Taktik Politik Bernama Omnibus Law

Bukan hanya soal substansi dan prosedur bermasalah yang secara konsisten disuarakan masyarakat sipil, melainkan juga pertanyaan: mengapa pemerintah menggunakan pendekatan omnibus law?
Joko Widodo dan Puan Maharani. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sejak Presiden Joko Widodo mencanangkan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) dengan metode Omnibus Law untuk kemudahan investasi pada pidato pelantikannya di bulan Oktober 2019, diskursus mengenai Omnibus Law terus mengemuka di Indonesia. Bukan hanya soal substansi dan prosedurnya yang bermasalah yang secara konsisten disuarakan masyarakat sipil, melainkan juga pertanyaan mengenai pendekatan yang digunakan dalam pembentukan Undang-Undang. Mengapa pendekatan Omnibus Law dipilih?

Ambisi Investasi

Pada 2017 lalu, usulan konsep Omnibus Law ini sempat dilontarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil ketika mengeluhkan rumitnya ketentuan investasi di Indonesia yang syaratnya diatur beberapa UU sekaligus.[1] Semangat penyederhanaan izin tersebut kemudian dituangkan dalam PP №24 Tahun 2018 tentang Online Single Submission yang isinya banyak dikritik karena ketentuan penyederhanaan proses perizinan investasi cenderung mengenyampingkan ketentuan perlindungan lingkungan hidup.

Presiden Joko Widodo sendiri sejak periode pertama banyak mengeluarkan kebijakan pro investasi sehingga bukan hal yang aneh jika pemerintahannya setuju dengan ide Omnibus Law untuk memangkas perizinan investasi.[2] Pada pidato pelantikannya, Jokowi menyampaikan rencananya membuat RUU Omnibus Law yang memangkas aturan hukum yang terlalu rumit yang menghambat investasi.[3] RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja kemudian dibentuk dengan ketentuan yang akan mengubah 1.239 pasal dari 79 UU dari 11 kluster yang berbeda untuk menyederhanakan aturan investasi dengan target waktu 100 hari kerja.[4]

Didukung dengan besarnya kekuatan partai pendukung pemerintah di parlemen,[5] Presiden bersama DPR RI pada Januari 2019 memasukan empat Rancangan Undang Undang (RUU) yang akan dibentuk dengan Omnibus Law dalam Prolegnas Prioritas 2020, yaitu RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara, RUU Kefarmasian dan terakhir RUU Cipta Lapangan Kerja.

Pada 12 Februari 2020, hanya dalam waktu satu bulan sejak penetapan prolegnas atau kurang dari empat bulan sejak dicanangkan dalam pidato pelantikannya, Presiden telah merampungkan penyusunan dan mengusulkan draf RUU Cipta Lapangan Kerja segera dibahas oleh DPR RI. Di tengah pandemi Covid-19, DPR RI terus melakukan pembahasan RUU tersebut. Terkini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan mengatakan bahwa pembahasan akan rampung pada bulan Juli 2020 dan dapat segera dibawa ke paripurna.[6]

Teknik legislasi atau siasat politik?

Omnibus Law, atau Omnibus Bill sudah lama dikenal dan diterapkan di negara-negara Common Law, yang sumber hukum utamanya adalah putusan pengadilan, sehingga tidak memiliki hierarki UU yang ketat seperti Indonesia dengan tradisi hukum Civil Law.[7] Berbagai literatur yang dirujuk terkait Omnibus Law pun berangkat dari konteks negara Common law tersebut seperti Amerika Serikat, Kanada, Filipina. Umumnya Omnibus Law diterapkan untuk pengaturan perpajakan atau penganggaran, tapi juga untuk tujuan lain seperti Omnibus Investment Code 1987 di Filipina atau The Environment and Planning Act (Omgevingswet) 2016 di Belanda. [8]

Kata omnibus berasal dari bahasa latin, yang berarti “untuk semuanya, meliputi seluruhnya, sapu jagat atau terpadu”. Dari beberapa sumber literatur, dapat terlihat bahwa Omnibus Law adalah sebuah pendekatan pembentukan undang-undang yang mengatur topik atau bidang yang sangat luas, bahkan tidak terkait, dalam satu Undang-Undang untuk sebuah tujuan spesifik yang telah ditentukan.[9] Herb Gray dan juga Audrey O’ Brien (2009) beranggapan bahwa Omnibus Law adalah RUU untuk mengubah, mencabut atau memberlakukan beberapa ketentuan sekaligus dalam berbagai UU untuk tujuan tertentu yang ingin dicapai.[10] Glen. S Krutz (1997) beranggapan Omnibus Law bermanfaat untuk mencegah adanya tumpang tindih hukum pasca pengesahan sebab diserap hanya dalam satu UU saja.[11]

