Partai Politik, Tidak, Partai Politik, Tidak..

Bagi orang muda di Indonesia, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada publik bakal memiliki dampak besar terhadap kehidupan kita semua. Seringkali kepentingan orang muda tidak terwakili dalam struktur politik yang ada kini, bahkan suara protes kita seringkali diberangus oleh kekuasaan.
Aksi Mahasiswa menduduki gedung DPR RI - Mei 1998

Demokrasi Indonesia yang dikuasai oleh pengusaha kaya dan orang berusia tua membuat peran anak muda direduksi dalam formalitas dan tokenism semata. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah alternatif untuk mengupayakan secara serius politik yang kembali memihak pada orang muda.

Saat ini, orang muda di perkotaan menghadapi berbagai tantangan serius dalam kehidupan ekonomi dan sosial mereka. Misalnya, karena kita terpaksa bekerja dengan upah yang kecil, mereka tidak mampu memiliki hunian di lokasi yang strategis dan harus tinggal di luar kota seperti Jakarta. Lebih parah lagi, orang muda harus berangkat dari tempat tinggal ke kantor dengan sarana transportasi publik yang tidak aksesibel dan nyaman.

Delpedro Marhaen
sumber :https://id.linkedin.com/

Bagi orang muda di perkotaan, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak bakal memiliki dampak besar terhadap kehidupan mereka. Mulai dari kebijakan terkait pendidikan, kesehatan, hunian, lingkungan, pekerjaan, dan masih banyak lagi. Selain itu, bagi yang belum masuk angkatan kerja, orang muda terbebani oleh biaya pendidikan yang tinggidan kekhawatiran setelah lulus tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Belum lagi, orang muda di perkotaan juga perlu khawatir dengan kesehatan karena polusi udara yang melilit mereka setiap hari dan biaya yang mahal untuk berobat. Berbagai permasalahan di atas yang dihadapi orang muda perkotaan bermuara pada berbagai kebijakan buruk dari pemerintah. Hampir semua kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupan orang muda diputuskan melalui proses politik oleh partai politik yang didominasi oleh orang-orang tua. Partisipasi orang muda begitu minim atau hanya dianggap sebagai pajangan belaka.

Indonesia kini menjadi tempat tinggal bagi sekitar 85 juta anak-anak dan remaja menjadikan orang muda menjadi elemen kunci target pembangunan nasional. Namun, seringkali partisipasi orang muda diabaikan dalam mempengaruhi kebijakan, meskipun mereka memiliki hak untuk terlibat. Identifikasi berbagai masalah yang dihadapi oleh orang muda seringkali disempitkan dengan menyalahkan dan membombardir mereka dengan stigma apatis, apolitis, dan malas. Misalnya, orang muda yang tidak memiliki hunian dianggap malas menabung dan menghamburkan uang untuk kesenangan, padahal sulit bagi mereka untuk menabung dengan penghasilan yang terbatas. Prasangka seperti ini berasal dari para pembuat kebijakan, yang pada Pemilu mengemis dukungan namun mengabaikan kepentingan orang muda setelah berkuasa.

Survei Kompas dan Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022 menunjukkan bahwa orang muda di Indonesia memiliki antusiasme yang tinggi untuk terlibat dalam menentukan pemimpin yang akan mempengaruhi kebijakan. Jajak pendapat U-Report pada tahun 2020 juga menunjukkan bahwa 95% responden tertarik untuk mempelajari cara berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ini menunjukkan antusiasme orang muda di Indonesia berpartisipasi dalam politik, namun kepentingan mereka tidak berhasil teragregasi dengan baik oleh politisi dan partai politik. Selain itu, negara kerap mengartikan partisipasi orang muda ini sebagai sebuah ancaman. Misalnya, pada tahun 2020, dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang menyangkut nasib kerja orang muda , lebih dari lima ribu orang yang mayoritas adalah orang muda ditangkap oleh polisi hanya karena menyuarakan pendapat mereka.

Dengan demikian, ruang publik kita bukannya sunyi dari kepentingan yang disampaikan oleh orang muda. Tetapi, terdapat kondisi yang merepresi ruang mereka untuk secara efektif dapat membentuk dan mengungkapkan pendapat dengan rasa aman. Politikus dan partai politik juga tidak mampu mengagregasi kepentingan orang muda untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan. Tanpa adanya ekosistem politik yang mendukung seperti itu, partisipasi orang muda tidak akan memiliki makna yang signifikan.

