Pemilu 2019 tak bisa dielakkan adalah pemilu yang paling merusak dalam sejarah Indonesia modern. Mengapa demikian? Cukup banyak argumen dan data untuk menjawabnya. Setidaknya, dari aspek sosial pemilu kali ini menjadi pemilu yang paling memeras energi bangsa Indonesia karena telah membelah masyarakat dalam dua kutub yang saling memusuhi dan menghancurkan.
Kedua kubu saling menabur hoax, kebencian dan ketakutan. Namun atas kondisi tersebut, tak sedikit intelektual yang memilih bersikap naif dengan menganggapnya sepele, sebagai harga politik yang sudah semestinya harus dibayar demi memastikan masa depan Indonesia agar tidak jatuh di tangan orang jahat dan fasis. Sayangnya sampai sekarang tak pernah jelas kategori dan apa yang dimaksud sebagai jahat dan fasis.
Kita tak perlu banyak membuang energi mengulangi perdebatan kategori dan parameter antara yang baik dan yang jahat di sini. Muspra, alias sia-sia. Apalah artinya argumen dan analisis politik di saat sebagian besar orang mengidap rabun senja. Semua tahu, kuasa jahat tak lagi terkonsentrasi di satu kubu, tapi semburat, sumebyar, terdiseminasi dan hegemonik di semua kubu. Karenanya, sekarang cita-cita intervensi politik dari dalam nyaris tak mungkin dijalankan di tengah hegemoni dan dominasi oligarki. Namun mereka yang sedang khusyu membela mati-matian Jokowi sejak awal telah mengarahkan jari telunjuknya pada pihak yang mengkritik Jokowi dan memilih untuk tidak memilih sebagai pihak yang dapat membahayakan demokrasi.
Tak hanya itu, mereka juga dengan membabi buta menuding siapapun yang memilih untuk tidak memilih sebagai tak ingin kotor, sok suci, dan sok idealis. Tentu saja tudingan seperti ini salah arah. Pilihan memilih untuk tidak memilih tak sedang menunggu Godot yang tak pernah datang atau menanti Yesus Kristus lahir kembali untuk menyelesaikan persoalan di negeri ini. Tidak, ia melainkan sebuah tahap elementer perjuangan untuk mendelegitimasi semua elit politik sebagai racun demokrasi dan ikhtiar menumbuhkan keyakinan pada rakyat bahwa politik emansipatif masih mungkin dibangun dalam blok politik anti oligarki.
Tentu saja ini tidak mudah. “Bukankah dari dulu sudah begitu tapi selalu gagal?” Tanya kawan kiri senior. Iya benar. Dari dulu memang begitu dan gagal. Mengapa? Karena orang yang bertanya dan sejenisnya telah lama demor dan memusuhi militansi anak muda agar menanggalkan perjuangan popular dan banting setir memilih jalan politik kompromis tanpa pernah menghitung mana strategi, taktik, dan tujuan politik. Serba kabur, sekabur posisi para intelektual pejuang demokrasi ala Jokowi di tengah pusaran kuasa oligarki.
Bila yang dimaksud sebagai idealistis adalah tidak melihat atau sekurangnya, mengabaikan fakta-fakta konkret yang ada, yang dalam kajian politik disebut riil politik (realpolitik), maka para pendukung Jokowi harga mati lah yang sesungguhnya idealistis dan ahistoris. Sebaliknya, justru karena materialis, seseorang tak akan memberi dukungan politik kecuali bersyarat. Sebab, dukungan tanpa syarat seperti sekarang terjadi, tak ubahnya memberi cek kosong pada elit untuk berkuasa dan berlaku sewenang-wenang dan dengan mudah mengingkari janji politiknya. Apalagi terdapat fakta yang tak bisa dibantah semua pemikir politik manapun; demokrasi di Indonesia, kalaupun ada, telah dicengkeram gurita oligarki. Karena itu apa yang disebut kebebasan memilih hanyalah semu. Rakyat tidak pernah benar-benar memilih, tapi telah dipilihkan oleh para oligark. Ini tak ubahnya ilusi yang dibanggakan para liberalis yang kerap mengatakan bahwa umat manusia berdaulat atas pilihan-pilihannya di tengah banjir komoditas fetis di era kapitalisme mutakhir. Padahal umat manusia semakin tak punya pilihan. Mereka seolah-olah memilih tapi hakikatnya telah dipilihkan perusahaan.
