Semua Akan Golput Pada Waktunya

Pantas saja para elit politik makin hari makin panik. Pesan golput nyatanya bergaung tanpa henti di dua konser anak muda kenamaan ibukota! Lho, kok bisa?
(Ahmad Sajali)

Rasa insecure para elit politik terhadap eksistensi golput pantas saja makin tinggi belakangan ini. Situasi yang ditandai dengan bertambahnya varian sumpah serapah terhadap golput ini bukan tanpa sebab. Ia merupakan respon dari semakin masifnya kampanye oleh mereka yang tidak percaya terhadap para peserta pemilu. Ternyata, tempo hari pun terhitung ada dua seruan lantang agar anak muda jadi golput yang diadakan secara terbuka dan besar-besaran pada Sabtu (6/4), 11 hari menjelang hari sakral pencoblosan. Melihat hal ini, saya yang terguncang sampai merapal dalam hati; ternyata semua akan golput pada waktunya.

Keduanya berformat acara musik alias konser, salah satunya bahkan memanfaatkan Gelora Bung Karno, meski hanya di parkiran selatan (mungkin karena sehari setelahnya ada kampanye sambil shalat subuh berjamaah di atas lapangan). Acara yang dimaksud ialah Pesta Demokreasi, sebuah jogress antara pagelaran musik dan aktivisme. Sebuah jawaban dari penantian rakyat NKRI akan sebuah pagelaran seni sosial politik se-epik Woodstock 50 tahun silam. Atau terpicu nostalgia Live Aid yang kembali terngiang berkat Bohemian Rhapsody, film biopik mendiang Freddy Mercury.

Di Pesta Demokreasi yang diselenggarakan We The Youth ini kita disuguhkan berbagai ajakan untuk 100%-in Pemilu 2019. Tapi selain ajakan untuk datang ke TPS dan mencoblos surat suara, berbagai seruan di acara ini sebenarnya secara tidak langsung membuat para pembaca memilih untuk tidak memilih, sebab tak ada pasangan calon yang memenuhi kriteria-kriteria layak-memimpin yang disuguhkan oleh pagelaran ini.

Sebentar, sebentar. Tidak punya kandidat yang layak untuk dipilih tapi tetap datang ke TPS agar surat suara tidak disalahgunakan? Lho, ini ‘kan seruan Golput 4.0! Apakah maksud acara ini adalah untuk 100%-in golput di Pemilu 2019? Jika benar, tentu ini jauh lebih radikal dari wacana golput manapun selama beberapa bulan belakangan.

Jangan kira saya sedang mengada-ngada. Misalnya nih ya, ada satu kampanye grafis yang sangat menarik perhatian saya, sebuah gambar @komikrukii (desainer idola sebab sering gambar untuk Aksi Kamisan dan KPK) yang menampilkan kartun lelaki mirip sosok Almarhum Munir. Kartun ini dilengkapi dengan seruan “Jangan Sampai Kuasa Merampas (Lagi) Keadilan!” Kalimat yang memang pasti akan keluar dari diri sosok yang selalu berani melawan ketidakadilan semasa hidup.

“Woi, Kalimat itu kan buat Prabowo yang bakalan bangkitin Orba lagi!” Kesimpulanmu kurang matang dan tidak bisa mengerti seruan golput dibaliknya, wahai anak muda yang belum banyak makan asam garam. Kita hanya perlu memahami bahwa kata “lagi” memegang peranan kunci disini. Bukan sekadar penangkis dari ORBA jilid 2 apabila Prabowo berkuasa, kata “lagi” turut menyiratkan bahwa ketidakadilan memang sedang dirampas oleh Negara hari ini di bawah kepemimpinan Joko Widodo.

“Hah? mindfuck banget asli, Min!” Kita nggak bisa denial kalau memang kita sedang hidup di negara yang penuh ketidakadilan dan nggak demokratis. Kebebasan berekspresi kita tidak kunjung bebas sebab pasal karet di UU ITE dan regulasi anti-kebebasan lain seperti pasal penistaan agama, penghinaan, dan seterusnya. Ada berbagai upaya teror, serangan dan kriminalisasi kepada aktivis seperti terhadap Salim Kancil (petani dan aktivis di Lumajang, Jawa Timur), Budi Pego di Tumpang Pitu dan Novel Baswedan serta rekan-rekan penyidik di KPK. Belum lagi masih diabaikannya berbagai kasus HAM berat di Indonesia. Tidak bisa dibantah bahwa semua fenomena ini terjadi di era Jokowi, akuilah itu.

Nuansa kampanye Golput 4.0 semakin terasa oleh beberapa line-up musisi yang dihadirkan. Dua nama yang patut diperhatikan ialah Jason Ranti dan Feast. Keduanya selama ini dianggap mampu membuat para pendengar karyanya bisa menjadi (makin) rebel. Setidaknya dari keduanya masing-masing ada satu lagu yang bisa bikin kita #SeMcqueenYaQueen untuk golput.