Artinya, kebijakan yang dicita-citakan oleh orang muda tak akan kunjung hadir, meskipun ribuan protes digelar atau media sosial dipenuhi percakapan mengenai kepentingan orang muda. Situasi yang menggambarkan kondisi orang muda antusias dalam berpolitik tersebut tak mampu menghadirkan perubahan sosial karena posisi mereka sebagai masyarakat sipil mengalami keterpisahan dengan struktur politik negara. Terutama karena orang muda tidak menghadirkan atau memiliki perwakilan yang dapat mengagregasi kepentingan mereka secara formal.

Politisi muda bisa saja ada di parlemen, akan tetapi seperti yang diterangkan oleh Pitkin (1967), representasi tidak hanya sebatas ‘berbicara atas nama’ atau ‘bertindak atas nama’. Representasi juga tentang ‘mewakili’ atau ‘mensimbolkan’. Dengan demikian, orang muda di parlemen saat ini mungkin bisa berbicara atau bertindak seolah-olah untuk orang muda, namun mereka tidak mampu mewakili kepentingan orang muda yang tertindas atau menjadi simbol bagi perlawanan orang muda terhadap kesewenang-wenangan negara.

Orang muda perlu menyadari bahwa partai politik menjadi salah satu kanal yang dibutuhkan dalam mengagregasikan kepentingan mereka dalam pembuatan kebijakan yang berpihak. Negara perlu dipandang sebagai suatu entitas yang harus diperjuangkan dan direbut. Namun, orang muda juga menyadari bahwa tidak ada partai politik saat ini yang memihak kepentingan mereka dan perilaku elitis dalam partai politik mempersempit ruang bagi mereka untuk terlibat.

Terlibat dalam Proses Politik

Periode pasca-Orde Baru melihat Indonesia mengadopsi berbagai reformasi struktural yang pada permukaannya tampak memperkuat demokrasi. Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai lembaga lainnya merupakan langkah penting menuju tatanan politik yang lebih demokratis. Namun, meski lembaga-lembaga ini berhasil memperkenalkan elemen-elemen demokrasi formal, mereka belum sepenuhnya mampu membawa demokratisasi yang substantif.

Harris (2004) dan Tornquist (2009) mengemukakan bahwa meskipun ada perkembangan formal dalam institusi demokrasi, banyak prakondisi penting bagi kemajuan politik justru tidak hadir. Ini termasuk lemahnya keterlibatan publik dalam proses politik dan pengambilan keputusan, serta kecenderungan untuk menjaga status quo oleh elit politik. Upaya demokratisasi yang seharusnya memberikan kontrol lebih besar kepada publik justru berbalik arah, menjauhkan masyarakat dari urusan-urusan politik yang penting.

Samadhi (2022) mencatat bahwa proses demokratisasi di Indonesia pada tahun 1998 menghadapi disorientasi para aktivis terhadap pengembangan kapasitas politik untuk membangun kontrol publik. Masalah demokratisasi dipandang bukan hanya disebabkan oleh dominasi elit politik yang memperkuat oligarki. Namun para aktivis, termasuk organisasi masyarakat sipil, mengabaikan pentingnya membangun kapasitas politik kolektif yang mengarah pada pembangunan kontrol publik. Dampaknya, struktur politik mengarah pada proses demokrasi semu yang hanya berdasarkan pada kekuatan institusi formal dan penguatan elit politik.

Mengatasi hal ini diperlukan demokrasi yang lebih substantif yang tidak hanya terkungkung dalam prosedur formal dan legalistik, tetapi meningkatkan kontrol warga atas urusan-urusan publik. Demokrasi substantif ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendapat warga benar-benar didengar dan dipertimbangkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik. Stokke dan Tornquist (2013) menekankan pentingnya kesetaraan politik dalam demokrasi substantif, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik dan mempengaruhi kebijakan publik.

Oleh karena itu, untuk mencapai demokratisasi yang substansial, politik transformatif diperlukan dengan fokus pada basis politik. Ini mencakup pengorganisasian akar rumput, gerakan, dan mobilisasi tuntutan dalam mendorong perubahan politik. Stokke dan Tornquist (2013) menekankan bahwa politik demokratis transformatif sering muncul dari bawah ke atas, dengan partisipasi aktif individu dan warga dalam membentuk lanskap politik.

