Semangat Hongkong di Bumi Papua

Semangat Hongkong untuk memperjuangkan demokrasi nampaknya tak akan hinggap di Jakarta dalam waktu dekat. Hari ini ia lebih memilih untuk mampir ke Papua.
Demonstrasi mahasiswa Papua di Jakarta (22/8) kemarin. (Reportase News)

Empat tahun lalu, tepatnya pada 10 Desember 2015, kurang lebih setengah isi kantor lama saya ditangkap dan digiring ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat. Saat itu kami hanya sedang memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta sambil membagikan stiker berisi pesan keprihatinan. Hingga kini saya masih tak paham alasan ditangkapnya 12 orang rekan kerja saya pada hari itu. Padahal secara prosedural kami telah mengirimkan Surat Pemberitahuan ke Polres dan tembusan ke Polda tiga hari sebelum aksi digelar.

Aksi kami juga dijamin Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: aktivitas penyampaian pendapat di muka umum dapat dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional; serta pada hari besar nasional.

Enggak disebut-sebut kan Bundaran HI itu tempat terlarang untuk menyampaikan pendapat?

Membaca berita tentang masifnya demo di Hongkong sambil merefleksikan kejadian empat tahun lalu membuat saya tersadar pada kenyataan getir. Nampaknya para  Hongkongers bisa lebih leluasa menyampaikan pendapat dan menunjukkan apa itu ‘politik warga’ di lokasi-lokasi strategis di sana. Sementara di sini, Bundaran HI seolah dianggap ‘lebih agung’ daripada kantor Polisi di sekitar business district di Hongkong, seperti di Tsim Sha Tsui atau Victoria Park.

Muda-mudi Hongkongers sudah lama ‘melek’ untuk menggunakan protes sebagai senjata: sejak di bawah kolonial Inggris (1980-an), Umbrella Movement di tahun 2014, sampai rangkaian aksi #antiELAB yang sudah berlangsung hampir dua bulan di sudut-sudut kota megah itu. Di lain sisi, Jakarta juga sudah menjadi ajang berbagai demonstrasi masif yang tercatat sejarah: dari mobilisasi lapangan Ikada 1945, gerakan mahasiswa 1966, Peristiwa Malari 1974, Reformasi 1998, hingga mobilisasi yang tergolong baru seperti aksi 212 dan demo 21-22 Mei 2019 lalu. Belum lagi aksi-aksi yang “rutin”: seperti Kamisan, Mayday dan Women March.

Namun di tengah berbagai macam aksi jalanan itu, saya malah berpikir: aksi protes memang bukan senjata utama bagi Jakartans dalam mengekspresikan pendapatnya. Atau mungkin bagi warganya, Jakarta memang bukan medan untuk protes. Ia hanyalah sebuah etalase bagi perjuangan pahit para pencari nafkah dan jodoh, yang kerap jadi inspirasi bagi penulis lagu yang sendu-sendu itu.

Tengok saja, berapa banyak cibiran yang muncul dari para Jakartans setiap kali aksi May Day digelar. Sampai-sampai para pejuang kebebasan ini kerap dilabeli Social Justice Warrior (SJW) yang secara peyoratif sering diartikan sebagai pengguna sedotan stainless, suka marah-marah, punya koleksi t-shirt Marsinah atau Che Guevara, dan tukang demo soal isu apa saja, yang penting mengepalkan tangan kiri dan nyanyi Internasionale atau Darah Juang.

Dengan kata lain, warga Jakarta tampaknya kurang familiar dengan culture of protest yang kental seperti di Hongkong. Mungkin karena terlalu lama dibuat tumpul sejak Orde Baru. Saat itu, boro-boro protes, cuy! Tampil sedikit berseberangan dengan jenderal presiden yang dikabarkan suka senyum itu, bisa alamat ditodong laras panjang di depan rumah.

Tidak begitu kentara pada Jakartans sebuah semangat kolektif sebagai warga yang otonom untuk menolak segala bentuk penindasan selayaknya di Hongkong. Demi menentang rencana amandemen undang-undang ekstradisi; energi dua juta jiwa tumpah ke jalan menghukum otoritas yang lancung pada janji dan dianggap terlalu turut dengan Tiongkok. “Lho kok bisa? Mereka kan satu kesatuan? ‘Kan sama-sama berkulit kuning? Dibela asing ya?”

