Pada 29 Januari 2019, Rahman Tolleng berpulang. Selama dua tahun sebelum ia meninggal, kami yang berkumpul di Forum Diskusi Jakarta dan Sorge berkesempatan untuk beberapa kali berdiskusi bersamanya. Percakapan saban sore hingga malam itu berkutat pada situasi politik kontemporer melalui pembahasan buku, artikel, atau mengundang narasumber lain sebagai pemantik diskusi. Meski dengan nafas tersengal dan batuk tak usai, Rahman Tolleng tetap lugas berpendapat, mengajukan pertanyaan penting, atau seringkali menyentil ketidakberesan cara berpikir kami.
Untuk mengenang satu tahun kepergian Rahman Tolleng, kami menyajikan saripati diskusi-diskusi tersebut yang dirangkum dalam sebuah tulisan. Kami memuat ide, analisis, tawaran, serta pertanyaan dari diskusi kami dengan Rahman Tolleng seputar politik Indonesia. Sebab kami rasa, cara berpikirnya yang tajam dalam membedah problem-problem utama politik Indonesia saat ini merupakan harta karun yang tidak bisa kami simpan sendiri. Banyak ilham, harapan, maupun keresahan yang kami rasa penting untuk dibagikan kepada publik. Terutama di hari-hari ini.
Adapun fokus rangkuman ini adalah tentang otoritarianisme di Indonesia, tema yang sejak dulu menjadi pusat perhatiannya. Sudah diketahui luas bahwa Rahman Tolleng ikut berjuang menumbangkan rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru. Berbekal pengalaman itu, ia begitu jeli dalam melihat gejala otoritarianisme mengemuka saat ini. Pada suatu kesempatan, salah satu dari kami dengan polos menanyakan seberapa yakin dia bahwa otoritarianisme bakal muncul lagi. Setengah bercanda dan menyindir, ia menjawab: “Jangan sampai otoritarianisme mengetuk pintu rumah dulu, baru you paham!”.
***
Dalam buku How Democracies Die (2018), Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mendiskusikan negara-negara di dunia yang, meski tata demokrasinya semula dianggap kuat, akhirnya runtuh dalam waktu singkat. Narasinya berangkat dari kegelisahan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang dianggap abai pada konstitusi, adab bernegara, serta etika politik. Mereka menganggap perilaku yang menjurus pada gejala otoritarianisme tersebut bukan merupakan kejadian yang unik. Sepanjang sejarah politik modern di berbagai negara di dunia, demokrasi tak jarang meredup atau hilang sama sekali.
Untuk menjelaskan proses kemunduran demokrasi itu, Levitsky dan Ziblatt menunjukkan dua pola utama. Pertama melalui jalur kekerasan seperti mobilisasi kekuatan fisik, penggunaan senjata dan seterusnya. Pola penghancuran demokrasi lainnya, yang menjadi sorotan utama buku itu justru melalui cara-cara demokratis: Pemilihan umum, perubahan kebijakan, penetapan tata aturan, dan sebagainya. “Dewasa ini, kemunduran demokrasi dimulai dari kotak suara”, demikian Levitsky dan Ziblatt mendahului argumen mereka.
Dalam keruntuhan demokrasi tipe kedua itu, pemilu masih rutin dilaksanakan, sedangkan konstitusi dan institusi demokratik lainnya masih pada tempatnya. Namun perlahan-lahan, kita mendapati privilege demokrasi dipreteli satu-satu: kita masih bisa mengkritik penguasa namun selalu dibayangi ketakutan akan kriminalisasi, pers masih bisa terbit tapi terpaksa melakukan self-censorship, dan rezim yang terpilih rutin memanipulasi hukum demi kelanggengan kekuasaannya. Mereka yang bertanggung jawab atas penghancuran ini adalah yang disebut sebagai “elected autocrats” – para otokrat yang terpilih.
Upaya para elected autocrats untuk memanipulasi hukum memang sepintas masih berada di koridor “legal”, dalam arti manuvernya disetujui parlemen dan sesuai hukum yang berlaku. Kadang peraturan itu dibuat dengan dalih menyelesaikan suatu masalah negara, entah untuk memperkuat kepentingan nasional, memberantas kelompok intoleran, mengatur media, dan sebagainya. Tapi pada saat yang bersamaan, rezim sesungguhnya tengah menulis ulang panduan tata cara bernegara demi melemahkan lawan-lawannya, dan karena itu, melanggar semua aturan tak tertulis yang memastikan kompetisi politik agar tetap berjalan fair.
