Rezim Jokowi dan Dekonsolidasi Demokrasi Indonesia

Resume #3 Forum Diskusi Jakarta. Bicara mengenai kondisi demokrasi Indonesia dewasa ini, istilah “dekonsolidasi demokrasi” kerap muncul ke permukaan. Apa yang dimaksud dengan dekonsolidasi demokrasi? Benarkah Indonesia tengah mengalami dekonsolidasi demokrasi?
(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Pada 8 September 2017, Forum Diskusi Jakarta mengadakan diskusi kecil untuk membahas mengenai analisis “dekonsolidasi demokrasi” yang saat itu ramai dikemukakan para pengamat politik Indonesia. Analisis tersebut punya kesimpulan yang cukup pesimis: bahwa kerusakan demokrasi Indonesia tidak akan didahului oleh “kejadian-kejadian besar” seperti Pemilu, Kudeta, atau segala macam hal yang biasanya digembar-gemborkan di banyak kesempatan, melainkan terjadi secara bertahap, pelan-pelan, dan relatif tanpa menimbulkan kegaduhan.

Jika anda pernah membaca editorial kami, tentu anda tidak akan kaget dengan pendapat berikut: kematian perlahan demokrasi ini kami anggap kian menampakkan gejalanya di rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tentu anda boleh tidak sepakat. Namun hari ini, kurang dari 48 jam menjelang Pemilu, sekiranya catatan diskusi 2 tahun silam ini dapat memaparkan alasannya. 

Untuk bisa melacak dan mengevaluasi gejalanya secara seksama, kita harus memahami lebih dahulu apa yang dimaksud dengan dekonsolidasi demokrasi. Pertama, ia harus dibedakan dengan fenomena breakdown of democracy secara mendadak, seperti yang kita takutkan apabila Prabowo terpilih pada Pilpres 2014. Mereka yang meneliti fenomena breakdown of democracy banyak fokus pada event besar semacam ini. Di lain pihak, dekonsolidasi demokrasi berlangsung tanpa harus melalui kejadian-kejadian penting seperti Pemilu atau kudeta. Ia berjalan secara gradual dalam rentang waktu yang cukup lama. Prosesnya nyata. Namun karena sifatnya yang tidak dramatis, ia kerap sulit untuk diidentifikasi.

Sebagai ilustrasi, kita ambil contoh Turki dibawah Recep Tayyip Erdogan. Di awal kepemimpinannya, Erdogan ramai dipuji karena berhasil mengurangi dominasi militer dalam politik Turki. Ia juga giat mewacanakan kemajuan ekonomi serta mempromosikan wajah Islam yang moderat. Tapi pada perkembangannya kemudian, rezim Erdogan secara perlahan menempuh proses dekonsolidasi demokrasi — sebelum akhirnya menciptakan otoritarianisme baru. Sampai hari ini, banyak yang tidak sepakat apabila Turki disebut sebagai negara otoriter. Kebanyakan beralasan bahwa di Turki masih ada Pemilu. Tetapi kita tahu persis bahwa di zaman Soeharto pun ada Pemilu secara berkala. Namun dibalik itu: oposisi dibungkam, pers dibredel, teror jadi makanan sehari-hari, dan lain-lain.

Tak ubahnya seperti Turki, dekonsolidasi demokrasi Indonesia juga tidak serta-merta terjadi. Ia terlebih dahulu diawali oleh stagnasi. Sejak tahun 2005, reformasi Indonesia di bidang institutional democracy dapat dikatakan berhenti. Pencapaian terakhir adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah mengenai Pilkada dan perdamaian di Aceh. Praktis setelahnya Presiden Yudhoyono hanya menjadi administrator dari reformasi politik yang sudah dicapai. Yudhoyono tak mau ambil risiko memulai proses politik baru dan lebih memilih untuk mengelola status quo. Akibatnya, institusi dan proses politik yang telah ada tak kunjung dikonsolidasikan. Yang terjadi adalah penurunan kualitas demokrasi secara bertahap: Pemilu 2009 yang lebih buruk dari Pemilu 2004 (Pemilu 2014 sebagai yang paling buruk); Pilkada yang melahirkan fenomena calon tunggal, dinasti politik, pembelian suara, dan lain-lain.

