“Penjahat–penjahat itu ‘gak boleh dibiarin”: Wawancara dengan Novel Baswedan

Novel Baswedan

Di tengah polemik pengadilan jadi-jadian dan amarah warga, Novel Baswedan – penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mata kirinya buta akibat serangan air keras pada 2017 – menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan Sorge Magazine di kediamannya pada Kamis (25/6) lalu. Ia blak-blakan tentang penanganan kasusnya, agenda reformasi kepolisian, dan KPK sebagai benteng pertahanan melawan oligarki yang tengah jebol. 

Meski ‘perlawanan semesta’ untuk menghancurkan musuh-musuh republik sedang terancam, bukan berarti kita kehilangan seluruhnya semangat dan visi akan republik yang lebih baik, seperti yang Novel sampaikan. Ia mengaku tak lagi takut untuk bicara kebenaran di tengah olok-olok dan ancaman kriminalisasi.

Wawancara ini telah diedit agar lebih ringkas. 

 

Sorge (S): Menanggapi Jaksa yang hanya menuntut pelaku penyiraman air keras 1 tahun penjara, anda meminta para terdakwa dibebaskan saja. Kenapa? 

Novel Baswedan (NB): Saya mengikuti proses pengusutan kasus penyiraman dengan intens. Setidaknya setelah polisi menetapkan dua tersangka. Saya ingin tahu: buktinya apa? Tapi saya tidak dapat penjelasan. Ketika saya dengar dakwaannya, sepertinya tidak sesuai dengan fakta kejadian. Saya masih berpikir positif. Saya hadir di sidang bawa bukti-bukti sendiri, foto-foto, dan saya jelaskan. Sehingga sangat tidak masuk akal ketika dakwaan mengatakan bahwa yang menyerang hanya dua orang, motifnya dendam pribadi, dan alat yang dipakai menyiram adalah air aki. 

Saya juga mendengar saksi-saksi tetangga saya memberikan keterangan, dan lihat beberapa video keterangan mereka menyampaikan hal yang serupa dengan saya. Tapi ketika tuntutan (dibacakan), masih saja seperti itu. Lho, kok ngawurnya tambah parah. Terus tuntutannya 1 tahun – seharusnya pasal 355 (KUHP – penganiayaan berat terencana) dibikin jadi pasal 353 (penganiayaan terencana). 

Saya melihat masalahnya tidak hanya terkait (tuntutan) 1 tahun. Tapi kenapa sih hanya menuntut dengan fakta dan basis bukti hanya dari keterangan terdakwa. Apakah karena memang tidak ada bukti? Kalau memang tidak yakin,  lepaskan (terdakwa). Ketika saksi-saksi penting tidak diperiksa, bukti-bukti tidak ada, udah deh, kalau sekadar hanya menghukum orang, jangan dipaksakan. Pengadilan seharusnya membawa kasus ini ke ruang terang. (Tapi) ini seperti dibawa ke ruang gelap. Seperti peradilan sesat. Saya orang hukum, maka saya katakan kalau hanya untuk memaksakan diri, mengada-adakan bukti, mencocok-cocokan kejadian, lepaskan (terdakwa). 

S: Jika tuntutan Jaksa tersebut dikabulkan hakim, apa dampaknya bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia?

NB: Dampaknya sangat buruk sekali. Dengan proses yang tidak mencerminkan keberpihakan kepada kebenaran dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, saya yakin penjahat-penjahat yang pernah menyerang aparatur, aktivis, atau siapapun yang berjuang untuk kepentingan hak asasi manusia, akan lebih berani lagi. Bahkan bisa jadi orang yang tadinya tidak terlalu berani, termotivasi untuk berani. 

Kasus-kasus pelanggaran HAM kebanyakan ada korelasinya dengan kejahatan yang berhubungan dengan uang dalam jumlah besar. Kalau terus hukumnya dipertontonkan dengan wajah yang compang-camping, proses hukumnya gak masuk akal, penjahat-penjahat itu akan lebih mudah merekrut penjahat-penjahat yang mau melakukan penyerangan pada aparatur atau aktivis yang betul-betul punya komitmen. Saya khawatir hal ini benar-benar menjadi teror buat orang yang masih mau baik. 