Lagu dari JejeBoy yang bisa jadi kandidat lagu dalam album kompilasi golput ialah “Anggurman”. Kesimpulan tersebut muncul dari penggalan lirik di bagian reff yakni “Apa kamu sudah gila keracunan, kebanyakan kekuasaan?” Meski interpretasi atas lirik lagu selalu bersifat subjektif, sebagaimana kita bisa memaknai lagu hits berjudul “Bahaya Komunisme” musisi asal Pamulang ini entah sebagai satir atau sebagai propaganda kebangkitan PKI yang selalu menakuti-nakuti bangsa ini.

Karya Feast yang patut dinyanyikan oleh kita yang ingin golput sebelum ke TPS pada 17 April 2019 tidak lain adalah lagu “Kami Belum Tentu”. Sebuah sikap tegas bahwa kita belum tentu mau kena jebakan Batman di balik pemilu. Sekali lagi saya harus salut. Keren banget deh pokoknya We The Youth bisa mengampanyekan Golput 4.0 dengan segokil ini!

Tak cukup mengampanyekan Golput 4.0 dengan cara kekinian di Pesta Demokreasi, pada Sabtu malam kemarin juga digelar acara seputar HAM yang berjudul “Konser Yang Muda Yang Melawan Lupa”. Sebuah tagline yang golput banget kan?

“Ah, ini mah untuk ngingetin jeleknya Prabowo aja kali min!” Duh, kalian ini kok belum bisa ya menangkap maksud mulia dibalik acara ini? Para panitia yang sebagian besar aktivis pro-demokrasi (sebuah gelar penghormatan untuk mereka) ini tuh sebenarnya ingin juga kita mengingat bahwa ada janji penuntasan kasus HAM berat di Indonesia yang Jokowi belum tuntaskan.

IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, organisasi yang concern soal kasus penculikan aktivis ’98) sebagai salah satu penggagas acara mana mungkin lupa bahwa selain ada Prabowo si anak emas Orde Baru, ada juga Wiranto yang menjadi petinggi ABRI di ’98. Dan menurut KontraS, sebaran para purnawirawan militer yang punya catatan akan kejahatan HAM tersebar cukup merata di kedua kubu kandidat Pilpres 2019.

Waduh, terus bagaimana ngelawannya, ya? Pastinya dengan memilih untuk tidak memilih keduanya alias golput. Bukankah demikian, Mas Mugiyanto, yang saya yakin berdiri persis di belakang Jokowi pakai jaket bomber TKN saat Debat Pilpres pertama agar semakin leluasa menyampaikan kebenaran. Betul ‘kan Mas?

Jason Ranti kembali didapuk menjadi salah satu pengisi acara ini. Kali ini bersama nama lain seperti Fajar Merah (putra dari Wiji Thukul, sastrawan yang menjadi korban penghilangan paksa ’98). Eh, tapi denger-denger Bang Jeje dan Bang Fajar manggungnya malah di luar venue? Kenapa tuh, ya? Karena AC-nya kekencengan? Biar sound-nya lebih megah? Atau ada penyebab lain?

Tapi di dalam atau di luar venue sebenarnya tidak masalah, karena sudah terbayang kalau mereka bakal kolaborasi menyanyikan puisi Wiji Thukul paling terkenal yakni “Bunga dan Tembok”. Lagu yang seharusnya bisa mengingatkan Teten Masduki, Budiman Sudjatmiko, Ifdhal Kasim, Abetnego Tarigan serta para eks-aktivis masyarakat sipil yang sekarang hidup nyaman di Istana, komisariat BUMN dan lembaga negara lain akan peran yang semestinya mereka mainkan di dalam pemerintahan.

Yakni untuk menjadi biji yang disebar demi menghancurkan ketidakadilan yang kian hari malah kian banyak diproduksi oleh Negara. “Jika kami bunga, kaulah tembok itu, telah kami sebar biji-biji di tubuhmu. Suatu saat nanti, ‘kan tumbuh bersama, dengan keyakinan KAU HARUS HANCUR!” lirik heroik ini mana mungkin dilupakan oleh para aktivis yang turut melahirkan reformasi ini.

Terima kasih Pesta Demokreasi dan Konser Yang Muda Melawan Lupa yang sudah semakin menyebarluaskan pentingnya memilih Golput 4.0 untuk kita semua, Ingat bahwa di 17 April 2019 ini kita semua akan memilih pemimpin yang sanggup menghadirkan keadilan dan melawan lupa akan pelanggaran HAM – hal yang tidak akan kita temukan di dua pilihan yang tersedia.

 

Ahmad Sajali sehari-hari bekerja di Lokataru Foundation. Ia juga penggiat Aksi Kamisan dan aktif di Youth Proactive, inisiatif untuk mendorong gerakan politik anak muda.