Black Law Dictionary mendefinisikan Omnibus Law sebagai sebuah pendekatan yang sarat tujuan politis dengan definisi berikut “A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provisions.”[12] Anggapan serupa disampaikan juga oleh Louis Massicotte (2013) yang menyatakan pendekatan Omnibus Law digunakan untuk menghindari kebuntuan politik dalam proses legislasi mengingat isinya yang sangat kompleks dapat memberikan ruang akomodasi bagi kepentingan banyak pihak termasuk kepentingan partai oposisi.[13]

Jika Massicotte melihat kemudahan mengakomodasi kepentingan dalam Omnibus Law, Barbara Sinclair (1997) beranggapan bahwa kesulitan melakukan penolakan terhadap Omnibus (oleh para legislator misalnya) terjadi justru karena sifat drafnya sendiri yang mengatur hal yang sangat luas, rumit dan tidak terkelompokan. Hal ini membuat upaya untuk memeriksa secara komprehensif dari berbagai aspek topik-topik di dalamnya nyaris mustahil dilakukan.[14]

Sedangkan bagi publik, Omnibus Law menyimpan kelemahan karena sifatnya yang pragmatis dan tidak membuka partisipasi luas. Sinclair dan Smith (2003) menjelaskan bahwa Omnibus Law sesungguhnya tidak deliberatif karena selalu akan menggunakan fast tracked dan memangkas konsultasi publik atas dasar urgensitas tertentu.[15]

Omnibus Law adalah sebuah praktik terbaik untuk mengakali hambatan formil pembentukan perundang-undangan konvensional yang memakan waktu lama, sekaligus juga memangkas hambatan politik. Para ahli meyakini, Omnibus Law lebih merupakan taktik politik ketimbang teknik pembentukan perundang-undangan. Kemanfaatannya bagi masyarakat sangat ditentukan dengan motif politik pengusul RUU.

Penjelasan Omnibus Law sebagai taktik politik di atas senada dengan praktik pembentukan RUU Cilaka saat ini. Proses penyusunan dan pembahasan tidak deliberatif ketika pemerintah secara terang-terangan menutup informasi dan ruang partisipasi publik; Kerumitan penyusunan draf dengan ribuan pasal menyulitkan proses diskursus baik di luar maupun di dalam pembahasan parlemen; hingga upaya mengargumentasikan berbagai perubahan untuk tujuan tunggal kemudahan investasi dan mengenyampingkan anasir lain seperti lingkungan hidup dan HAM.

Motif Oligarkis Omnibus Law

Asumsi dasar RUU Omibus Law Cilaka bahwa penghambat masuknya investasi adalah rumitnya persyaratan hukum sesungguhnya keliru. World Economic Forum pada 2017 merilis hasil survei dengan para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan pemeringkatan hambatan dunia usaha di Indonesia dan problem terbesar adalah korupsi, disusul dengan birokrasi pemerintahan dan ketidakstabilan kebijakan.[16] Argumentasi pemerintah semakin mengada-ada ketika diperhadapkan dengan kebijakan pemerintah lainnya yang melemahkan pemberantasan korupsi.[17]

Tidak hanya itu, mendalilkan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan kebijakan yang menjadikan pengusaha raksasa sebagai pelaku utama dengan memberikan kemudahan investasi juga terbukti menyesatkan. Richard Robison (1986) telah menjelaskan kebijakan pembangunan Orde Baru yang bertumpu pada segelintir elit pengusaha dan sektor usaha besar gagal menciptakan kesejahteraan dan justru menciptakan kelompok kecil elit masyarakat yang sangat kaya yang di kemudian hari mengontrol jalannya pemerintahan. [18]

Faisal Basri meyakini motif pemerintah melakukan deregulasi hanya ditujukan untuk kepentingan pengusaha-pengusaha tertentu yang dirugikan dengan safeguard lingkungan hidup dan HAM yang ada.[19] Pandangan ini diperkuat dengan serangkaian data publik yang menunjukan konflik kepentingan pejabat pemerintahan dengan perusahaan-perusahaan yang terdampak pengaturan di RUU Omnibus Law.[20] Indonesianis seperti Jeffrey Winters, Edward Aspinall, Meitzner dan Vedi Hadiz pun menjelaskan menguatnya cengkeraman oligarki dalam demokrasi Indonesia, khususnya dalam 2 Pemilu terakhir, yang berujung pada menguatnya otoritarianisme. Dalam situasi demikian, agenda publik di pemerintahan semakin ditinggalkan dan digantikan dengan agenda privat: melipatgandakan kekayaan dan menjaga kekayaan tersebut.