Hehehe.

Kawan, warna kulit dan aksen tidak punya makna sama sekali dalam perjuangan kepentingan publik. Dipetakan sebagai tanah yang anti-demokrasi; membuat  75 persen orang berusia 18 hingga 29 tahun di Hongkong mengidentifikasi diri sebagai “Hongkongers” bukan sebagai “Cina” “Cina di Hongkong” atau “Hongkongers di Cina”.

Terlebih yang dilawan tak hanya sekedar amandemen produk hukum, namun sebuah kebebasan yang telah habis dipasung. Tak hanya oleh rezim politik yang anti demokrasi, namun juga oleh gerombolan oligark yang membuat Hongkongers harus banting tulang kerja lebih dari tiga shift untuk sekadar mendapatkan tempat tinggal yang layak.

Photo: Asia Times/ Almen Chui

Saya atau kita yang memilih beraktivitas demi sesuap nasi dan segenggam berlian di Jakarta sebenarnya juga tak begitu asing dengan masalah hunian mahal itu. Meski bekerja sampai matipun sepertinya susah menghantarkan kita pada mimpi untuk memiliki rumah di sekitaran Rawamangun atau Pondok Labu (apalagi Menteng dan Pondok Indah). Harga tanah yang meroket di sini sempat masuk sebagai area dengan laju peningkatan harga properti kedua tertinggi di Asia tenggara. Hunian bagi kelas menengah atas kini berkisar diantara Rp. 45 juta per meter persegi, dan untuk kelas menengah Rp. 25 juta per meter persegi.

Namun Jakartans selalu punya pelipur laranya sendiri. Persis seperti lirik lagu ‘Secukupnya’ dari Hindia: teruk ini justru tak pernah mendorong Jakartans untuk menggunakan bacotnya lebih kencang untuk menuntut hak ketimbang mengganyang teman-teman seperjuangannya di ibu kota – di laman-laman media sosial.

Justru bacot itu makin keras dan menemukan bentuknya dari Mace Pace Papua yang tengah berjibaku melawan stigma dan penindasan puluhan tahun. Semangat Hongkongers ternyata hinggap di Papua.

****

Jangankan dipanggil monyet, disuit-suit dipanggil seksi saja saya bisa mencak-mencak. Apalagi diminta untuk saling bermaafan dengan pelaku catcalling yang bisa kita jumpai di banyak perhentian stasiun atau pengkolan gang. Ketika tindak laku rasisme sudah kita haramkan lewat peraturan perundangan, ‘maaf-maafan’ model begini hanya jadi bukti bahwa ada toleransi yang dibangun dalam kultur kita untuk ‘mengizinkan’ tindakan tersebut. Nampaknya kita tak pernah benar-benar jadi manusia yang adil dan beradab.

Segala stereotip yang dilekatkan secara paksa kepada masyarakat Papua sesungguhnya adalah ekses dari sebuah perundungan serius Indonesia kepada Papua sedari lama. Kalau Tiongkok – Hongkong disebut one country two systems, mungkin Indonesia – Papua bisa kita sebut one country two destinies, alias hidup di satu negara tapi punya takdir yang jauh berbeda.

Papua kurang lebih senasib dengan Hongkong; tak hanya kekerasan yang mendera para demonstran serta blokade terhadap akses informasi, Papua menyimpan banyak cerita bagaimana praktik-praktik primitif yang seharusnya sudah ditinggalkan zaman, masih kerap terjadi pada masyarakat Papua. Desain politik oligarkis dan masih berseminya budaya kekerasan di Indonesia ditengarai jadi beberapa sebab ekskalasi konflik di Papua terus diamini sebagai sebuah kenyataan.

Di akhir tahun 2017 ada satu laporan menarik yang sepertinya luput dari perhatian kita di tengah semangat nasionalisasi Freeport dan rencana pembangunan infrastruktur yang berbunga-bunga di tanah Papua. Rupanya setali tiga uang dengan Hongkong; tanah Papua habis dibagi-bagi untuk perluasan eksplorasi tambang, kebun sawit dan tanaman pangan untuk industri lainnya.

