Tantangan YLBHI: Menggelar Perlawanan Menghadapi Kebangkitan Rezim Otoritarianisme

Kantor YLBHI (Tirto.id/Arimacs Wilander)

Babak belur kiranya cukup menjelaskan kondisi gerakan sipil Indonesia; saat seluruh kanal representasi politik macet, politik praktis hanya memfasilitasi kebebasan elite merebut akses – akses terhadap sumber daya, kebebasan berpikir dan berpendapat terus diganjar ancaman pidana dan rundungan, serta pengingkaran pada kepentingan – kepentingan publik yang hanya berakhir jadi komoditas politisi semata.

Belum lagi situasi pandemi COVID- 19 yang masih jauh dari selesai, justru mempertontonkan bagaimana pemimpin politik mempertaruhkan nyawa warganya sembari terus menumpuk pundi – pundi di dalam situasi krisis demi menyambut tahun politik 2024. Ketimbang tertunduk malu dan mengakui kedunguannya dalam menjaga keselamatan warga, tak malu – malu lagi para calon presiden ini memasang wajahnya dengan skala besar di persimpangan jalan.

Simpati warga sudah kadung kebas pada badut – badut politik yang defisit empati itu; namun disitulah kondisi demokrasi kita dipertaruhkan. Jika tegangan ini terus bertahan, bukan tidak mungkin kita hidup di tengah masyarakat yang makin pesimis terhadap demokrasi dan terus mengubur mimpi – mimpi reformasi ke dalam lubang yang semakin dalam; saat narasi politik hari ini begitu banal dan minus gagasan – gagasan radikal untuk menjawab situasi dan kondisi hari ini.

Lalu bagaimana kira – kira YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) sebagai ‘lokomotif demokrasi’ yang dicetus almarhum Adnan Buyung Nasution tempo dulu,  kembali menghadapi kembalinya otoritarian hari – hari ini?

Sang ‘Lokomotif Demokrasi’ hingga hari ini masih konsisten menjadi pusat bagi perlawanan banyak dari elemen – elemen masyarakat sipil dalam menghadapi pengkerutan ruang – ruang sipil dan perampasan sumber daya yang semakin buas. Dengan mengusung tajuk ‘kontra oligarki’, YLBHI terus melaju sebagai sumber perlawanan sekaligus rumah perlindungan baginya yang babak belur dihajar rezim yang tak lagi malu menanggalkan topengnya sebagai plutokrat sejati.

Masih lekat di ingatan kita bahwa YLBHI menjadi pusat gerakan Golput/Golongan Putih  merespons pemilu 2019; saat pertarungan jilid II Jokowi vs Prabowo yang tangannya sudah sama – sama ‘berdarah’. Bara sudah hampir habis membakar sekam saat seluruh elemen masyarakat sipil marah dan turun ke jalan saat melihat seluruh armada perang melawan oligarki habis ditumpas pada September 2019 dengan tajuk #ReformasiDikorupsi. Ia juga jadi rumah bagi perjuangan penghapusan kekerasan seksual, solidaritas bagi situasi krisis kemanusiaan di Papua, serta upaya perampasan dan penghancuran ruang hidup manusia lewat banyak produk legislasi yang berlindung dibalik narasi pembangunan.

Namun konsistensi YLBHI lewat serangkaian protes, demonstrasi, bantuan hukum, hingga penggalangan solidaritas seluruh kelompok untuk turun ke jalan nyatanya belum banyak membuka terang bagi yang masih menyimpan harap pada republik ini. Gelombang protes massa berjilid – jilid dalam menghadapi kesewenangan rejim pun belum cukup menggalang kemarahan publik dan mengubahnya sebagai energi perubahan yang radikal bagi situasi demokrasi dan kondisi masyarakat kita.

Seperti yang kita ketahui bersama, gerakan sipil berbasis massa yang selama ini muncul selalu memiliki masa kadaluwarsa dan ingatan yang juga singkat. Konsistensi sikap gerakan tidak diiringi dengan komitmen pada agenda – agenda protesnya. Pesan kerap berganti, tuntutan maju mundur dalam merespons situasi, serta koalisi berjilid – jilid yang dinisiasi tak pernah betul – betul memberikan bukti pada publik luas bahwa gerakan massa punya resiliensi dalam menyampaikan aspirasinya.

Lebih sering malah gerakan – gerakan ini mundur teratur, kembali pada tabiat reformisnya untuk mempertahankan relasi dengan kekuasaan secara konstruktif sembari terus menunggu momentum – momentum kemarahan publik mana lagi yang bisa dikapitalisasi menjadi gerakan massa. Tak jelas apa yang sebenarnya jadi agenda riil gerakan semacam ini; tetapi yang pasti kepercayaan publik terhadap pengusung gagasan pro demokrasi yang jadi taruhannya saat yang tersisa dari gerakan itu hanyalah jargon yang akan kerap berganti setiap harinya.

Lalu bagaimana YLBHI kiranya hendak melangkah di tengah tegangan demokrasi hari – hari ini?

Mengusung rencana pemulihan pada situasi demokrasi yang kadung sengkarut ini, jelas butuh upaya lebih dari sekedar menjadi ‘rumah’ bagi seluruh gerakan pro demokrasi. YLBHI kiranya harus mampu untuk menyusun bacaan situasi dan kondisi yang tepat mengenai situasi sosial politik hari ini sebagai titik berangkat untuk memutuskan langkah apa yang hendak diambil, sembari terus mendorong imajinasi warga tentang situasi demokrasi yang ideal.