S: Tengah viral meme Spider-Man yang saling tunjuk untuk menggambarkan Kepolisian yang hadir sebagai terdakwa, penyidik, sekaligus pengacara dalam kasus ini. Menurut Anda apa dampak pengusutan dan pengadilan kasus yang amat bermasalah ini terhadap wajah institusi kepolisian? Dari tahun ke tahun kepercayaan publik terhadap polisi tidak ada perbaikan signifikan

NB: Memang ini suatu hal yang memalukan. Saya melihat pola-pola oknum ini mencoreng nama Polri yang memang sudah banyak masalah. Saya tidak tahu kenapa mereka bisa berani berbuat begitu, apa memang karena merasa punya kesempatan, kemampuan, atau kekuatan, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, ini proses keterlaluan.

Saya garis bawahi lagi, sebelum saya diserang itu ada sepeda motor milik anggota Polri di bawah Direktorat Reserse (Kriminal) Umum Polda Metro (Jaya), dipakai untuk mengamati rumah saya. Kebetulan saat itu direkturnya Pak Rudy (Irjen Pol. Rudy Heriyanto Adi Nugroho). Artinya saya meyakini ada keterlibatan, menunjukkan kalau perbuatannya tidak sendiri, (tapi) terorganisir. Selain itu, kita lihat proses penyidikan (kasus penyiraman air keras) dilakukan di bawah kendali Direktur Reserse Kriminal Umum. Dengan kata lain, Pak Rudy lagi yang jadi penyidiknya. Dan ternyata, bukti-bukti penting hilang. (Rekaman) CCTV hilang, sidik jari hilang, bukti IT yang sangat kuat untuk membuktikan perbuatan ini, tidak jelas kemana. 

Kemudian dalam proses pembelaan, terdakwa didampingi Divisi Hukum Mabes Polri. (Mereka) bahkan menurunkan orang-orang terbaiknya, berpangkat Kombes dan Jenderal. Sepenting itukah pembelaan dilakukan? Ada beberapa peraturan yang menetapkan bahwa yang dilakukan pembelaan, yang wajib didampingi institusi Polri, itu terkait dengan pelaksanaan tugas. Apakah dia (terdakwa) sedang bertugas saat itu? Kebetulan atau sengaja, saya tidak tahu, Kepala Divisi-nya (Divisi Hukum Polri) Pak Rudy lagi. Ini ‘kan masalah serius. Orang yang terlibat pelaku, anak buahnya Pak Rudy. Orang yang terkait dengan penyidikan direkturnya Pak Rudy. Kepala Divisi Hukumnya, sekarang Pak Rudy juga. Saya harap ini bisa diketahui pimpinan Polri, dan harus diperiksa. Saya yakin tidak kebetulan itu. 

(Catatan redaksi: Irjen Pol. Rudy Heriyanto Adi Nugroho sejak September 2019 diangkat oleh Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, sebagai Kepala Divisi Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tiga tahun sebelumnya, lulusan Fakultas Hukum Universitas Lampung ini diangkat menjadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, juga  oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian).

S: Sudah lama kepercayaan publik terhadap polisi rendah. Makin menurun setelah berbagai peristiwa serangan terhadap kebebasan sipil, kriminalisasi aktivis, brutalitas aparat di aksi #ReformasiDikorupsi, dan seterusnya. Agenda reformasi kepolisian dinilai jauh dari tuntas. Menurut anda, agenda reformasi kepolisian seperti apa yang kini paling mendesak untuk dituntaskan? 

NB: Memang kita prihatin sebenarnya melihat banyaknya permasalahan. Polri adalah institusi penegak hukum sekaligus aparatur yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban. Kalau kita melihat kemajuan suatu bangsa itu ketika penegakan hukum berjalan dengan baik. (Tapi) ketika penegakan hukum banyak terjadi abuse of power itu tentu akan berpengaruh dengan banyak hal. 