Masalah yang menanti

Beberapa ahli hukum yang ditunjuk pemerintah dalam penyusunan RUU Cilaka seperti Ahmad Redi, Muladi, Thohari, menyatakan bahwa Omnibus Law adalah sebuah teknik pembentukan UU terpadu yang menghadirkan terobosan untuk harmonisasi peraturan yang sesungguhnya telah beberapa kali diterpakan di Indonesia dengan nama lain.[21] Muladi bahkan menyamakan Omnibus Law dengan kodifikasi hukum seperti RKUHP.[22]

Maria Farida Indrati tidak bersepakat. Menurutnya Omnibus Law berbeda dengan paket UU dengan UU Payung (contoh seperti paket UU Ketenagakerjaan) dan bukan merupakan kodifikasi hukum sebab isinya tidak terbatas pada topik tertentu (contoh seperti KUHP yang mengumpulkan seluruh ketentuan pidana).[23] Bayu Anggono (2020) juga menyatakan Omnibus Law berbeda dari teknik penyusunan UU konvensional yang dikenal Indonesia. Pertama, karena ciri UU di Indonesia mengatur hal yang spesifik dan konkret sedangkan Omnibus tidak; Kedua, perubahan/ pencabutan hanya dapat dilakukan terhadap satu UU saja, sedangkan Omnibus Law mencabut banyak UU sekaligus.

Dari situ, dapat kita lihat sesungguhnya Omnibus Law sulit diterapkan di Indonesia tanpa dilakukan penyesuaian-penyesuaian terlebih dahulu. Tanpa itu, RUU Omnibus Law berpotensi melanggar prinsip dan prosedur pembentukan UU yang telah diatur secara rigid dalam UU №12 Tahun 2011. Tidak hanya itu, jika disahkan, sulit untuk menilai apa kedudukan RUU Omnibus Law terhadap UU lainnya yang tetap berlaku. Ditambah dengan ketentuan kontroversial di dalamnya (seperti Pasal 170), pengesahannya hanya akan mengacaukan tata perundangan-undangan di Indonesia.[24]

Tidak hanya itu, dengan realitas politik oligarki di Indonesia, mustahil mengharapkan Omnibus Law dapat menghadirkan terobosan hukum yang bermanfaat bagi publik. Dengan sifat-sifat bawaan yang tidak deliberatif dan politis, bertemunya skema Omnibus Law dengan kepentingan oligarkis sesungguhnya sangat berbahaya bagi demokrasi. Proses pembentukan UU yang tertutup dan tidak partisipatif berpotensi menjadi sebuah kenormalan baru. Dalam situasi demikian, kedaulatan rakyat patut dipertanyakan.

Charlie Albajili adalah pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Tulisan ini lebih dulu dimuat di akun mediumnya. Dapat ditengok disini.

Catatan Kaki

[1] Salah satu UU yang dianggap membuat syarat investasi rumit menurut Menteri Sofyan Jalil adalah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Pokok Agraria. Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada tautan berikut https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-konsep-omnibus-law-bila-diterapkan-di-indonesia/ diakses pada 14 Juni 2020.

[2] Sejak periode pertama dalam RPJMN tertuang semangat deregulasi dan pembangunan infrastruktur. Dalam konteks ketenagakerjaan diterbitkan PP №78 Tahun 2015 yang menguntungkan pengusaha dalam proses penentuan skala upah yang tidak lagi melibatkan buruh hingga revisi UU Ketenagakerjaan yang memotong kewajiban perusahaan. Dalam konteks agraria dan tata ruang ada kemudahan perolehan lahan yang diatur dalam PP turunan UU Pengadaan Lahan hingga rencana UU Pertanahan yang bertendensi meliberalisasi sektor pertanahan.