Kiranya bukan lagi kepemimpinan massa yang diusung dalam operasi kontra – oligarki; namun kepemimpinan intelektual yang fasih mengartikulasikan visi dan rencana – rencananya tentang upaya merebut kembali akses warga terhadap sumber daya. Kepemimpinan semacam ini menuntut kemampuan untuk keluar dari romantisme pola relasi gerakan sipil dan kekuasaan yang selama ini dibangun dalam kerangka konstruktif/menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan dengan harapan bahwa secara alamiah, kekuasaan bisa kembali pada lajur yang benar.

Pula di tengah situasi politik yang nir-oposisi dan penghancuran insitusi kontra-oligarki seperti Komisi Pemberantasan Korupsi di masa Jokowi, relasi konstruktivis semacam ini hanyalah bentuk inkonsistensi pada pesan kontra-oligarki yang disematkan pada perjuangan – perjuangan YLBHI. Sementara itu, rezim oligarki terus menumpuk jumlah kelompok yang termarjinalkan lewat perampasan ruang – ruang hidup warga dan menyisakan potensi bencana di seluruh wilayah di Indonesia.

Sensitivitas terhadap perkembangan isu – isu global juga dituntut dari YLBHI ke depan sebagai salah satu bagian kunci dari solidaritas global yang hari – hari ini tengah diuji kondisi pandemi dan kerusakan lingkungan yang akut. Situasi ini tak lepas dari semangat kontra-oligarkis yang diusung oleh YLBHI bahwa skema pembangunan rezim Jokowi juga telah membuktikan bahwa wacana pemenuhan kesejahteraan hanyalah omong kosong belaka; saat kita semua bersama – sama harus menanggung dampak iklim yang mengancam generasi penerus di masa mendatang.

Kepemimpinan intelektual yang didasari pertimbangan diatas bukan berarti menumpukan seluruh kuasanya pada satu figur/kelompok/organisasi semata; tetapi lebih pada kemampuan untuk menginisiasi upaya – upaya pemulihan demokrasi sebagai komitmen – bukan hanya sekedar narasi – untuk meretas harapan dari elemen – elemen gerakan masyarakat sipil dan secara konsisten mendorong seluruh agenda perubahan kondisi sosial politik secara radikal.

Harapan kami pada transformasi kepemimpinan massa menjadi kepemimpinan intelektual YLBHI sebagai ‘rumah gerakan sipil’, menurut kami melekat pada salah satu Calon Ketua Umum YLBHI 2022 – 2026 pada sesi debat terbuka 13 November lalu. Adalah Era Purnama Sari (Wakil Bidang Advokasi YLBHI 2018- 2022, penerima penghargaan SK Trimurthi Award 2021) yang menunjukkan sepak terjangnya selama ini mengganggu kepentingan oligarkis; saat masih menjabat direktur LBH Padang memenangkan gugatan pencemaran udara atas 26 perusahaan tambang pelaku pembakaran hutan.

Pendidikan politik bagi warga untuk memilih pemimpin yang benar adil dan demokratis; didaulat sebagai salah satu misi Era dalam rangka perbaikan total demokrasi. Memasuki tahun – tahun persiapan pemilu, memang sudah seharusnya para pemilih membutuhkan pendamping, yang mampu menguatkan serta memberikan pertimbangan – pertimbangan kritis, serta memastikan bahwa hak politiknya tidak menguap begitu saja setelah keluar dari bilik suara.

Kemampuan analisa Era dalam membaca situasi politik ini menurut kami, jadi kekuatan utama bagi Era sebagai fasilitator yang jernih dalam memetakan persoalan dan mewadahi seluruh kelompok yang memiliki semangat yang sama untuk tidak hanya sekedar merespons isu – isu yang bersifat insidental, melainkan juga membangun agenda radikal guna memulihkan situasi demokrasi. Selain itu komitmennya pada isu keadilan ekologis dan penghapusan kekerasan seksual, menunjukkan keberpihakannya yang kuat terhadap korban; sebagai prinsip utama dari konsepsi bantuan hukum struktural yang selama ini menjadi roh dari aktivitas YLBHI.

Tak hanya itu, Era juga menuntut konsepsi bantuan hukum struktural lebih jauh; tidak hanya memastikan pendampingan warga dalam aspek legal semata, tetapi juga menggelar pendidikan bagi warga untuk secara aktif mengakses sumber – sumber daya yang menjadi hak fundamental seluruh warga negara. Senada dengan apa yang pernah disebut Hatta bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah dua substansi penting yang perlu dijamin kebebasannya bagi seluruh warga negara.

Meski begitu, bukan berarti jika Era diberikan kesempatan memimpin YLBHI sudah dipastikan mampu membuat awal yang kuat bagi agenda radikal pemulihan demokrasi. Masih banyak tantangan yang mesti dilampaui, apalagi memasuki tahun politik yang hampir pasti dirundung isu fragmentasi politik; belajar dari situasi politik di masa – masa lalu, bahwa tantangan terbesar bukanlah dimula dari tekanan rezim, tetapi menghadapi ekses dari polarisasi dukungan politik di kalangan gerakan sipil itu sendiri.