Kalau kita bicara tentang agenda reformasi kepolisian itu diskusinya panjang sekali. Saya tidak terlalu mengikuti hal itu, walaupun memang saya sering mendengar ada yang menyampaikan bahwa Polri di bawah Mendagri (Kementerian Dalam Negeri). Tapi saya kira tidak semudah itu. Tentu banyak perdebatan disitu.

Ada yang mengatakan Polri dibagi seperti di Amerika Serikat, ada di pusat dan di daerah. Ada yang mengatakan juga dibagi antara fungsi penegak hukum dengan keamanan dan ketertiban. Terlepas dari itu semua, kita mesti melihat bagaimana fakta di lapangan. Di dalam institusi Polri juga tidak semuanya bermasalah. Ada juga orang–orang yang sebenarnya masih punya komitmen untuk berbuat baik. Tapi problemnya adalah ketika orang–orang itu tidak mendapatkan peran yang cukup, tidak mendapatkan dukungan, bisa berbuat apa orang–orang itu? Pasti tidak bisa berbuat apa–apa. 

Yang ada ketika orang–orang di dalam tubuh kepolisian bersikap kritis, dia malah akan disengsarakan, dikerjai. Makanya tadi saya bilang instrumen penegakan hukum itu sangat penting, maka kembali kepada prioritas pemerintah. Kalau pemerintah menempatkan masalah ini sebagai prioritas utama, saya yakin efeknya sangat kuat untuk menguatkan kebijakan–kebijakan di bidang ekonomi dan apapun yang diambil pemerintah. 

Di sektor pajak tertentu, saya tidak mau sebut karena malah ngeri nanti, yang tadinya 5% pemerintah ubah jadi 10% (kenaikan pajak). Kalau penegakan hukumnya ternyata banyak celah orang akan tetap bayar 5% dan kasih fee/uang tertentu kepada aparat penegak hukum. Dengan begitu, kebijakan tersebut gagal. Karena ada jalan–jalan tikus yang jadi sebab gagalnya kebijakan. 

Dan kalau bicara dalam sektor itu (pajak), jalan tikus banyak sekali. Sehingga kita bisa melihat institusi Polri sebagai institusi yang penting. Karena besar, ada di setiap daerah dan paling luas jangkauannya. Oleh karena itu, penting memperbaiki institusi kepolisian dengan mengajak orang–orang yang baik di Polri untuk segera mengarahkan institusi ke arah yang baik.

Tapi itu hanya bisa dilakukan jika agenda perbaikan menjadi prioritas pemerintah. Jika tidak menjadi prioritas, ya sulit. Mau dikritik sekeras apapun pada dasarnya orang–orang di dalam tubuh kepolisian tidak bisa mengambil kebijakan yang ekstrim. Sekarang ini ‘kan tidak hanya pejabat–pejabat di dalam tubuh Polri yang berjalan sendiri, mereka juga terkait dengan kekuatan politik tertentu. Jadi kembali lagi tadi, kalau komitmen pemerintah untuk mendorong itu (reformasi kepolisian) kuat saya kira mau tidak mau mereka akan terpaksa menjadi baik. Kalau enggak, ya tidak mungkin. 

S: Di situasi sekarang, apa masih ada kemungkinan pemerintah mendorong reformasi di tubuh kepolisian?

NB: Saya juga sering merasakan saat melihat situasi tidak berubah, “Ada harapan nggak sih ini?”. Memang sulit kalau melihat permasalahan ini dari perspektif hasil. Karena problematikanya bukan hanya sekedar dari aparat penegak hukumnya saja, tapi faktor politiknya, pemerintahnya seberapa besar keberpihakan untuk kepentingan ini. Karena itu saya lebih suka untuk melihatnya dari perspektif proses. 

Ketika saya diserang pertama kali, saya maafkan pelaku, saya terima apapun yang terjadi pada diri saya. Saya waktu itu mengira saya buta (total). Dugaan saya waktu itu: muka saya hancur. Alhamdulillah muka saya kembali baik, mata kiri sama sekali buta dan kanan (tinggal) 50%. Tapi dengan semangat itu, dengan tidak terlalu terbeban dalam hati, saya bisa protes terus. Ini yang penting. 

