Sewindu Presiden Jokowi yang Menambah Luka Korban Kasus HAM Berat Masa Lalu

Bulan Oktober memasuki hari kedua puluh, genap durasi tahunan kepemimpinan pasangan Presiden dan Wakilnya di Indonesia. Termasuk bagi Presiden Joko Widodo yang kini telah sewindu memimpin Negara. Lima tahun pertamanya dihabiskan bersama Muhammad Jusuf Kalla dan kini dirinya masih bersanding dengan Ma’ruf Amin di singgasana.
Aksi Kamisan ke 750 (27 Oktober 2022)

Delapan tahun berjalannya pemerintahan di bawah kendali Presiden Jokowi tentu menghadirkan beragam penilaian. Sejumlah pihak menyampaikan pujian, tapi tak sedikit juga meneriakkan catatan. Pandangan mengenai demokrasi dan hak asasi manusia utamanya bagaimana pembuktian janji Presiden soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah salah satu yang menumpuk.

Di antara banyak kritik lainnya seperti harga bahan bakar minyak dan bahan bakar pokok yang patut dijadikan perhatian, situasi dan kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di era Presiden Jokowi tentu perlu selalu jadi sorotan. Sebab selain pentingnya ditunaikannya keadilan bagi para korban, kita tentu #MasihIngat bahwa lewat sejumlah janji dan kampanye akan penuntasan kasus HAM masa lalu yang membuat Jokowi yang baru menjabat Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun terpilih menjadi Presiden. Kampanye yang masuk akal dipilih sebab sang rival yakni Prabowo Subianto terganjal rekam jejak kelam saat berdinas di dunia militer di masa silam.

Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara jelas dicantumkan sebagai butir detail dari poin pertama dalam daftar sembilan program perubahan untuk Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nawacita. Dalam dokumen lanjutan yakni Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014, pasangan ini bahkan menyebut setidaknya enam kasus yakni Kerusuhan Mei, Trisakti Semanggi 1-2, Penghilangan Paksa, Talangsari-Lampung, Tanjung Priok dan Tragedi 65. Tapi hingga periode pasangan ini berakhir, tak ada langkah berarti untuk menuntaskan beban sejarah bangsa ini.

Berkhianat terhadap Korban, Mengangkat Penjahat jadi Pejabat

Bukan hanya tidak memprosesnya, Kabinet Kerja justru membuat situasi di ranah penyelesaian pelanggaran HAM berat menjadi lebih berat. Presiden Jokowi memang pernah menggelar pertemuan dengan perwakilan penyintas dan keluarga korban di Istana Negara pada 31 Mei 2018. Sayangnya, tak ada tindak lanjut nyata dari kegiatan yang dilanjut dengan Aksi Kamisan di seberang Istana tersebut. Terparah, kita dihadapkan pada pilihan Presiden untuk mengangkat nama yang sarat kontroversi yakni Wiranto untuk menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan di tahun 2016. Panglima ABRI terakhir di rezim Soeharto itu disinyalir kuat terlibat dalam sejumlah kasus seperti Tragedi Trisakti Semanggi 1-2. Sosok usang ini juga tercatat masih berkutat di pemerintahan sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.

Tren Presiden Jokowi mengangkat nama yang penuh sejarah mudharat untuk masyarakat ini disebut oleh KontraS sebagai “Penjahat Diangkat Jadi Pejabat”. Daftarnya tak berhenti di Wiranto, tentu kita tak bisa melupakan plot twist terbesar di 2019 yakni diangkatnya Prabowo Subianto jadi Menteri Pertahanan. Rivalitas dua pilpres yang membelah publik menjadi dua yakni cebong dan kampret ini berakhir dengan kemesraan berbalut bagi-bagi kekuasaan yang juga menjadi rejeki bagi Cawapres Sandiaga Uno yang dipilih menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Prabowo Subianto lantas mengajak sejumlah nama kontroversial lainnya untuk bergabung di Kementerian Pertahanan berkat otoritas yang diberikan Presiden Jokowi. Reuni Tim Mawar Kopassus di Kemenhan terwujud antara para anggotanya yakni Dadang Hendra Yudha, Yulius Selvanus, Fauzambi Syahrul Multhazar, Chairawan dan Nugroho Sulistyo Budi. Nama anggota penculik para aktivis lain yang karirnya cemerlang di era Presiden Jokowi ialah Untung Budiharto, dirinya mengemban jabatan Panglima KODAM Jaya yang diberikan oleh Panglima TNI Andika Perkasa yang juga punya sisi kontroversi. Dirinya merupakan menantu dari Hendropriyono yang punya sejumlah catatan hitam di pelbagai pelanggaran HAM.