Sederhananya, mereka yang tak mau melihat fakta-fakta bahwa kedua kubu jahat dan hanya ingin mengamankan atau membangun gurita bisnisnya melalui politik lah yang sesungguhnya tampak tidak materialis dan keras kepala tidak mau belajar dari sejarah. Sedemikian, tanpa dukungan bersyarat (dan kritis) di awal, seperti yang sudah terlanjur terjadi dan berulangkali terjadi, pada akhirnya menggiring kesadaran rakyat untuk menerima, atau sekurangnya melumrahkan kesalahan demi kesalahan, kebohongan demi kebohongan terus direproduksi pada periode selanjutnya oleh pemerintahan Jokowi dan para bohir pendukungnya. Bahkan berdasar pada fakta politik yang ada, sulit bagi siapapun yang kerap menyebut dirinya pendukung kritis Jokowi (kalaupun ada), bisa mengintervensi kekuatan para bohir (oligark) di sekitar Jokowi.
Singkatnya, keduanya telah turut menyumbang perpecahan sosial di negeri ini dengan menabur cerita menakutkan di masyarakat: “Bila Prabowo kalah, komunis akan menang, sebaliknya bila Jokowi kalah, Islamis akan menang”. Dengan kata lain, bagi pendukung Jokowi, kemenangan Prabowo adalah kemenangan Islamisme mengalahkan Pancasila. Sedangkan kemenangan Jokowi, bagi pendukung Prabowo adalah kemenangan komunisme. Keduanya saling berlomba menabur fitnah serta ketakutan pada rakyat demi kekuasaan.
Pertanyaannya, apakah masih mungkin menenun rasa kebangsaan di tengah kondisi psikologis dan sosiologis rakyat yang telah terbelah dan terlanjur dibanjiri racun kebencian yang ditabur secara bertubi-tubi dari kedua kubu?
***
Pemilu 2019 juga menjadi pemilu paling mematikan dalam sejarah Indonesia modern. Lebih dari lima ratus orang petugas KPPS dinyatakan meninggal. Bahkan salah seorang korban yang bernama Alhat Supawi, 32, meninggal karena bunuh diri. Ia adalah petugas KPPS yang bertugas mengisi formulir C1 sebanyak 86 rangkap. Seperti dituturkan istrinya, Alhat tidak tahan dengan beban pekerjaan yang begitu berat. Pekerjaan sehari semalam itu membuatnya kelelahan dan berujung stres. Suaminya begitu khawatir jika di antara 86 formulir C1 tersebut ada kesalahan mengisi. Dalam kondisi itulah, ia meminum racun hingga meninggal. Selain Alhat, ada seorang lagi yang dilaporkan bunuh diri yaitu Tugiman, 52 tahun, ketua KPPS TPS 21 Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Berbagai laporan menyebutkan, penyebab terbanyak kematian adalah kelelahan, urutan kedua karena kecelakaan, dan terakhir karena bunuh diri.
Kini Alhat dan ratusan lainnya yang menjadi korban kelalaian penyelenggara pemilu, oleh para pendukung Jokowi diberi gelar pejuang demokrasi. Padahal faktanya mereka adalah korban kelalaian, karena tak pernah diantisipasi oleh pihak penyelenggara pemilu yakni KPU. Alih-alih menggugat KPU, para pendukung Jokowi beramai-ramai melumrahkan kelalaian. Ini menjadi cerminan betapa kelalaian demi kelalaian selalu dilumrahkan dan mendapat pembenaran dan pembelaan di Indonesia. Ini sama persis dengan pembenaran mereka atas semua kebijakan pemerintahan Jokowi yang seolah-olah tak melanggar HAM dan prinsip-prinsip demokrasi sepanjang lima tahun kepemimpinannya.