Saya ingin menggarisbawahi juga bahwa protes saya, kritik saya, bukan semata–mata karena saya korban. Bukan semata saya menuntut keadilan. Bukan semata saya ingin ada pembalasan. Saya bahkan bilang berkali–kali, maafkan. Bagi kita yang masih berpikir waras, kita ingin ke depan menjadi baik. Kita ingin Indonesia punya harapan ke depan. Kalau kita sekarang susah, kita ingin anak cucu kita ke depan tidak tidak menghadapi masalah sesusah kita. 

Karena itu, kritik saya sampaikan terus. Saya berharap penegakan hukum menjadi baik. Kalaupun seumpama kasus saya tidak diproses, “Udah deh kasus Novel dikubur saja, tetapi pemerintah komitmen setelah ini kejadian seperti ini akan diusut semua”. (Jadi) orang-orang KPK yang diserang selama ini akan diungkap oleh kita (pemerintah) tapi kasus Novel ditutup. Saya ikhlas. 

Tapi kalau perkara saya tidak dibuka, kalau serangan terhadap orang–orang KPK yang selama ini sudah lebih dari 10 kasusnya, buktinya banyak, terus penegakan hukum tidak dilakukan, ini maunya apa gitu lho. Kebangetan. Setiap saya menyampaikan kritik, saya melawan kezaliman atau ketidakadilan. Tapi selalu ada yang demo bayaran, kemudian ada orang–orang tertentu yang saya yakin adalah orang yang dikondisikan seolah–olah ada kasus pembunuhan. Semuanya terbantahkan, kok. Itu jelas kriminalisasi. Ombudsman sudah membuat rekomendasi dari hasil konfirmasi dan investigasi mereka. 

Upaya saya untuk terus melawan karena saya tidak suka melihat sesuatu yang buruk kemudian dibiarkan. Saya merasa bahwa saya tidak akan pernah memaklumi. (Dan) ketika saya terus ngomong dengan tidak membawa beban pribadi, saya jadi enak ngomongnya. Coba anda bayangkan kalau saya menaruh harapan besar kasus saya harus diungkap, yang ada saya stres. Sudah dikerjain, diolok–olok pula. 

Pada kesempatan yang sama saya ingin mengajak: tidak boleh takut sama bandit–bandit macam begitu. Kita seringkali menganggap orang yang berbuat jahat tidak disentuh oleh hukum, terus kita ngasih label: “Oh mereka kuat”. Itu salah! Mereka tidak kuat, tidak ada penjahat kuat! Yang kuat adalah orang yang berbuat baik.

Sekarang tinggal kitanya, mau kuat apa enggak. Saya berharap kita yang masih baik mau terus berjuang, kritis dan melawan. Diserang balik? ‘Gak apa-apa. Karena kalau kita tidak pernah mau mengambil jalan itu, kita tidak pernah memberikan mimpi baik pada generasi berikutnya. Penjahat–penjahat itu ‘gak boleh dibiarin. Soal dia sementara ini belum tersentuh atau merasa menang, biar saja. ‘Gak akan pernah menang mereka. ‘Gak pernah ada penjahat menang. Hanya belum saatnya dia mendapatkan sanksi berat atas perbuatannya. 

Kalau dia masih merasa belum bisa tersentuh, secara psikologis dia sudah stres. Tidak ada penjahat yang hidupnya tenang. Ini yang harus jadi kekuatan kita. Teman–teman yang sering memperjuangkan isu hak asasi manusia, dan lain–lain, ini sesuatu yang baik. Semoga langkah–langkah kita menjadi kebaikan bagi kita atau setidaknya mendidik karakter kita menjadi berani, bertanggung jawab, matang, dan kuat. Karena yang kuat adalah yang berbuat baik.

S: Dalam kacamata kami, KPK salah satu benteng terakhir dalam perlawanan terhadap politik oligarkis. Tapi baru-baru ini – setelah hampir setahun revisi UU KPK dan pelantikan komisioner baru – survei Kompas mengabarkan kalau tingkat kepercayaan publik terhadap KPK anjlok. Pada Mei 2017 sebesar 82%, tapi per bulan ini ada di 44%. Tanggapan anda?