Meski demikian, harapan tetap melambung tinggi di era Jokowi. Ini ditambah oleh nuansa kemenangan yang kentara lantaran sumber segala ketakutan kita – Prabowo Subianto – telah dicegah meraih kursi Presiden. Tetapi masalah segera muncul. Kelompok Islam radikal yang dahulu dilindungi dan diberikan akses oleh SBY kini tak lagi diakomodasi oleh Jokowi. Sebab itulah FPI segera melihat Jokowi sebagai ancaman, terutama apabila Jokowi diprediksi maju pada 2019 bersama Ahok.

Meletusnya kasus Ahok akhirnya dijadikan landasan bagi kelompok ini untuk mulai menyerang tatanan yang baru. Terlepas dari dukungan Prabowo dan Yudhoyono, kita betul-betul dikagetkan oleh kemampuan kelompok ini yang secara efektif menggalang banyak massa dan dengan sigap menyetir arah politik nasional. Kasus penistaan agama yang menjerat Ahok nyatanya hanyalah kedok untuk menutupi maksud sebenarnya dari gerakan kelompok Islam, yakni menggugat secara fundamental hak politik Ahok untuk maju di Pilkada. Budaya politik kita berubah sama sekali karena goncangan ini. Pengaruh politik etnis Tionghoa yang sejak 1998 tabu dibahas di depan publik, semakin sering dibicarakan oleh para elit politik. Seperti mengikuti tren global, ledakan populisme kanan turut hadir di Indonesia. Kesopanan politik mulai disingkirkan dan topik-topik yang dahulu sensitif berubah menjadi bahan bakar politik keseharian.

Lalu, apabila populisme kanan memainkan peran penting dalam proses dekonsolidasi di era Jokowi, bagaimana dengan Pemerintahan Jokowi sendiri? Kalau kita bertanya pada orang-orang yang pro-Jokowi mengenai langkah-langkah yang diambil Pemerintah atas ancaman gerakan Islam, kebanyakan menganggap dirinya tengah berupaya menyelamatkan demokrasi. Tetapi upaya itu justru memperburuk situasi demokrasi Indonesia sendiri. Rizieq Shihab, misalnya, dikriminalisasi untuk mendepak dirinya dari proses politik. Dan untuk pertama kalinya sejak 1998, terjadi penangkapan atas tuduhan makar di tingkat nasional setelah biasanya dipakai untuk gerakan separatis di daerah. Penangkapan itu didasari alasan yang tidak masuk akal, karena memang maksud sesungguhnya adalah pertunjukan simbolis kekuatan rezim Jokowi. Menggunakan polisi dan instrumen hukum untuk membekuk oposisi jelas merupakan gejala dari suatu rezim otoriter.

Jika kita simak retorika pemerintah jelang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), terlihat bahwa pembubaran ini dijual sebagai upaya pro-pluralisme. Kendati demikian, dengan meniadakan proses pengadilan, langkah Jokowi cuma bisa disebut sebagai tindakan pluralisme agama, bukan pluralisme demokratik. Pembubaran HTI bukanlah demi melindungi demokrasi dan pluralisme. Melainkan karena secara politis HTI tidak memiliki sekutu yang memadai, dan sebab itu, apabila dihantam ia tidak menghadirkan risiko politik yang signifikan bagi rezim. Ia dapat menggalakkan sentimen populisme tanpa berisiko pada stabilitas pemerintahan.

Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi mengakomodasi kelompok Islam yang kira-kira dapat membantunya pada 2019. Sehingga kini terlihat strategi bercabang dua dalam menangani kelompok Islam: menggunakan instrumen represif terhadap yang dianggap radikal, sekaligus merangkul yang dianggap sekutu potensial. Pendekatan rezim ini memang berhasil dalam meredam efektivitas populisme Islam: Rizieq Shihab sekarang di pengasingan dan kelompoknya terpecah belah. Akan tetapi, harus diingat bahwa prinsip demokrasi justru tengah dilanggar satu persatu. Ongkos politik dari manuver ini adalah lagi-lagi perlindungan terhadap kaum minoritas menjadi terbengkalai. Jokowi tak bisa melindungi kelompok termarjinalisasi seperti Ahmadiyah dan Syiah, karena itu tidak memberikan timbal balik politis apapun bagi dirinya.