Bukannya mengoreksi kesalahan penyelenggaraan pemilu, rakyat justru diajak menerima malapetaka sosial sebagai suatu yang tak perlu diratapi apalagi dikoreksi. “Sudahlah, ini semua adalah harga yang harus dibayar demi demokrasi. Demi agar Indonesia tidak terjatuh di tangan orang jahat. Tokh, niatnya mulia demi keutuhan bangsa Indonesia”. Demikian kurang lebih ujar salah seorang intelektual di akun media sosialnya.
Dalam benak pikiran para pendukung Jokowi harga mati, demi sebuah keutuhan, memang harus ada yang dikorbankan. Jadi, ini adalah soal cara berpikir dan strategi bertahan dari segala kritik yang diarahkan. “Sudah, jangan ribut. Yang sudah ya sudah. Sing wis yo wis. Mari kita optimis, menatap masa depan dan membuka lembaran baru. Apa jadinya bangsa ini kalau gemar mengungkit-ungkit masa lalu dan memelihara dendam”. Pernyataan moralis sejenis ini berulangkali kita dengar setiap ada yang mempertanyakan atau menggugat sebuah masalah yang tak pernah diselesaikan. Ini juga yang terjadi pada nasib perjuangan HAM di Indonesia.
So, untuk menghindari kritik, mereka sibuk menampilkan dirinya bak bijak bestari yang baru keluar dari pertapaan mewartakan petuah-petuah bijaknya yang dipahat di atas lontar, sebagai pihak yang paling menjaga dan membela Pancasila. Lainnya tidak!
Sing wis yo wis senjata pamungkasnya. Karena itu, peristiwa pembantaian manusia ‘65-‘66, kekerasan di Papua, penggusuran rakyat, kalau bisa dilupakan saja. Mengapa? Ya karena berbahaya bagi keutuhan NKRI. Ya memang betul. Keutuhan di atas bongkahan kepala dan nyawa manusia tak berdosa. Karena itu, tak heran bagi para korban pemilu, solusinya: beri saja gelar pahlawan demokrasi dan sedikit uang santunan, beres! Semua bahagia!
Tak perlu heran, ini adalah gambaran paripurna bagaimana konsepsi negara keluarga ala Soepomo dijalankan. Rumusnya sederhana, di dalam rumah tangga harus ada yang ikhlas menerima kesakitan demi kesuksesan anggota keluarga lainnya. Rakyat Papua banyak yang mati oleh moncong bedil tentara tak ada masalah, rakyat dipopor senjata polisi karena mempertahankan tanahnya tak ada masalah, rakyat banyak yang mati demi pemilu borjuis tak ada masalah, yang penting keluarga Indonesia tetap utuh dan tampak harmoni. Segala kegaduhan bisa dibereskan oleh bapak. Kalau semua nurut pada bapak, ya pada bapak, insyaallah semua akan bahagia dan menjadi negeri “baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur”.
Melalui logika berpikir seperti itulah mereka membela Jokowi. Sing wis yo wis, lupakan kesalahan dan kebohongan periode sebelumnya, mari kita dukung lagi dan menatap Indonesia secara optimis.
***
Agar lebih jelas dan tidak dituduh asal bicara atau sebagai pendukung Prabowo; mengapa harus mengkritik Jokowi dan regu soraknya? Sederhana saja, karena Jokowi yang menjadi pemenang pemilu, sementara regu soraknya paling gemar bicara kerukunan, keutuhan dan tenun kebangsaan.
Pertanyaannya, bagaimana dan melalui apa mereka akan mulai menenun rasa kebangsaan yang sudah terkoyak? Sulit memperoleh jawaban yang pasti.
Kali ini saya tak hendak melucu seperti biasanya. Bahkan seandainya, sekali lagi seandainya, ada Nabi baru diutus untuk menjalankan misi profetis ini, ia akan menolaknya sebagai suatu mission impossible dari Tuhan yang ada di luar kapasitasnya. Atau kalau boleh memilih, ia akan minta ditugaskan di wilayah lainnya asal tidak di Indonesia. Bukan berarti tidak mungkin sama sekali, tapi sangat sulit, sebab sisa-sisa dendam masih membara di balik dada, tinggal menunggu pelatuk—momentum—yang tepat untuk meledakkannya.