NB: Pertama, jika KPK dikatakan sebagai benteng terakhir: sepakat. Tapi problemnya: bentengnya jebol. Saya, walaupun masih di KPK, sangat prihatin dengan kejadian itu. Saya di KPK itu bukan hanya bekerja. Saya berjuang. Orang yang mau di KPK itu harusnya mau berjuang, bukan mau bekerja, masuk zona nyaman, dapat gaji, bekerja sekedarnya. Saya yakin yang pada level tersebut masih banyak. Cuma problemnya orang–orang ini (juga) menghadapi situasi dimana perubahan undang–undang itu menjadi kesulitan. Pola dan struktur sekarang itu menyulitkan. 

Semua komoditas pangan di Indonesia itu ada mafia dan kartelnya, dan itu bebannya ditanggung masyarakat. Petani produksi, nelayan produksi, orang yang bekerja di kebun produksi, peternak produksi, (tapi) akhirnya mereka kalah karena permainan kartel ini. Saat keberpihakan negara tidak cukup pada mereka, akhirnya mereka… sekarang siapa sih yang mau bercita–cita jadi petani?  

Jadi problemnya sudah sedemikian besar. Kalau ditanya, harusnya KPK bisa masuk dong? Harusnya bisa. Tapi seperti saya katakan tadi. Lawannya juga orang–orang yang sudah sedemikian punya jejaring, oligarki gitu ya. Sudah lengkap mereka.

Bagaimana mungkin memberantas korupsi sebagai aparatur negara, disuruh berjuang maju untuk perang, tapi hanya dibawakan pisau dapur. Kira–kira anda masih berani perang, ‘gak? Mungkin anda jagoan dan berani. Masalahnya lagi, anda dipanah dari belakang. Oke, masih berani. Sudah begitu, kena jadi korban. Anda disalahkan lagi. Tidak dapat keberpihakan sama sekali

Marah? Oh iya, saya harus marah. Kalau saya bicara lebih jauh, saya khawatir akan merugikan diri saya. Kenapa? Saya akan jatuh ke dalam pesimisme. Saya ingin merawat optimisme untuk terus bisa begitu (berjuang). Karena itu saya lebih suka untuk terus menyampaikan apa yang bisa disampaikan. Dan tentunya bersama kawan–kawan, bukan hanya saya pribadi, untuk kepentingan kita semua untuk terus merawat harapan. Untuk terus membesarkan apa yang kita bisa lakukan. Oleh karena itu dukungan masyarakat penting.  

Soal kepercayaan publik turun, saya bisa memahami. Saya sendiri melihat situasi seperti itu sikapnya sama. Tentunya kita semua ingin keadaan bisa berubah. Kembali lagi itu perlu dukungan, kritik, perlu sikap dari semua pihak agar itu (KPK) bisa duduk pada tempatnya kembali. Karena tidak mungkin negara bisa maju, pembangunan bisa berjalan, kalau korupsi terjadi semasif ini. 

Saya pikir tidak logis ketika kita mengharapkan orang mau berjuang, justru yang berjuang malah mendapatkan serangan. Tidak tampak keberpihakan negara terhadap orang yang berjuang itu. Itu kan terlalu-nya kuadrat. Saya memahami sikap masyarakat luas yang menunjukkan dengan kritik dan marah. Itu harus ya. Tapi marah kita bukan emosional, bukan caci maki, hinaan. Kita marah dengan harapan (situasi) segera berubah. Kita marah agar orang–orang yang punya tanggung jawab untuk mengambil kebijakan yang tepat (dapat) menjalankan sebagaimana mestinya. Kita marah agar hal buruk yang dipertontonkan sekarang tidak terjadi lagi.  

S:  Selama ini KPK jadi tumpuan harapan. Banyak yang mengandaikan KPK seperti Batman: bekerja senyap menumpas penjahat, lalu kita bersorak ketika ada yang tertangkap. Tetapi hal ini bermasalah ketika sang pahlawan sudah nampak lemah sekarang, sedang banyak dari kita pasrah menunggu superhero datang lagi. Bagaimana agar publik lebih terlibat melawan korupsi? 