Dalam praktiknya, politik demokratis yang transformatif dapat diwujudkan melalui berbagai cara, seperti gerakan sosial, pengorganisasian masyarakat, dan struktur pemerintahan yang inklusif (Stokke dan Tornquist, 2013). Namun, wacana demokratisasi ini kerap terjebak dalam mendorong pembentukan lembaga formal demokrasi yang kemudian dibajak oleh elit. Hal ini menyebabkan proses pengambilan keputusan kolektif yang berkaitan dengan kepentingan publik tetap di tangan elit.

Karena itu, mengembalikan wacana demokratisasi yang substantif berarti memperluas ruang partisipasi publik dan memastikan bahwa setiap individu, termasuk orang muda, dapat terlibat secara aktif dan bermakna dalam politik. Ini juga memerlukan reformasi yang mendalam dalam struktur dan kultur politik, sehingga partisipasi publik tidak hanya diakui secara formal, tetapi juga diimplementasikan dalam praktik nyata. Demokrasi yang benar-benar bekerja untuk warga hanya bisa tercapai jika ada komitmen yang kuat untuk memberdayakan warga dan menjadikan mereka bagian integral dari proses politik.

Partai Politik Alternatif

Uraian di atas membuat kita paham bahwa orang muda juga butuh partai politik, namun hingga saat ini tidak ada yang benar-benar mewakili kepentingan mereka. Proses demokratisasi menghendaki keterlibatan warga, terutama orang muda, dalam proses politik, namun partai politik yang berkuasa acapkali mengabaikannya. Pertanyaannya siapa yang mampu memberikan jalan keluar dari kebuntuan politik ini?

Jawabannya adalah partai politik alternatif. Terdengar klise, namun untuk saat ini, setidaknya ini adalah pilihan rasional yang dapat diuraikan untuk menjawab pertanyaan di atas. Secara kondisi riil saat ini pun, partai politik alternatif tengah mengemuka dengan berbagai karakteristik dan keberagamannya sendiri.

Dalam konteks Indonesia, mari kita batasi pilihan kita pada partai politik alternatif atau partai politik yang mendaku partai politik alternatif, seperti Partai Prima, Partai Buruh, dan Partai Hijau Indonesia. Secara sederhana, ketiga pilihan ini dimunculkan karena ketiganya dianggap sebagai partai politik yang lahir dari semangat perjuangan kelas, banyak berangkat dari kekecewaan terhadap partai politik saat ini, dan bukan partai politik yang established.

Sayangnya, Partai Prima dan Partai Buruh layu sebelum berkembang. Politik elektoral memaksa mereka untuk memberikan keberpihakannya yang mengarah pada “persekutuan” dengan partai politik mainstream dan elite politik lain yang menjadi sumber masalah saat ini. Partai Prima mendukung pemerintah terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sementara Partai Buruh juga mengarah pada hal yang sama.

Artinya, algoritma elektoral memang memaksa partai alternatif untuk akhirnya takluk dan tunduk bersekutu dengan kekuatan politik yang lebih besar. Sebagai masyarakat politik, tentu berkuasa adalah hal yang wajib, sehingga peluang sekecil apapun harus dapat dimaksimalkan. Namun jika logika berpikirnya tunggal seperti ini, lantas apa bedanya dengan partai politik yang sekarang berkuasa?

Dengan demikian, agar tidak terjebak pada lingkaran setan partai alternatif yang kemudian terhegemoni tersebut, penting untuk menguatkan basis politik dengan ideologisasi yang kuat dan cita-cita bersama. Partai Buruh dan Partai Prima mungkin punya itu, namun dalam praktiknya tidak semua terimplementasi dengan baik karena alasan elektoral. Misalnya, demi memenuhi kuota calon legislatif, maka kedua partai tersebut membuka pintunya secara lebar-lebar, baik oligarki lokal, mantan koruptor, atau bahkan orang yang tidak memiliki kesadaran kelas dan perjuangan kelas tetap dicalonkan sebagai calon legislatif.

Artinya, pekerjaan terbesar yang mesti dilakukan partai politik alternatif adalah mendidik kadernya dengan ideologisasi sebaik-baiknya, seraya menyiapkan diri sebagai partai peserta pemilu. Memang percuma jika partai politik tidak ikut pemilu, tetapi layu sebelum berkembang juga tidak baik. Ideologisasi mesti dilakukan dengan kerja-kerja teliti, sabar, dan lama, tetapi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, membangun struktur dan kultur politik dengan melibatkan warga dalam proses politik dapat mewujudkan demokratisasi yang substansial.