Tentu sangat sulit memulihkan kondisi sosial seperti sedia kala di tengah terkikisnya solidaritas antar rakyat setelah digerus oleh propaganda para oligark di kedua kubu yang berebut kuasa. Jadi, tak hanya kubu Prabowo, kubu Jokowi juga bagian dari problem yang turut mengoyak kohesi sosial di Indonesia. Bagaimana mungkin mereka akan menenun kain yang telah mereka koyak beramai-ramai? Pernyataan akan menenun rasa kebangsaan tak lebih hanya gimmick politik yang tak akan bisa dikerjakan oleh yang mengatakannya. Kalaupun ada, itu pasti rasa kebangsaan di tengah anak bangsa yang satu menghisap anak bangsa yang lain, anak bangsa yang satu menginjak anak bangsa yang lain, anak bangsa yang satu menghina anak bangsa lainnya. Artinya sebuah cita rasa kebangsaan yang brutal dan mengabaikan kemanusiaan dan keadilan.
Mari kita buktikan bersama betapa absurdnya pesan bijak menenun rasa kebangsaan setelah Pemilu 2019.
Belum lama ini, beredar sebuah video sekumpulan purnawirawan tentara bergiliran berjabat tangan dan memberi salam “siap presiden” pada Prabowo. Sontak video tersebut viral dan menjadi bahan ejekan di media sosial, khususnya oleh para pendukung Jokowi.
Banyak analisa yang mengatakan bahwa Prabowo telah mengidap penyakit delusional. Bisa jadi iya. Tapi bisa jadi juga ada kemungkinan lainnya. Bahwa semua tindakan dungu itu dipilih secara sadar untuk memberi tekanan politik pada pihak lawannya, yakni Jokowi. Kalau benar demikian, taktik politik itu sekurangnya bertujuan: pertama, untuk mempertahankan militansi para prajuritnya. Seperti di medan tempur, meski kalah mereka masih bisa tegak berdiri. Kedua, menaikkan daya tawar politik yang bisa ditukar dengan bagi-bagi jatah preman. Ketiga, bila kemungkinan kedua gagal, ia masih bisa mengandalkan para prajurit yang militan tersebut untuk berbuat onar.
Tunggu dulu.
Apakah pengawetan cekcok politik ini hanya dikehendaki satu pihak alias kubu Prabowo saja?
Kenyataannya tidak. Setelah video kedunguan Prabowo dan para pendukungnya, yang entah dibuat tim suksesnya atau oleh Prabowo sendiri, para pendukung Jokowi juga membuat video kedunguan serupa yang persis sama dengan video Prabowo. Para pendukung Jokowi secara bergiliran mengulurkan tangan memberi salam “siap presiden” pada Jokowi. Kedunguan dibalas dengan kedunguan serupa. Selalu begitu, hoax dilawan dengan hoax. Sejak awal Jokowi telah termakan permainan Prabowo. Semakin dikritik sebagai presiden komunis, semakin sibuk Ia menunjukkan bahwa ia anti komunis dan menunjukkan bahwa dirinya juga konservatif. Salah satu buktinya adalah dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai pasangan wakil presidennya.
Lagi-lagi, jangan heran, tak hanya para pendukung Jokowi harga mati, beberapa aktivis kiri pemuja Jokowi pun menikmatinya. Problematis? Iya! Tak hanya itu, juga sudah kontras sejak dalam pikiran. Hendak menenun rasa kebangsaan tapi masih berhasrat terus menerus menyobek kain yang sudah nyaris rusak total. Persis seperti kelakuan remaja perkotaan yang berharap kehidupan yang toleran dan pluralis, tapi gemar memamah lelucon dungu stand up comedy-nya Coki Pardede dan Tretan Muslim. Ingin membuktikan diri sebagai pembela pluralisme dan hidup damai tapi justru tanpa disadari tengah menabuh genderang peperangan.