NB: Ada orang berkata bahwa kita mesti fokus pada pencegahan. Saya khawatir isu itu jadi jebakan. Seharusnya penindakan dan pencegahan berjalan bersamaan. Kalau ditanya apakah betul KPK seperti Batman yang nangkap–nangkap dan cuma itu saja yang ditangkap, tentunya itu penindakannya. Tapi pakar harus melihat, bagaimana dengan hasil pencegahan? Banyak sekali sebenarnya. 

Tapi saya harus menggarisbawahi bahwa kepercayaan publik pada KPK itu memang tidak boleh meninggalkan kritik. Kritik tetap wajib. Dan saya kira KPK tidak boleh melihat kritik itu sebagai sikap bermusuhan. Kita tidak mungkin mengoreksi diri sendiri (tanpa kritik). Kita bisa mengoreksi lewat masukan–masukan dari luar. Kalau perspektifnya begitu, semua akan jalan secara seimbang. 

Kalau ada kasus ini kenapa tidak dikerjakan? Itu kritik harus ada jawaban atau rencananya mau seperti apa. Kembali lagi, harus ada keberpihakan negara. Kalau bicara memberantas korupsi, berapa banyak negara lain yang mau memberantas korupsi justru malah menjadi malapetaka bagi yang memberantas?

Contohnya Malaysia. Ketika mereka menangani korupsi yang terkait dengan kekuasaan dan kemudian tidak ada keberpihakan negara justru pimpinan KPK-nya mau dipenjara, dibuat suatu kasus yang ancamannya hukuman mati. Penyidiknya dibawa ke lantai 15 lalu didorong ke bawah (jatuh). Jaksanya dimasukkan ke dalam tong, dicor, diledakkan dan dibuang ke sungai. Separah itu. Kalau kita lihat Nigeria, pimpinan KPK-nya kabur ke luar negeri minta suaka. Kalau kita lihat di Hongkong dulu tahun 70-an kantornya diberondong, diserang justru oleh penegak hukum lain. Tentunya tidak boleh membiarkan aparatur bekerja dan kemudian terteror. Makanya sikap keberpihakan (negara) harus jelas. 

Saya juga khawatir pola tadi itu akan dipahami seolah–olah KPK akan dibawa seperti birokrasi biasa dalam memberantas korupsi dan itu bahaya. Jadi saya kira itu yang bisa menjadikan deviasi dari visi KPK sebenarnya; untuk memberantas korupsi dan bertugas secara optimal. Kalau birokrasi biasa ‘kan berarti masalahnya (korupsi) seperti sudah selesai. 

Memang ketika melihat hampir semua sektor, korupsi jumlahnya besar dan membentuk oligarki yang sedemikian kuat. Mereka akan membuat segala upaya agar tidak digagalkan lagi oleh upaya pemberantasan korupsi. Tapi saya tidak ingin bicara terlalu jauh ke masalah politik. Saya tidak bicara politik saja diomongin politik. Saya ingin bicara di konteks penegakan hukumnya. Terlepas dari permasalahan sekarang ini – dimana orang–orang yang bertanggung jawab membuat kebijakan yang berpihak dengan pemberantasan korupsi itu seperti tidak melakukannya – kita mesti sadar yang berkepentingan ini masyarakat, kita semua. Jadi kita jangan ikut–ikutan diam.

S: Anda sudah menjadi salah satu simbol perlawanan terhadap korupsi. Tanggapan anda?

NB: Saya kira yang berjuang memberantas korupsi bukan saya saja. Banyak yang berbuat. Sebetulnya saya tidak ingin juga kemudian terlalu disanjung karena saya tidak mungkin bertindak sendiri. Saya bekerja dengan tim. Saya ingin membuat kontribusi yang banyak untuk menggerakan semangat. Saya ingin memotivasi banyak orang. Tapi kembali lagi, porsi saya hanya itu saja. Hal-hal lain tidak mungkin dilakukan sendiri. Dan saya kira kekuatan kita akan muncul kalau kita bersama–sama.