Pemilihan Andika yang merupakan Panglima TNI kedua di era Presiden Jokowi dinilai sebagai konflik kepentingan karena melanggar ketentuan. Pasal 13 ayat 4 UU TNI yang mengatur jabatan Panglima diisi bergantian antar matra yang di kesempatan terakhir semestinya jatuh ke Angkatan Laut dan bukan Angkatan Darat. Hal ini terjadi ditengarai karena keterdesakan umur Andika yang mepet dengan usia pensiun yakni 58 tahun. Tentu selain dugaan bahwa Andika juga ingin mendongkrak popularitasnya agar bisa turut serta dalam Pemilihan Presiden 2024.

Pengkhianatan lain yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap korban ialah dengan memberikan Bintang Jasa Utama untuk Eurico Guterres di Agustus 2021. Pada momen HUT ke-76 RI tersebut, Negara justru mengapresiasi sosok Wakil Komandan AITARAK (kelompok milisi di konflik Timor Timur) meski namanya tercatat sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di Timor Leste walau terbebas dari jeratan hukum berkat Peninjauan Kembali yang dikabulkan Mahkamah Agung di 2008. Kondisi perlakuan Negara ke para penjahat HAM bukan tidak mungkin memotivasi aparat lainnya untuk mereplikasi pelanggaran HAM berat terhadap warga. Dugaan kuat ini merebak di sejumlah peristiwa, sebut saja Tragedi KM 50 di Desember 2020 dan Pembantaian Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.

Pengadilan tanpa Niat untuk Keadilan

Pengadilan HAM yang bisa menjadi pintu bagi pemenuhan hak para korban dan publik pun menjadi isu yang mengemuka di pemerintahan era Presiden Jokowi. Setelah setidaknya 14 tahun pasca proses Peninjauan Kembali yang diajukan Eurico Guterres atas vonis terhadap dirinya di kasus Timor Timur, Indonesia akan menggelar Pengadilan HAM di 2022 atas Peristiwa Paniai. Langkah ini tentu publik dan KontraS apresiasi dan respons dengan beberapa catatan. Utamanya adalah soal pentingnya untuk setidaknya memeriksa Panglima TNI saat peristiwa terjadi yakni Moeldoko yang kini masih bercokol di pemerintahan sebagai Kepala Kantor Staf Presiden.

Namun, kita justru dihadapkan pada hasil penyidikan yang mengecewakan. Peristiwa Paniai yang terjadi di 7 – 8 Desember 2014 (atau hanya berselang dua bulan sejak Presiden Jokowi dilantik) dikonstruksikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Bentuk kejahatannya adalah pembunuhan dan penganiayaan yang juga dikaitkan dengan pasal rantai komando hanya menghadirkan seorang terdakwa yakni Isak Sattu seorang purnawirawan TNI yang bertugas sebagai Perwira Penghubung di Kodim 1705/Paniai saat peristiwa terjadi. Baik Kejaksaan Agung, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahkan Komnas HAM pun gagal memenuhi tugasnya untuk melibatkan peran para korban dan juga mengupayakan pemenuhan hak mereka atas pemulihan.

Tentu saja dengan kondisi seperti ini, Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai akan gagal mengungkap kebenaran dan membongkar pertanggungjawaban dari pelaku sampai ke pejabat terkait rantai komando. Serta tak ada koreksi dan evaluasi berarti kepada TNI dan POLRI untuk berbenah. Seperti apa yang pernah terjadi di tiga Pengadilan HAM sebelumnya, tak ada satu pun pelaku pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dinyatakan bersalah oleh Pengadilan untuk kemudian menjalani hukuman. Meski korban dan kesaksian berserakan menanti keadilan.

