Silang Sengkarut Program Prakerja

Program Kartu Prakerja yang sarat konflik kepentingan dan dugaan maladministrasi sebaiknya dihentikan dan dievaluasi segera.
Jokowi dan Kartu Prakerja

Program Kartu Prakerja yang merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo berpotensi memiliki konflik kepentingan dan merugikan keuangan negara. Dua masalah tersebut adalah beberapa kesimpulan dari hasil kajian yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis lalu (18/6).

Sejak diluncurkan pada 11 April 2020, Kartu Prakerja (KP) telah menuai banyak kritikan dari masyarakat. Mulai dari dinilai tidak tepat sasaran, hingga tidak efektifnya kelas daring untuk peningkatan kapasitas. Hal ini terjadi akibat tidak siapnya pemerintah dalam melakukan mitigasi perencanaan terhadap penanggulangan pandemi COVID-19.

Menurut pemerintah, program tersebut adalah salah satu mekanisme jaring pengaman sosial untuk menanggulangi dampak COVID-19. Regulasi yang mengatur program ini ialah  Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja (Perpres 36/2020) yang ditandatangani pada tanggal 28 Februari 2020 dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020 (Permenko 3/2020) yang ditandatangani pada 27 Maret 2020.

Anggaran KP yang sebelumnya hanya Rp. 10 triliun kemudian meningkat menjadi Rp. 20 triliun. Target penerima bantuan dari program KP yakni 5,6 juta orang dengan nilai bantuan sebesar Rp. 3,55 juta. Rinciannya yakni Rp. 2,55 juta untuk pekerja dan Rp. 1 juta untuk membeli kelas pelatihan di lembaga pelatihan melalui platform digital dalam bentuk saldo non-tunai.

Permasalahan

Cepatnya proses pembahasan program KP menimbulkan empat persoalan yang terjadi dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan program KP. Pertama, metode yang digunakan untuk menjangkau program pelatihan sangat bias kelas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018 jumlah pekerja informal didominasi oleh kelompok penduduk pendidikan tamatan Sekolah Dasar, yakni sekitar 78 persen. Sedangkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Jasa Penyedia Internet Indonesia menunjukan bahwa penetrasi pengguna internet dari penduduk tamatan Sekolah Dasar hanya sekitar 25,1 persen. Data tersebut memperlihatkan adanya gap yang muncul dari ketidakcermatan pemerintah dalam menyusun kebijakan sehingga kelompok penduduk yang paling membutuhkan pelatihan justru tidak terakomodir. Jika target program ini adalah para pekerja yang terdampak akibat COVID-19, hal itu pun juga tidak tercapai secara maksimal. KPK menyebutkan dari 1,7 juta pekerja yang terdampak dalam data white list, hanya 143 orang atau sekitar 8 persen yang melakukan pendaftaran. 

Kedua, adanya dugaan kuat maladministrasi dalam proses pelaksanaan kerja sama antara Manajemen Pelaksana dengan platform digital. Pada Pasal 19 ayat (2) huruf d Perpres 36/2020 yang ditandatangani pada tanggal 28 Februari 2020 dinyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Manajemen Pelaksana menyelenggarakan fungsi pelaksanaan kerja sama dengan Platform Digital”.

Pada Pasal 19 ayat 4 Perpres 36/2020 dinyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pelaksanaan kerja sama Manajemen Pelaksana dengan Platform Digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian”.

Dari dua pasal tersebut dapat disimpulkan, pelaksanaan kerja sama antara Manajemen Pelaksana dengan Platform Digital semestinya dilakukan ketika Peraturan Menteri terkait selesai. Permenko 3/2020 ditandatangani pada 27 Maret 2020. Sedangkan penandatanganan nota kesepahaman dengan delapan platform digital dilakukan 20 Maret 2020 atau tujuh hari sebelumnya. Artinya: penandatanganan nota kesepahaman dilakukan ketika Permenko yang mengatur mengenai teknis kerja sama belum tersedia.

Menurut pemerintah, penandatanganan nota kesepahaman dilakukan karena kondisi darurat. Padahal di dalam dua aturan yang diterbitkan (Perpres 36/2020 dan Permenko 3/2020) tersebut tidak ada sama sekali klausul mengenai kondisi kedaruratan. Sehingga, penunjukkan delapan platform digital diduga cacat administrasi karena absennya instrumen yang mengatur tentang petunjuk teknis mengenai kriteria platform digital.

Ketiga, tertutupnya informasi mengenai besaran komisi kepada platform digital. Pada Pasal 52 ayat (1) Permenko 3/2020 dijelaskan bahwa platform digital diperbolehkan untuk mengambil komisi jasa yang wajar dari lembaga pelatihan yang melakukan kerja sama. Selain itu, pada Pasal 52 ayat (2) dijelaskan juga bahwa besaran komisi jasa diatur melalui perjanjian kerja sama dan mendapat persetujuan dari Manajemen Pelaksana.

Namun publik selama ini tidak pernah mengetahui besaran komisi wajar yang diterima oleh platform digital, bahkan dari pihak Manajemen Pelaksana selaku tim teknis. Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai ketua komite tidak terbuka dalam memberikan informasi mengenai besaran komisi wajar atau perjanjian kerja sama antara manajemen pelaksana dengan platform digital.

Padahal berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan: badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat yang meliputi perjanjian badan publik dengan pihak ketiga. 

Keempat, adanya potensi afiliasi politik yang muncul dari lembaga pelatihan. Berdasarkan hasil kajian Indonesia Corruption Watch ditemukan dua lembaga pelatihan yang diduga memiliki afiliasi politik, yakni Vokraf atau PT. Kolaborasi Edukasi Nusantara dan Amithya Institute. 

Pendiri Vokraf teridentifikasi merupakan bagian dari tim direktorat konten kampanye Joko Widodo. Pun sepak terjang Vokraf dalam menyediakan pelatihan secara daring diragukan karena pembentukan websitenya pun terbilang belum lama. Bahkan ICW menemukan bahwa grand launching Vokraf sebagai lembaga penyedia yang berfokus pada edukasi secara daring baru dilakukan pada tanggal 21 Februari atau sekitar satu minggu sebelum terbitnya beleid Perpres 36/2020. 

Selain Vokraf, CEO Amithya Institute merupakan calon anggota legislatif Partai Golkar pada tahun 2019 lalu. CEO Amithya Institute juga wakil bendahara Partai Golkar Jawa Timur. Seperti diketahui, Ketua Partai Golkar adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, sekaligus Ketua Komite Program Kartu Prakerja.

Dari sejumlah permasalahan tersebut, sepatutnya pemerintah menghentikan program KP untuk selanjutnya dilakukan evaluasi agar tujuan yang ingin disasar tercapai. Apalagi temuan KPK menyebutkan ada potensi kerugian negara yang muncul.

Jika memang tujuan awal yang ingin dicapai oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan kapasitas pekerja, maka pelatihan secara daring sebaiknya ditunda hingga pandemi selesai. Namun, jika tujuan pemerintah adalah untuk memberikan bantuan bagi pekerja yang terdampak COVID-19, maka ubah skema programnya menjadi bantuan langsung. Hal ini dilakukan agar jelas keberpihakan pemerintah.

Jika masih dilanjutkan, rasanya pertanyaan ini akan relevan: Siapa sebenarnya yang ingin dibantu oleh pemerintah? Rakyat atau Pengusaha?

 

Wana Alamsyah adalah peneliti Indonesia Corruption Watch