Pertaruhan di 2019

Bagi Pemerintah, periuk 2019 wajib dijaga. Sejak jauh hari, rezim sudah berupaya merumuskan cara untuk sekali lagi mendominasi kompetisi politik yang menanti. Kelompok aktivis di sekitar istana mulai sibuk mengkonsolidasi LSM beserta program-programnya, tentu dengan mempertimbangkan ongkos politiknya secara seksama. Guna meredam suara sumbang dari bawah akibat proyek infrastruktur, kriminalisasi aktivis gerakan akar rumput pun digalakkan.

Kampanye seorang politisi di negara demokratis merupakan hal yang lumrah adanya. Yang jadi persoalan adalah rezim ini telah secara sengaja menggunakan instrumen represif di bawah kendalinya untuk memastikan kemenangan politik yang tak terbantahkan.

Jurang yang menganga antara ekspektasi dan realita diperkirakan akan menghilangkan antusiasme masyarakat sipil yang dulu mendukung Jokowi pada 2014. Dampaknya: tingkat golput akan naik. Yang dapat diandalkan rezim kemudian hanyalah kelompok masyarakat sipil yang sudah masuk ke pemerintahan plus kantung relawan yang sudah disulap jadi mesin politik dan sudah tidak murni lagi berbasis kesukarelawanan.

Jokowi tidak akan banyak ambil pusing dengan perkembangan ini. Sebab secara statistik, kelompok masyarakat sipil yang menolak Jokowi amat kecil jumlahnya. Basis suara utamanya adalah masyarakat miskin desa (data Pemilu 2014 menunjukkan Prabowo unggul di kota, Jokowi kuat di desa). Dan berdasarkan berbagai riset, data yang paling berhubungan dengan popularitas seorang Presiden di segmentasi masyarakat miskin desa adalah inflasi. Sederhana saja: jika inflasi naik, maka popularitas Presiden akan turun. Selama 15 tahun, trend ini selalu berlaku. Tak terkecuali di era Jokowi.

Oleh sebab itu, prioritas Jokowi hari ini adalah untuk menertibkan tingkat inflasi demi menjaga popularitasnya di kantung suara miskin desa. Ia ingin Negara makin kuat dalam mengendalikan harga. Karena dengan mengendalikan harga, ia bisa mengendalikan inflasi. Selepas inflasi,baru menyusul isu-isu lain seperti infrastruktur, kesehatan, dan seterusnya. Di sisi lain, lupakan isu-isu HAM yang tidak memiliki dampak politik besar di segmen ini. Pemilu 2019 tidak akan ditentukan oleh isu hak asasi. Persepsi 2014 yang cenderung hitam putih – penyelamat demokrasi vs penghancur demokrasi – tidak akan berlaku lagi.

Lantas bagaimana dengan alternatif yang saat ini tersedia di hadapan kita? Sejumlah pihak sudah memvonis Indonesia tak lagi memiliki oposisi. Sekarang yang ada hanya kartel politik dan Pemilu tak ubahnya sandiwara berbiaya mahal yang berujung bagi-bagi anggaran. Kita boleh saja tidak sepakat dengan pembacaan yang amat pesimis ini, namun tak bisa disangkal bahwa demokrasi kita betul-betul tengah mengalami defisit oposisi. Prabowo bukan seorang pemimpin oposisi. Langkah politiknya selalu mengikuti siklus mencalonkan jadi Presiden tiap 5 tahun sekali, kalah di Pemilu, menghilang ke Hambalang, lalu baru muncul lagi 4 tahun kemudian, begitu seterusnya. Megawati, seorang ketua partai oposisi di era Yudhoyono, tidak memiliki pemahaman isu yang baik. Bayangkan, seorang pemimpin oposisi di salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ternyata gelagapan ketika ditanya pendapatnya mengenai isu-isu nasional.

Gejala dekonsolidasi demokrasi Indonesia yang semakin nyata dari hari ke hari tak harus membuat kita patah harapan. Tak diragukan lagi bahwa yang amat diperlukan sekarang adalah menyusun kekuatan oposisi konseptual yang politis dan tak berdasarkan ambisi personal belaka. Oposisi ini juga perlu didukung gerakan ekstra-parlementer yang solid. Gerakan ekstra-parlementer kelompok kanan sejak tahun lalu sudah menguasai media sosial, jalanan, hingga masjid-masjid. Jika disejajarkan, kelompok kiri masih ketinggalan jauh.

