apabila sebagian besar orang goes on dengan hidupnya masing-masing, hidup tidaklah menjadi normal bagi kedua sobat ini. Mereka memilih untuk membuat sejarah bersama dengan orang-orang baik yang bermukim di sebuah kerajaan kecil yang bernama Bhutan dan sebuah wilayah teritorial Britania Raya di sudut lautan Karibia yang lazim disebut sebagai Montserrat. Terdengar aneh? Memang. Sejarah yang mereka rangkai memang bukanlah sejarah yang konvensional. Apabila banyak kalangan menilai bahwa sejarah adalah sebuah episode peradaban manusia yang ditulis oleh para juara dan pemenang, maka sejarah yang hendak diukir oleh orang-orang ini adalah sejarah dari sang pecundang.
Sejarah pecundang inilah yang terekam di dalam sebuah film yang bertajuk The Other Final. Sebuah karya dokumenter yang mengandaikan adanya alternatif dari perhelatan Piala Dunia. Alih-alih mencari yang terbaik dari sebuah kompetisi, The Other Final menyajikan logika yang berbanding terbalik 180 derajat. Yang menarik adalah yang kalah. Yang indah adalah seorang pecundang (atau setidaknya begitulah yang saya tangkap).
Premisnya memang ajaib. Saking jengkelnya dengan penampilan timnas negaranya sendiri, Kramer dan de Jongh kemudian mencari timnas negara lain yang menjadi penghuni paling buncit dari daftar ranking FIFA. Mempertemukan keduanya di dalam sebuah pertandingan eksibisi serta memfilmkannya. Jika itu tidak cukup absurd, latar belakang dari masing-masing timnas yang terlibat, Bhutan dan Montserrat, berbicara dengan sendirinya.
Bhutan adalah sebuah kerajaan kecil yang berbatasan dengan pegunungan Himalaya. Mayoritas penduduknya memeluk agama Buddha dan hidup dengan cara-cara tradisional. Timnas sepakbolanya tidak pernah memenangkan satupun pertandingan resmi yang diikutinya hingga saat itu. Suatu kenyataan yang tidak mengejutkan karena memang olahraga yang digilai hampir seluruh masyarakatnya adalah memanah.
Profil Montserrat juga tidak jauh lebih baik daripada Bhutan. Montserrat, yang merupakan daerah dependensi dari kerajaan Britania Raya, adalah sebuah pulau di lautan Karibia (yang mana anda membutuhkan peta dunia untuk mengetahui secara jelas keberadaannya). Setali tiga uang dengan Bhutan. Sepakbola juga bukanlah hal yang trendi di Montserrat (olahraga nasionalnya adalah Kriket). Hanya sekitar 150 pemain amatir yang bermain di dalam liganya (yang juga amatir). Bahkan kapten timnas sepakbolanya juga menyambi sebagai petugas kepolisian (hal yang lumrah terjadi dengan pemain sepakbola Montserrat lainnya).
Sederetan fakta-fakta ganjil inilah yang kemudian menjadikan film ini sedemikian menariknya. The Other Final tidak saja hanya menyajikan sebuah pertandingan sepakbola diantara dua tim semenjana sedunia, namun juga sekumpulan drama apik nan kocak yang melatarbelakangi persiapan pertandingan tersebut. Dari bagaimana perjuangan Timnas Montserrat harus berganti pesawat sebanyak 7 kali untuk pergi bertanding ke Bhutan, keadaan gawat darurat di saat timnas kedua negara sama-sama kehilangan pelatihnya seminggu sebelum pertandingan berlangsung, atau keadaan (yang kembali) gawat darurat saat Kramer dan de Jongh tidak juga dapat menemukan wasit untuk pertandingan hanya tiga hari sebelum pertandingan berlangsung.
Namun, lebih dari pada itu, dokumenter ini juga berhasil menangkap semangat purba dari eksistensi sebuah olahraga yang bernama sepakbola. Bahwa sepakbola bukan hanya mengenai kompetisi, gelimangan uang, hooliganism ataupun sponsor dari korporasi, namun lebih daripada itu, adalah mengenai kegembiraan serta harapan. Cobalah tengok misalnya, di saat para anak-anak sekolahan di Bhutan menyambut kontingen Montserrat layaknya mereka menyambut Lionel Messi dkk, sembari mengajak mereka bermain sepakbola secara impromptu. Atau di saat para pemain Bhutan dan Montserrat, dengan segala kerendahan hati dan mentalitas da aku mah apa atuh, berbicara mengenai impiannya masing-masing di dalam dunia sepakbola (kapten timnas Bhutan bahkan mengemukakan impiannya yang paling liar untuk dapat bermain bagi Arsenal).
Lalu bagaimana dengan pertandingannya sendiri? Saran dari saya, berhentilah membaca tulisan ini, segeralah persiapkan perangkat komputer anda dan unduh film ini. Drama beserta pertandingan yang dihidangkan di dalamnya dapat menyadarkan anda semua betapa indahnya suatu permainan yang bernama sepakbola itu. Keindahan sederhana yang tidak dapat diukur hanya dengan kompetisi semacam Piala Dunia, Champions League, serta Premier League, atau perdebatan banal diantara anda beserta teman anda mengenai klub sepakbola mana yang terbaik. Keindahan yang menjadikan olahraga ini, dengan meminjam terminologi Pele, sebagai the most beautiful game on earth.
(Teriring salam kepada tim nasional sepakbola Belanda bersama dengan segenap penggemarnya di seluruh dunia, yang karena kegagalannya mengikuti Piala Dunia 2002, dapat memungkinkan terwujudnya dokumenter menakjubkan ini)