Pilihan terakhirnya, yang tersisa saat ini adalah Partai Hijau Indonesia. Bagi sebagian orang, partai ini minim progres, hanya kelompok diskusi, dan tak terlepas dari pandangan bahwa partai ini lebih cocok menjadi lembaga swadaya masyarakat. Tapi setidaknya partai ini menawarkan hal-hal yang tidak dilakukan oleh partai politik yang mendaku alternatif, apalagi partai politik mainstream.

Misalnya, partai politik mana di Indonesia yang digerakkan tidak dengan ketua umum tunggal, melainkan melalui sistem presidium yang berjumlah ganjil. Selain itu, dinyatakan bahwa presidium harus mencerminkan keterwakilan dari kelompok perempuan dan kelompok orang muda di bawah usia 30 tahun. Hal ini merupakan kritik atas tunggalnya kepemimpinan di dalam partai politik, ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan eksklusifitas di dalam partai politik yang melahirkan kediktatoran, tokenism, patron-klien, dan penyakit partai politik lainnya.

Praktik lainnya, hanya Partai Hijau Indonesia yang mendukung keragaman identitas dan orientasi seksual secara terbuka. Mendorong dekriminalisasi ganja, keberlanjutan ekologi, inklusivitas, kesetaraan substantif dan lainnya. Semua ini bukan jargon-jargon dan barang dagangan, ini semua berangkat dari keberagaman profesi dan aktivitas para anggotanya yang telah mengerjakan hal-hal yang selama ini tidak digarap oleh negara.

Dengan begitu, yang sebenarnya perlu dikerjakan bukan hanya soal politik elektoral, tetapi “berperan” sebagai partai politik yang melakukan kerja-kerja politik keseharian dengan melibatkan warga dalam prosesnya. Tak lolos parlemen pun, jika kapasitas politik secara kolektif terbangun dengan pengorganisasian ini, partai non-parlemen juga memiliki kekuatan dan daya gedor untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam menentukan kebijakan. Termasuk jangan sampai meludahi dan menipu ulang kembali warga dengan kesadaran palsu dan euforia sebagai partai politik alternatif, namun beroperasi tak ubahnya seperti partai politik yang kini berkuasa.

Namun, Partai Hijau Indonesia juga pasti punya kekurangan, dan berpotensi mengalami disorientasi politik juga. Dengan demikian, jika Partai Prima dan Partai Buruh layu sebelum berkembang, maka kita perlu pastikan Partai Hijau Indonesia tak membusuk setelah berkembang.

Perlu diketahui, tujuan tulisan ini bukan untuk memaksa Anda bergabung dengan Partai Hijau Indonesia; masih ada banyak pilihan partai politik lain yang bisa Anda pertimbangkan. Namun, tulisan ini bertujuan untuk menyajikan argumen bahwa Partai Hijau Indonesia merupakan pilihan yang rasional bagi masa depan Anda.

Akhirul kalam, dengan memilih Partai Hijau Indonesia berarti mengambil alih kepemimpinan politik. Memilih Partai Hijau Indonesia berarti meruntuhkan hegemoni negara. Memilih Partai Hijau Indonesia berarti memaksa aktor politik yang menjadi penjahat lingkungan seperti Prabowo Subianto, Joko Widodo, Luhut Binsar Pandjaitan, dan aktor bisnis lainnya untuk tunduk di hadapan alam dan kekuatan warga.

For Students, Young People, and Our Future!

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2020). Laporan Sensus Penduduk, Badan Pusat Statistik. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Harris, J., Stokke, K. dan Tornquist, O. (ed.) (2004). Politicizing Democracy: The New Local Politics of Democratization. Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan.
Pitkin, Hanna. (1967). The Concept of representation. Barkeley: University of California Press.
Samadhi, Willy P. (2022). The Absence of Popular Control: Disorientasi Perkembangan Kapasitas Politik Kolektif Aktivis Pro-demokrasi Indonesia Pasca-1998. Ringkasan disertasi Prodi S3 Ilmu Politik, Fisipol UGM.
Stokke, Kristian & Törnquist, Olle (2013). “Transformative Democratic Politics” dalam Stokke, Kristian & Törnquist, Olle, eds. (2013), Democratization in the Global South: The importance of transformative politics, New York: Palgrave MacMillan.
Tornquist, O., Webster, N. dan Stokke, K. (ed.) (2009). Rethinking Popular Representation. Basingstoke dan New York: Palgrave Macmillan.

 

*Penulis adalah Kader Partai Hijau Indonesia. Tulisan dari Delpedro Marhaen tidak mewakili
pandangan dari redaksi Sorge Magazine