Di tengah terjangan populisme ultra-nasionalis Prabowo, populisme Islam dan populisme teknokratik Jokowi, kita perlu mencari tokoh alternatif baru sebagai ujung tombak dari oposisi. Prosedur kita dalam memandang seorang tokoh alternatif harus dibalik. Tak cukup hanya dengan modal integritas dan visi politik yang baik, tokoh alternatif harus terlebih dahulu memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Jika tokoh tersebut populer, ia otomatis memiliki daya tawar terhadap sistem politik yang berlaku sekarang.

Dekonsolidasi Demokrasi Indonesia: Sejumlah Indikator

Indikator Contoh Kasus Keterangan
Penggunaan instrumen hukum negara untuk membungkam oposisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Penangkapan sejumlah tokoh (Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, dan lain-lain) atas tuduhan makar menjelang aksi 212 (2 Desember 2016).

 

 

 

 

Kriminalisasi Rizieq Shihab, pimpinan Front Pembela Islam (FPI)

 

 

10 orang ditangkap atas tuduhan hendak menduduki gedung DPR/MPR. Pertama kali sejak 1998 ada penangkapan atas tuduhan makar di level nasional.

 

 

 

Rizieq ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Whatsapp yang mengandung konten pornografi

 

 

 

 Intervensi terhadap kepengurusan Partai Politik

 

 

Pemerintah mengintervensi (via Menkumham) sengketa kepengurusan di Golongan Karya, Parta Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan

 

Sejak 1998, hanya rezim Jokowi yang melakukan intervensi terhadap sengketa kepengurusan Parpol.

 

Pembubaran Ormas tanpa melalui jalur pengadilan

 

 

 

 

 

Pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggunakan Perppu No. 2 Tahun 2017.

 

 

 

 

 

Bagi Pemerintah, HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI

 

 

Kriminalisasi aktivis gerakan akar rumput

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kriminalisasi aktivis Kendeng dan Banyuwangi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Joko Priyanto, aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), kini berstatus tersangka kasus pemalsuan dokumen penolakan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia.

 

 

Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis penolak tambang emas Tumpang Pitu, dituduh menyebarkan komunisme karena membawa spanduk berlogo palu arit

 

 

 

 

Pelemahan KPK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan penetapan tersangka Ketua KPK Abraham Samad yang berujung pada pemberhentian sementara keduanya.

 

 

 

 

 

 

Penetapan Taufiequrahman Ruki dan Indriyanto Seno Aji sebagai Plt KPK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bambang Widjojanto ditangkap atas tuduhan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu. Sementara Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen. Kedua perkara berakhir dengan deponir pada 2016.

 

Ruki berulangkali mendelegitimasi kerja KPK melalui berbagai pernyataannya di media. Ia juga mengganti 21 penyidik KPK dengan 40 penyidik Polri. Di lain pihak, Indriyanto Seno Aji adalah pengacara yang dekat dengan berbagai koruptor kakap di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pelanggaran hak sipil dan politik di Papua

 

 

 

 

 

Sepanjang tahun 2016 saja, terjadi 4996 kali penangkapan bermotif politik (political arrests) di Papua. Meningkat tajam dari tahun 2015 (1083 penangkapan). Di tahun 2016 juga terdapat 64 laporan penyiksaan.

 

 

Mereka yang ditangkap kebanyakan tengah   mengorganisir dan berpartisipasi dalam unjuk rasa damai.

 

 

 

Merebaknya intoleransi, menjamurnya persekusi

 

 

 

 

Kasus kerusuhan di Tolikara dan Aceh Singkil. Permasalahan pengungsi Syiah Sampang. Kriminalisasi Ahok. Persekusi terhadap mereka yang dituduh menista agama di media sosial.

 

 

 

Sepanjang 2016 SETARA Institute mencatat 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Sebagian besar terjadi di Jawa Barat (41 peristiwa) DKI Jakarta (31) dan Jawa Timur (22).

 

Pelanggaran HAM masa lalu tak kunjung dituntaskan

 

 

 

 

 

 

Dokumen TPF Kasus Munir tidak kunjung dibuka. Pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam. Simposium 1965  menegaskan keengganan Pemerintah untuk mengusut peristiwa 1965.

 

 

 

 

Tim Kantor Staf Kepresidenan sendiri menyatakan bahwa agenda HAM memang tidak masuk dalam prioritas kerja Jokowi karena berpotensi mengganggu stabilitas politik. Selain itu penegakan HAM diakui merupakan salah satu janji Nawacita yang paling underachieved.