Agenda pemberantasan korupsi di Indonesia kini diujung tanduk. Kriminalisasi yang terus dilakukan terhadap pimpinan dan penyidik KPK membuat institusi yang saat ini paling konsisten mengawal kasus korupsi di Indonesia ini lumpuh. Berbagai kasus korupsi yang sedang ditangani KPK pun mandek.
Sikap Jokowi membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri serta pengangkatan pelaksana tugas (Plt) untuk menggantikan pimpinan KPK yang dikriminalisasi tidak menyelesaikan permasalahan. Sikap Jokowi ini seolah-olah ‘menjawab’ tuntutan rakyat, namun pada kenyataannya justru semakin menjerumuskan posisi KPK.
Upaya kriminalisasi terhadap KPK masih terus berlanjut. Setelah BW dan AS yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ada 21 penyidik KPK lain yang menunggu ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kepemilikan senjata ilegal. Pernyataan Jokowi kemarin memang meredakan konflik di permukaan antara Polri dan KPK, namun sikapnya sama sekali tidak melindungi KPK dari upaya pelemahan.
Dua dari tiga Plt yang diangkat juga memiliki rekam jejak yang tidak ramah dengan pemberantasan korupsi. Indriyanto Seno Aji adalah mantan pengacara Soeharto. Selama ini ia dikenal berseberangan dengan KPK. Ia dekat dengan kekuatan Orde Baru serta banyak melakukan pendampingan hukum terhadap pelaku korupsi, kejahatan perbankan dan pelanggaran HAM.
Sedangkan Taufiequrachman Ruki, meskipun ia adalah mantan pimpinan KPK yang dinilai cukup baik, kedekatannya dengan kekuasaan membuatnya patut diragukan. Ia adalah pensiunan Jendral Polri yang juga aktif di Partai Demokrat dan menjabat Komisaris Utama Bank Jabar Banten (BJB). Publik pun tahu bahwa kasus korupsi Bank BJB tak kunjung tuntas ditangani KPK. Praktis hanya Johan Budi yang mempunyai komitmen jelas. Dengan demikian penetapan Plt ini hanya menjadi bom waktu bagi KPK. Secara de facto KPK telah lumpuh.
Tentu dalam menilai polemik pelemahan KPK ini, kita tidak dapat menyandarkannya pada sosok Jokowi seorang. Harus disadari bahwa upaya pelemahan KPK ini disebabkan oleh begitu mengguritanya kekuasaan oligarki di tubuh lembaga negara. Oligarki adalah mereka yang menguasai sumber-sumber daya dan kapital serta berupaya mempengaruhi kekuasaan. Kekuatan material para oligark penyokong kekuasaan ini bergerak menentukan arah kebijakan. Para oligark menjalin relasi dengan kekuasaan atau terjun langsung ke kancah politik dengan tujuan mempertahankan atau melipat gandakan kekayaannya. Dalam mempertahankan kekayaan atau ekspansi kekayaannya, oligark terus berupaya mempermainkan hukum dan bila perlu merusak serta menghancurkan institusi. Pernyataan Busyro Muqoddas bahwa ada mafia migas dibalik upaya pelemahan KPK merupakan sinyal yang kuat bahwa oligarki berdiri di belakang kisruh ini.
Upaya pelemahan KPK ini harus dilihat dalam gambaran yang lebih besar. Pembiaran yang dilakukan oleh Jokowi membuktikan dirinya berada bersama oligarki parpol. Konsolidasi KIH dan KMP di tubuh parlemen yang satu suara dalam upaya pelemahan KPK merupakan sinyal kuat bahwa kisruh ini belum berakhir. Sikap parlemen seperti itu merupakan tanda bahaya mengingat beberapa agenda program legislasi nasional (Prolegnas) ke depan berhubungan langsung dengan KPK.
Revisi UU KPK dan UU Tipikor kembali masuk dalam agenda Prolegnas di DPR periode 2015-2019. Revisi kedua UU ini pernah ditolak dalam periode sebelumnya karena perubahannya berpotensi melemahkan KPK. Dalam revisi yang diusulkan, ada upaya untuk membatasi kewenangan penuntutan dan penyadapan yang dimiliki KPK. Sikap parlemen yang semakin kompak melemahkan KPK membuat dugaan kewenangan KPK akan dipreteli menguat. Dengan kewenangan yang semakin terbatas, KPK akan kehilangan tajinya dalam membongkar kasus korupsi besar. Hal ini terlihat jelas dalam rancangan Revisi UU KPK yang menuai keributan. Pasalnya kewenangan penuntutan oleh KPK, yang terbukti efektif selama ini, dipangkas dan diserahkan pada kejaksaan.
Pengaruh oligarki dalam upaya pelemahan KPK semakin jelas apabila kita melihat dilakukannya Pilkada langsung serentak di tahun 2016. Perkawinan para oligark dengan parpol biasanya terjadi pada saat Pemilu, terutama dalam iklim pemilihan langsung. Biaya politik yang mahal dalam Pemilu langsung menjadi pintu masuk oligark mempengaruhi kekuasaan. Politik uang dan korupsi yang marak terjadi pada saat Pemilu menandai perkawinan oligarki dengan kekuasaan itu. Beberapa kasus yang berhasil diungkap oleh KPK seperti dugaan kasus suap daging sapi impor, Hambalang, cek pelawat dan bantuan sosial berkaitan dengan pengumpulan modal Pemilu yang mana erat kaitannya dengan para oligark.
Dengan maraknya Korupsi yang terjadi setiap Pemilu, akan dapat dibayangkan dalam sebuah Pilkada serentak, aparat penegakan hukum akan kewalahan mendeteksi adanya korupsi, terutama dengan lumpuhnya KPK. Perkawinan oligark dengan parpol tak terbendung. Pintu masuk oligarki kepada kekuasaan terbuka lebar.
Dengan kewenangan yang dimiliki KPK sekarang, kuasa material oligarki dalam mempengaruhi kekuasaan relatif dapat dibendung. Prestasi KPK memberantas korupsi di periode sekarang pun cukup membanggakan. Berbagai kasus korupsi besar seperti kasus Hambalang yang berkaitan dengan para oligark dan partai penguasa mampu dibongkar. Beberapa kasus besar lainnya seperti kasus BLBI, Century dan korupsi SDA lain pun sedang ditangani serius oleh KPK. Maka dapatlah dikatakan bahwa KPK adalah tembok pertahanan terakhir terhadap oligarki.
Di sini, upaya pelemahan KPK hanyalah bagian kecil dari skenario besar melanggengkan dan melipat gandakan cengkeraman oligarki dalam sistem politik Indonesia. Upaya mendorong pemberantasan korupsi dan penyelamatan KPK harus disadari betul merupakan bagian dari agenda perlawanan terhadap oligarki. Konsolidasi kekuatan kritis harus dibangun untuk melawan oligarki.
Dalam kisruh ini, dengan berbagai keputusan dan bahkan diamnya sikap Presiden, ia dapat dituding sebagai bagian oligarki, sampai ia membuktikan sebaliknya.