[3] Pada mulanya Presiden mengusulkan dua RUU Omnibus Law yaitu Cipta Lapangan Kerja dan UMKM, namun kemudian UMKM digabungkan kepada RUU Cipta Lapangan Kerja. Naskah Pidato Presiden Joko Widodo diakses pada 14 Juni 2020 di https://nasional.kompas.com/jeo/naskah-lengkap-pidatopresiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024 diakses pada 16 Juni 2020;

[4] https://nasional.kompas.com/read/2020/01/29/20353601/jokowi-targetkan-omnibus-law-100-hari-ketua-dpr-jangan-terburu-buru diakses pada 16 Juni 2020;

[5] Partai koalisi Jokowi menguasai DPR dengan menempati 427 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya memiliki 148 kursi. Partai koalisi pemerintah terdiri dari PDIP sebanyak 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP 19 kursi. Lalu, partai yang tidak bergabung dengan pemerintah terdiri dari Demokrat sebanyak 54 kursi, PKS 50 kursi, dan PAN 44 kursi.

[6] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5038001/luhut-sebut-omnibus-law-rampung-juli

[7] Di Kanada praktik Omnibus Law pertama kali dilakukan pada 1888 (Michel Bedard-2012);

[8] Omgevingswet adalah UU Omnibus Law yang diterapkan Belanda pada 2016 dan akan efektif berlaku pada 2021 untuk penyederhanaan dan harmonisasi berbagai ketentuan terkait Lingkungan Hidup.

[9] http://www.duhaime.org/LegalDictionary/Category/ParliamentaryLaw.aspx; Michel Bedard. Omnibus Bills: Frequently Asked Questions. 2012. Ottawa: Library of Parliament; Briana Bierschbach. Everything you need to know about omnibus bills, and why they’re so popular at the Minnesota Legislature 31 Maret 2017 diakses melalui laman https://www.minnpost.com/politics-policy/2017/03/everything-you-need-know-about-omnibus-bills-and-why-theyre-so-popular-minne/

[10] Audrey O’Brien & Marc Bosc, eds, House of commons procedure and practice, 2nd ed (Cowansville, QC: House of Commons & Éditions Yvon Blais, 2009) at p. 724 dan Herb Gray dalam Adam M Dodek, ”Omnibus Bills: Constitutional Constraints and Legislative Liberations, ottawa Law Review • 48:1, p. 12.

[11] Glen. S Kruz. Tactical Maneuvering on Omnibus Bills in Congress. 2001. dalam American Journal of Political Science, Vol. 45, №1, Januari 2001, hal 210–223. Diakses pada 14 Juni 2020 melalui https://www.jstor.org/stable/2669368?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents

[12] Bryan A. Garner, ed., Black’s Law Dictionary (West Publishing Co 2004) 175.

[13] Louis Massicotte, Omnibus Bills in Theory and Practice, Canadian Parliamentary Review/Spring 2013, p.15.

[14] Barbara Sinclair. Unorthodox Lawmaking: New Legislative Proess in the US Congress. 1997. Washington DC: Congressional Quarterly.

[15] Op. Cit. Kruz

[16] World Economic Forum. The Global Competitiveness Index 2017–2018 edition. Hal 1

[17] Agenda pelemahan pemberantasan korupsi oleh pemerintah dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu: 1. Pembiaran terhadap kasus kekerasan aktivis anti korupsi; 2. Pelemahan KPK dengan revisi UU KPK; 3. Penghapusan pasal pidana korupsi di UU Minerba dan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja;

[18] Richard Robison. Indonesia: The Rise of Capital (1986). Asian Studies Association of Australia. Hal 213

[19] lihat https://faisalbasri.com/2020/01/19/sesat-pikir-omnibus-law/ diakses pada 16 Juni 2020;

[20] Salah satunya data pejabat pemerintah dan DPR RI terkait dengan PKP2B. Lihat https://katadata.co.id/berita/2019/06/20/nasib-8-perusahaan-besar-tambang-batu-bara-tersandera-revisi-pp-dan-uu diakses pada 16 Juni 2020;

[21] Ahmad Redi menyatakan praktik Omnibus Law telah dilakukan melalui Tap MPR No. I Tahun 2003 merupakan ketetapan yang melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.

[22] https://kompas.id/baca/utama/2019/11/27/rkuhp-sebagai-omnibus-law/ diakses pada 16 Juni 2020;

[23] Maria Farida Indrati, ”Omnibus Law”, UU Sapu Jagat?, Harian Kompas, 4 Januari 2020, hlm.6

[24] Pasal 170 dalam draf RUU Cilaka memungkinkan Peraturan Pemerintah membatalkan UU, hal yang mustahil dilakukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia yang diatur dalam UU 12 Tahun 2011.