Tim Pusat Krisis Penyebaran Virus Corona yang dikomandoi sendiri oleh Presiden Joko Widodo pada akhirnya menyerah, setelah surat resmi dari Badan Kesehatan Dunia/WHO tertanggal 10 Maret 2020 ‘membujuk’ presiden untuk menetapkan darurat nasional Corona – diikuti dengan meningkatkan layanan tanggap darurat, secara aktif melacak penyebaran virus, rutin mengambil sampel, dan terus mengedukasi warga guna mencegah perluasan pandemi COVID-19 yang sudah merebak sejak akhir 2019 di Wuhan, Cina.
Surat ‘bujukan’ WHO adalah peringatan bahwa sikap business as usual Presiden sudah kadaluarsa dan upaya mengatasi pandemi COVID-19 tak cukup hanya menjadi urusan Pemerintah Pusat. Kondisi kini menuntut kolaborasi pemerintah bersama warganya untuk menghadapi virus yang telah menelan lebih dari 5,000 korban jiwa di seluruh dunia dalam waktu kurang dari 6 bulan.
Namun, problem Indonesia hari ini bukanlah pandemi global belaka, problem terbesar kita adalah pemerintah yang kelewat sembrono dan amatiran tatkala berhadapan dengan krisis yang membahayakan keselamatan warga.
Laku sembrono dan amatiran pemerintah telah kita saksikan mulai dari parade kebebalan jajaran anggota kabinet saat menanggapi penyebaran COVID-19 yang lebih mirip sajian humor akhir pekan, serta fokus prioritasnya untuk menghadapi perlambatan ekonomi akibat pandemi. Dari mulai kebutuhan ‘mitigasi berita buruk’ Corona yang menggelontorkan miliaran untuk para pendengung/buzzer, diskon harga tiket pesawat bagi para calon wisatawan lokal, hingga rekomendasi kuliner nusantara yang ampuh dalam menangkal virus Corona.
Sementara itu upaya terpenting untuk mencegah masuknya virus ke di port of entry/pintu masuk Indonesia justru luput dari perhatian pemerintah. Protokol darurat medis di rumah sakit pusat infeksi/RSPI justru tidak sigap dalam menangani laporan pasien yang hendak memeriksakan diri, guna mencegah penyebaran lebih lanjut. Kegagapan ini mirip dengan kondisi di Amerika Serikat saat Presiden Trump seminggu sebelum menyatakan situasi darurat nasional, masih menganggap wabah ini isu hoax yang menghambat elektabilitasnya.
Walhasil, per 15 Maret, pemerintah lewat Juru Bicara Pusat Krisis Corona Ahmad Yurianto mengumumkan telah ada 117 pasien positif corona – meroket dari angka 2 pasien semenjak pernyataan media Joko Widodo 2 Maret lalu. Gelar Zero Corona bagi Indonesia yang disematkan sendiri oleh Menteri Terawan langsung mentah seketika.
Menjilat ludah sendiri memang pahit, namun segala politik guyonan dan pengejar sensasi sudah saatnya dihentikan. Mendengarkan saran profesional lembaga kesehatan, profesi kedokteran dan pakar wabah virus guna memerangi penyebaran pandemi dan mengobati pasien sudah seharusnya dikerjakan, sembari terus membatasi persebaran dengan mengawasi pintu-pintu masuk dari luar negeri serta memberlakukan sistem layanan medis secara intensif.
Namun hingga editorial ini ditulis, penanganan sembrono dan amatiran ini masih pada pakemnya yang terdahulu. Instansi yang tidak punya spesifikasi dan kemampuan menghadapi wabah penyakit seperti Badan Intelijen Nasional/BIN dan Polisi justru diajak berkolaborasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB dalam perang melawan Corona.