***
Untuk menghindari kritik berarti dari kalangan kiri yang berada di garis gerakan popular, kemungkinan besar para pendukung Jokowi harga mati akan memainkan strategi yang sama seperti sebelumnya, yaitu menyerukan semua pihak untuk menunda kritik dan meredam perlawanan gerakan rakyat demi menghalau kaum islamis agar tidak turut menunggangi kritik. Jadi, sangat mungkin percekcokan antar kubu Prabowo dan Jokowi sengaja dirawat agar selalu ada legitimasi untuk menghindari kritik berarti pada pemerintahan Jokowi. Sebab lebih baik meladeni kedunguan kubu Prabowo ketimbang meladeni kalangan gerakan popular yang menusuk jantung pemerintah.
Para pendukung Jokowi sejak tahun 2014 tak berkenan memasukkan persoalan ekopol menjadi salah satu tolak ukur kemajuan demokrasi di Indonesia. Sulit kiranya mencari pendukung Jokowi, bahkan beberapa di kalangan kiri, berkenan mengaitkan antara merebaknya perampasan tanah, kriminalisasi petani dan aktivis lingkungan, kekerasan aparatur negara pada rakyat yang mempertahankan tanahnya, penggusuran kaum miskin kota, dengan makin tingginya intoleransi di Indonesia. Mereka memandang bahwa persoalan perampasan adalah satu hal, dan intoleransi sebagai hal lainnya yang tak saling terkait.
Perlu ada riset empirik. Namun sulit dibantah bahwa fakta menguatnya intoleransi dan kebencian atas identitas tertentu makin diperkuat oleh absennya advokasi kalangan prodem atas problem rakyat akar rumput, khususnya di basis kaum miskin kota dan buruh. Peran ini kelak diambil oleh para fasis Islam seperti FPI, yang secara retoris mengaburkan problem ekopol seperti kebijakan upah murah dan penggusuran, sebagai problem identitas.
Salah sebuah contoh yang paling kentara adalah kasus penggusuran kampung di Jakarta oleh Gubernur Ahok. Para aktivis yang mengaku prodem bukannya berdiri di barisan rakyat yang digusur tapi justru sibuk turut melegitimasi kekerasan yang dilakukan aparatur negara. Demikian juga terjadi di Jogja, tak ada satupun organisasi isu toleransi yang turut mengutuk kekerasan aparatur negara pada warga yang berjuang mempertahankan tanahnya. Para aktivis toleransi, yang sebagian besar memang minus analisis ekopol, juga cenderung mengabaikan problem akar rumput dan seringkali terjebak mengerangkeng Pancasila sebagai sebatas Bhinneka Tunggal Ika dengan mengabaikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bila cara berpikir mereka yang mengaku prodem masih seperti ini dan tak bisa digeser menjadi lebih radikal, atau bila para beberapa golongan kiri masih tak yakin dengan kekuatan massa rakyat dan senangnya bukan kepalang menjadi badut para bohir, maka dua dekade yang akan datang kemungkinan tak akan ada perubahan yang berarti di republik ini. Akan ada banyak isu progresif yang macet di tengah jalan diblokade oleh perseteruan antar kubu yang tak segera usai. Republik proklamasi yang kiri, yang nasionalis-progresif, yang menjalankan amanat penderitaan rakyat, yang anti nekolim, yang anti penghisapan manusia atas manusia, yang memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tak akan pernah kita temukan kembali.
Mungkin memang kita tak akan bisa turut menenun rasa kebangsaan ala pemerintahan Jokowi dan para pendukungnya. Tapi, kita masih punya kepercayaan untuk istiqamah berdiri di barisan mereka yang dilemahkan dengan menenun solidaritas rakyat korban kebijakan pro pasar, karena kelak kuasa oligarki di negeri ini bisa dihancurkan.
Penulis adalah editor di Islam Bergerak, media kolektif yang mengangkat isu-isu keislaman terkini melalui kacamata ekonomi-politik.