Rekaman Bincang Warga “Politik Kewargaan ” – Semacam Festival Warga Kota – Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan

Berikut rekaman bincang warga dengan tema "Politik Kewargaan" dalam acara Semacam Festival Warga Kota (2/7) di Pancoran Buntu II, Jakarta Selatan. Bincang warga ini mengundang beberapa pemantik antara lain :
Sri Lestari Wahyuningroem (Akademik UPNVJ), Daywin Prayogo (Peneliti HAM), Rivaldi Haryo Seni (Ketua Umum LMID), Lilik S (Warga Pancoran/Forum Pancoran Bersatu)

Pengantar Diskusi

Eric Hiariej dan Kristian Stokke dalam buku Politik Kewarganegaraan di Indonesia menjelaskan bahwa politik kewarganegaraan mendorong keterlibatan aktif warga negara dalam kehidupan publik. Keterlibatan warga negara ini dibentuk dan dipraktikkan melalui serangkaian perjuangan politik dan gerakan melawan ketidakadilan. Diantaranya adalah serangkaian perjuangan untuk mencapai pengakuan atas martabat manusia yang hidup dalam komunitas dan budaya yang beragam (politik rekognisi), keadilan ekonomi dan sosial (politik redistribusi), dan representasi politik (politik representasi).

Dalam hal perjuangan politik pengakuan, misalnya, ada gerakan pemuda Muslim Tionghoa di Pontianak yang menggambarkan bagaimana dinamika Muslim Tionghoa dalam menerima, menolak, dan mengubah identitas. Ada juga gerakan transgender di Yogyakarta yang menggambarkan bagaimana identitas seksual yang terpinggirkan menuntut ruang melalui berbagai aksi politik dan gerakan pemuda bertato di Denpasar yang menggambarkan stigma kelompok budaya. Ada juga perjuangan politik untuk redistribusi buruh perkebunan kelapa sawit yang berhadapan dengan kekuasaan dengan “gerakan keadilan sawit”, kemudian perjuangan politik untuk representasi pekerja rumah tangga dan kaum miskin kota dalam memperjuangkan hak-haknya.

Politik kewargaan memandang bahwa demokrasi bukan hanya tentang pemberian hak-hak individu kepada warga negara —dalam hal pemilu, hak untuk dipilih dan memilih— tetapi juga tentang pelibatan warga negara secara aktif dalam urusan-urusan publik dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, dalam politik kewargaan, demokrasi dipahami sebagai proses pengelolaan relasi kekuasaan untuk membuka ruang bagi mereka yang tidak memiliki aksesterhadap kekuasaan dan sumber daya untuk mengekspresikan pilihan dan
kepentingannya.

Ketiadaan politik kewargaan yang memungkinkan peluang-peluang tersebut terwujud menyebabkan proses demokratisasi mandek dan tidak mampu melawan dominasi oligarki di Indonesia. Hal ini diperparah dengan ketidakmampuan lembaga-lembaga yang lahir dari proses demokratisasi untuk mengawal demokratisasi itu sendiri dan hanya berakhir menjadi lembaga “demokrasi formal”. Proses demokratisasi justru dibajak oleh agenda oligarki dengan mengabaikan kepentingan publik, terutama mereka yang berada di lapisan sosial bawah.

Oleh karena itu, menarik untuk mendiskusikan bagaimana konstruksi dan praktik politik kewargaan di Jakarta, khususnya bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan dalam menuntut ruang melalui berbagai perjuangan politik.