Pengadilan HAM yang dibuat gagal sedemikian rupa bisa dianggap sebagai upaya agar publik tak lagi menuntut digelarnya Pengadilan HAM sebagai cara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. Upaya kebijakan yang muncul seolah menggambarkan kejahatan super serius ini hanya perlu diselesaikan dengan pendekatan sosial ekonomi. Padahal intisari dari pelanggaran HAM berat adalah persoalan besar perihal bagaimana Negara lewat aparatnya merenggut hak asasi warganya. Hasil riset Komnas HAM dan Litbang Kompas di 2019 yang menyatakan 99,5% responden ingin serangkaian kasus ini tuntas lewat pengadilan pun direspons dengan langkah kontraproduktif.

Pemutihan Berkedok Pemulihan

Pada Agustus 2022, Presiden menelurkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Langkah yang seolah menunjukkan kepedulian pada kehidupan para korban tapi sesungguhnya problematis. Salah satu masalah utamanya ialah susunan personil di tim ini. Dua yang paling mencolok ialah Kiki Syahnakri yang diduga kuat terlibat di kasus Timor Timur dan As’ad Said Ali yang dulu memegang jabatan Wakil Kepala BIN saat lembaga intelijen tersebut santer disebut ada di balik pembunuhan Munir Said Thalib di 7 September 2004. Klaim pemulihan oleh Negara namun dengan cara yang keliru seperti ini dapat diendus sebagai bentuk pemutihan para penjahat HAM di Indonesia.

Akal-akalan busuk dari Istana ini juga dimungkinkan muncul sebab keterlibatan mantan aktivis HAM dalam prosesnya. Di Tim PPHAM ini turut bercokol Ifdhal Kasim sebagai wakil ketua. Eks Ketua Komnas HAM periode 2007 – 2012 ini melanglang buana di dalam sistem Pemerintahan seperti menjadi Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden namun keadilan tak kunjung terwujud bagi korban dan pelanggaran HAM lainnya juga tidak terelak masih terus bermunculan. Belakangan, sosok yang menghiasi masa mudanya lewat aktivisme di sejumlah organisasi masyarakat sipil ini juga terlacak aktif menjadi pengurus Partai Golongan Karya. Partai politik yang tentu punya cap kuat akan Soeharto, Orde Baru dan penderitaan Indonesia selama tiga dasawarsa ini sempat menunjuk Ifdhal Kasim menjadi Ketua Badan Advokasi Hukum dan HAM di awal 2020.

Klaim demi klaim yang disampaikan Pemerintah untuk membuktikan komitmen mereka dalam rangka menuntaskan pelanggaran HAM berat sangat layak diuji. Program serupa Tim PPHAM yakni Tim Terpadu Kemenkopolhukam tercatat menginisiasi kesepakatan yang melanggar ketentuan hukum dan bahkan melecehkan martabat korban. Butir rencana kesepakatan yang sempat termuat dalam Deklarasi Damai termasuk keluarga korban Tragedi Talangsari tidak menuntut kembali proses hukum. Bentuk pemulihan yang diberikan pun ialah pemenuhan hak-hak dasar yang sudah jadi kebutuhan warga secara umum seperti sarana jalan dan irigasi. Tim ini masih sempat terus berjalan meski Ombudsman sudah menyebutnya sebagai bentuk maladministrasi. Inisiatif ngawur lain seperti Dewan Kerukunan Nasional (DKN) dan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (UKP-PPHB) karena memang diciptakan sebagai cara untuk menyelesaikan kasus dengan cara yang tidak tepat.

Mengingat Presiden Jokowi sebagai Bagian dari Ketidakadilan

Buktinya tidak sesuainya langkah-langkah yang dipilih Presiden Jokowi ialah tiap Kamis sore Istana masih disambangi oleh para korban dan warga yang menggelar Aksi Kamisan sejak 2007. Bukti ini sekaligus membuat kita tentu akan mengingat sosok Presiden Jokowi bukan hanya sebagai pembohong karena tidak menepati janjinya melainkan juga turut melanggengkan penderitaan imbas ketidakadilan yang terus diderita para korban. Satu kenyataan yang akan terus melekat dalam ingatan publik soal Jokowi hingga di masa depan.

*) Ahmad Sajali adalah Staff Divisi Pemantauan Impunitas KontraS