Penunjukan BIN/Polri dianggap akan banyak menutupi informasi yang seharusnya diketahui khalayak, seperti peta persebaran pasien yang terjangkit virus Corona. Langkah “senyap” ini diambil dengan alasan untuk mencegah kepanikan di tengah masyarakat. Tetapi melempar hasil ‘pemodelan’ penyebaran virus Corona yang diprediksi akan mencapai puncaknya pada Mei 2020 kepada publik tanpa disertai kejelasan metode justru membuat publik semakin panik.
Ini belum termasuk dengan buruknya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah terkait penanganan korona. Serdadu buzzer diluncurkan untuk menyerang Anies Baswedan yang dinilai cari panggung karena sering mengeluarkan statemen terkait corona. Belakangan, Pemerintah mulai membuka ruang bagi daerah untuk turut menangani Corona. Sentralisasi perlahan dilonggarkan. Semua dilakukan tanpa penjelasan apalagi klarifikasi. Seakan-akan Pemerintah cuci tangan atas sikap abai dan lambannya di awal merebaknya wabah.
Sementara itu eskalasi kegentingan terus meningkat. Budi Karya Sumadi – Menteri Perhubungan – diumumkan positif COVID-19. Sebelumnya, ia tercatat menerima Anak Buah Kapal/ABK World Princess pada 2 Maret di Bandara Kertajati dan setelahnya, mengikuti rapat terbatas kabinet, serta bertemu dengan perwakilan negara sahabat di Tanjung Priok. Namun hingga hari ini pemerintah masih enggan melaksanakan masukan WHO untuk memberlakukan kondisi darurat nasional atau mendesentralisasi situs pengecekan virus corona.
Penetapan Gugus Tugas penanganan virus corona tak lantas membuat kita bisa berleha-leha. Krisis belum berlalu, dan persoalan ini bahkan belum mencapai puncaknya. Pilihan yang bisa dilakukan Pemerintah tidak banyak: menetapkan national atau partial lockdown di daerah dengan pasien positif terbanyak, lantas membuka seluasnya informasi pemantauan wabah dan secara agresif menyerang kantong-kantong virus, atau menghadapi risiko kematian massal, kepanikan massal, krisis ekonomi-politik, dan seterusnya.
Apakah Presiden Joko Widodo berani untuk mengambil keputusan seperti itu? Kita hanya perlu menunggu. Yang jelas, dengan laju penyebaran yang kian mendekati eksponensial, kita tidak punya waktu lagi. Sekali lagi perlu diingat, monopoli informasi di tangan pemerintah patut membuat kita bertanya: benarkah jumlah yang diumumkan pemerintah sesuai dengan realita di lapangan? Fakta apalagi yang hingga hari ini masih disembunyikan?
Dari perkembangan terbaru diketahui bahwa pasien asal Cianjur yang pada 3 Maret lalu meninggal, ternyata positif corona. Padahal dua minggu lalu Pemerintah menyatakan pasien tersebut negatif corona. Pejabat publik yang tertangkap basah berbohong di tengah situasi krisis seperti ini, terang-terangan membahayakan keselamatan warga. Entah berapa banyak warga yang berpotensi terinfeksi gara-gara kebohongan tersebut.
Pemerintahan yang tidak becus, tidak jujur, dan membahayakan nyawa warganya sendiri bisa dibilang sebanding atau bahkan lebih buruk dari pemerintahan otoriter. Demikian pula seburuk-buruknya pejabat publik adalah Presiden yang di saat genting justru melanggar peraturan perundang-undangan. Pemerintah yang ‘serba senyap’ ini telah menyalahi Undang-Undang Kesehatan 36/2009 dan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14/2008, karena lalai mengumumkan informasi publik tentang penyakit yang mengancam hajat hidup orang banyak.