Pemberian ratusan ribu izin tambang dan kebun ini toh tak pernah membawa terang bagi Papua. Justru sebaliknya, angka kemiskinan yang tinggi terus merundung Papua dari tahun ke tahun. Di tahun 2019 saja, Biro Pusat Statistik (BPS) melansir peningkatan angka kemiskinan di Papua dari 27,43 persen pada September 2018 menjadi 27,53 persen pada Maret 2019. Terang yang ditunggu-tunggu nyatanya hanya nampak di Jakarta, lewat potongan berita yang terus mengabarkan rencana-rencana besar untuk membangun Papua.

Kita tidak tahu ‘kan siapa persisnya yang mendapatkan keuntungan dari ekspansi besar-besaran perusahaan di atas tanah Papua?

Belum lagi apabila kita bicara soal praktik kekerasan aparat penegak hukum pada masyarakat Papua. Papua masih merupakan wilayah yang diselimuti praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Setidaknya ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killings) oleh pasukan keamanan di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018, yang memakan korban 95 jiwa.  Pelakunya dari kepolisian dan militer. 41 kasus terjadi dalam konteks peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas politik, sementara 28 kasus adalah pembunuhan di luar hukum oleh aparat yang berkaitan dengan aktivitas politik. Parahnya, tidak pernah ada satupun kasus pembunuhan tersebut yang ditindak secara adil dan diganjar hukuman setimpal.

Seperti Hongkong, umur perlawanan Papua untuk melawan ketidakadilan juga tidak bisa dibilang sebentar. Dimulai pada 1965, di mana kekerasan brutal perdana militer Indonesia kepada Papua terjadi saat rakyat Papua mendeklarasikan “Organisasi Papua Merdeka”, berlanjut sampai kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001) serta pembubaran dan penangkapan peserta aksi yang tidak terhitung banyaknya hingga hari ini.

Namun tak seperti Hongkong, Papua tidak ramah pada jurnalis asing. Semua kantor berita internasional di Hongkong dapat dengan mudah menyiarkan apa yang sedang terjadi. Tapi Papua? Silahkan tanya Rebecca Alice Henschke, jurnalis BBC yang pernah menulis tentang bantuan mie instan, biskuit dan soda bagi para penderita stunting di Asmat. Ia ditahan oleh pihak imigrasi karena cuitannya di Twitter perihal kejadian tersebut dianggap membangun persepsi negatif terhadap Pemerintah Indonesia.

Di tengah situasi penuh himpitan budaya primitif tersebutlah Papua melancarkan protes. Seperti Hongkong, Papua juga punya hak untuk keluar dari sebuah takdir yang terus menerus menempatkan mereka dalam keterpurukan. Revolusi Hongkong dan di Papua hemat saya membawa pesan bagi para muda-mudi untuk mengambil kembali kedaulatan warga yang telah lama dibatasi dan dikerdilkan dengan dalih apapun.

****

Pada akhirnya ini bukan semata-mata tentang apakah kelak Hongkongers dapat mencapai demokrasi yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun. Juga bukan tentang apakah para Jakartans bisa menghirup udara yang tak membuat otak tumpul, pun bukan tentang apakah Papua bisa segera merdeka atau tidak. Ini tentang bagaimana menguji kesadaran kolektif kita bahwa jendela demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sudah kian menyusut, sementara pilihan langkah untuk ‘melegakan’ kembali ruang-ruang kebebasan bagi kita sudah tak banyak tersedia.

Untuk Papua dan Hongkong; doa kami bersama pilihan bebas yang kalian ambil, apapun itu, selama kebebasan dan hanya untuk kebebasanlah yang kita tuju bersama-sama.

Untuk Jakartans – sayang saya tak punya pesan lagi untuk anda.

 

Nisrina Nadhifah Rahman atau biasa dipanggil Ninies sehari-hari aktif sebagai pegiat HAM. Ia juga mengelola kanal Youtube NawXNies yang mengupas isu-isu sosial-politik terkini hingga lika liku perkara cinta.