Singkat kata, rezim berbasiskan gimmick ini masih gelagapan harus berbuat apa. Di saat-saat dibutuhkan kebijakan yang gesit untuk melambatkan laju penyebaran, yang dilakukan Presiden tetaplah laku pencitraan seperti biasa. Sejak beberapa minggu terakhir, sudah semestinya Presiden tak lagi memantau langsung di lapangan sambil berpose untuk media, tapi mengambil langkah tegas untuk memperlambat pandemi.
Asumsi bahwa mengeluarkan kebijakan yang drastis bakal menimbulkan kepanikan dan mengganggu roda ekonomi tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan bila pemerintah menunda-nunda. Justru ketika pemerintah terbukti lamban menangani krisis ini, investor asing yang begitu digadang-gadang Presiden pasti enggan datang jua. Ini adalah masa yang menunjukkan politik stagecraft Joko Widodo niscaya gagal jika tak diikuti oleh kualitas statecraft yang mumpuni. Dengan demikian, permasalahan penanganan COVID-19 di Indonesia kini tak hanya sebatas pada komunikasi publik pemerintah yang buruk tapi lebih pada ketidakbecusan menghadapi krisis.
Tambah lagi, selain menunjukkan ketidakbecusan pemerintahan Jokowi, krisis COVID-19 ini juga mempertontonkan watak otoritariannya. Kita bisa lihat ini dari cara pemerintah sepenuhnya memonopoli dan mensentralisasikan informasi. Dengan alasan menghindari kepanikan dan menjaga privasi, pemerintah seakan diperbolehkan tidak transparan dalam menjelaskan penyebaran wabah. Benar bahwa dalam situasi kini privasi pasien harus dijaga, tapi ini tentu berbeda dengan transparansi kepentingan publik. Selain jumlah kasus dan pusat layanan, publik juga perlu tahu informasi lokasi penyebaran, rute lalu-lalang pasien positif corona, runutan kebijakan yang sudah terlaksana, dan apa yang harus dilakukan agar tidak termakan kepanikan.
Situasi sekarang ini tentu tidak mudah, terutama bagi kelompok masyarakat sipil yang sedang memperjuangkan pembatalan Omnibus Law yang tak kalah mengerikan itu. Berbagai macam rencana protes besar-besaran perlu ditinjau ulang demi keselamatan bersama. Namun hal ini sebaiknya tidak menyurutkan upaya perlawanan demi keadilan sosial dan lingkungan hidup. Ada berbagai alternatif yang telah dilakukan oleh organisasi maupun aktivis di seluruh dunia agar tetap bisa berjuang. Pola aktivitas dipindahkan secara online, karenanya perlu banyak konten menarik sambil tetap membangun kewaspadaan akan wabah yang merebak.
Kajian kritis terhadap Omnibus Law harus tetap dilanjutkan, sembari pasang mata dan telinga terhadap tabiat pemerintah dan DPR untuk tiba-tiba ngebut di tikungan dan mengesahkan UU tatkala tidak ada yang memperhatikan. Jika dirasakan perlu untuk memberikan tekanan langsung dengan turun ke jalan, harus ada perubahan laku pengorganisasian seperti mengutamakan higienitas, saling jaga jarak aman saat berdemonstrasi, dan meminimalisir kontak fisik dengan sesama demonstran.
Satu hal yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan, bahkan sebelum badai ini reda: rezim populis ini telah begitu membahayakan nyawa warganya. Berminggu-minggu waktu kritis penanganan Corona disia-siakan hanya demi melayani syahwat pertumbuhan ekonomi rezim yang membabi-buta. Namun begitu krisis benar-benar menghampiri, yang menyambut adalah watak otoritarian rezim “aksi senyap” yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Rezim Joko Widodo, dapat kita lihat dengan semakin terang sekarang, tak ubahnya istana pasir; indah dipandang mata, namun lekas runtuh begitu ombak menghantam. Rezim populis yang gemar bersolek adalah satu hal, rezim populis yang inkompeten adalah hal lain. Lantas, untuk apa lagi kita biarkan panggung pertunjukkan ini tetap berdiri?