Demokrasi Kian Terkikis
Di Indonesia sendiri, sejak rezim Soeharto tumbang lebih dari 20 tahun lalu, telah muncul gejala-gejala yang menandakan kembalinya otoritarianisme. Awal dari kekhawatiran itu berasal dari apa yang disebut stagnasi demokrasi: saat agenda-agenda reformasi politik yang bergulir di awal reformasi seakan menemui jalan buntu. Situasi ini tampak dalam pemerintahan Yudhoyono yang enggan mengambil resiko dalam melanjutkan reformasi politik yang lebih demokratis dan lebih mengelola status quo. Hal ini diperparah dengan political gridlock antara pihak eksekutif dan legislatif yang membuat virtue publik dan demokrasi tersandera kepentingan privat elit politik. Karenanya, institusi dan sistem politik demokratis yang tumbuh pasca reformasi tak kunjung “matang” dan mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi secara bertahap.
Kondisi tersebut merupakan tanda dimulainya proses dekonsolidasi demokrasi. Berbeda dengan fenomena breakdown of democracy yang terjadi relatif cepat dan kasat mata, dekonsolidasi terjadi secara bertahap dan dalam jangka waktu lama. Karena sifat perubahannya yang tidak drastis, dekonsolidasi demokrasi kerap sulit untuk diidentifikasi. Proses dekonsolidasi demokrasi tersebut mulai begitu kentara di masa kepresidenan Joko “Jokowi” Widodo. Paling tidak terdapat dua faktor utama yang menjadi pretext terjadinya dekonsolidasi demokrasi sewaktu Jokowi berkuasa: ketakutan akan naiknya pengaruh kelompok Islam konservatif dan kehendak untuk mengamankan kekuasaan politik dengan cara khas Orde Baru.
Rangkaian mobilisasi massa Islam dalam merespon ucapan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tak pelak memberikan tekanan kepada pemerintahan Jokowi. Muncul ketakutan bahwa isu serupa akan dipakai kelompok oposisi untuk merontokkan kekuasaan rezim, atau paling tidak bakal dipakai dalam Pemilu 2019. Hal ini mendorong pemerintahan Jokowi mengeluarkan berbagai kebijakan reaktif – meski dibungkus dengan kemasan pluralisme -justru kental akan watak otoritarian yang mempercepat pembusukan demokrasi di Indonesia. Tengok saja polemik Perppu Ormas yang sedari awal ditujukan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), nyatanya berpotensi juga mengancam organisasi masyarakat sipil lain.
Sesungguhnya, gelagat untuk mengangkangi sistem politik demokratis sudah muncul bahkan sebelum mobilisasi massa Islam tersebut. Kehendak untuk menggalang dukungan dan mengamankan kekuasaan terlebih dahulu dilakukan Jokowi dengan mengintervensi kepengurusan partai politik pendukung, maupun oposisi. Hal ini ditunjukkan Marcus Mietzner (2016) dalam makalahnya berjudul Coercing Loyalty: Coalitional Presidentialism and Party Politics in Jokowi’s Indonesia. Segala manuver Jokowi, meski dilakukan dengan dalih “menyelamatkan demokrasi”, justru telah mencederai proses demokratisasi Indonesia. Intervensi pemerintahan Jokowi dalam kemelut kepengurusan paling tidak di dua partai politik, Golkar dan PPP, merupakan praktek yang hanya pernah terjadi saat Orde Baru berkuasa. Hari ini, adakah parpol yang bisa bekerja secara independen, bebas dari intervensi kekuasaan?
Secara umum, paling tidak terdapat delapan indikator yang dapat menunjukan kondisi dekonsolidasi demokrasi di Indonesia: Pembungkaman oposisi dengan dalih menegakkan konstitusi; Intervensi terhadap kepengurusan partai politik; Pembubaran ormas tanpa melalui jalur pengadilan; Maraknya kriminalisasi terhadap aktivis gerakan akar rumput; Pelemahan komisi independen negara (yang paling mencolok dalam kasus KPK); Tetap terjadinya pelanggaran hak sipil dan politik terutama di Papua; Pembiaran diskriminasi terhadap kaum minoritas dan menjamurnya persekusi; serta pelanggaran HAM masa lalu yang tak kunjung dituntaskan.
Kedelapan indikator tersebut tentu tidak berdampak langsung pada demokrasi yang dipahami terbatas, yaitu ada tidaknya pemilihan umum untuk mengganti pimpinan negara. Namun ha-hal tersebut menjadi “tes litmus” dalam membaca kualitas demokrasi kini maupun arah transformasinya di masa depan. Ibaratnya demokrasi Indonesia kini nampak seperti bangunan yang memenuhi syarat minimum sebagai rumah: ada tembok, atap, pintu, dan jendela jika dilihat dari luar. Namun setelah ditilik interiornya, tak nampak perabot ataupun fasilitas pendukung yang memungkinkan seseorang bisa menempatinya dengan layak. Kedelapan indikator di atas memperlihatkan bagaimana demokrasi Indonesia juga masih belum layak bagi warganya agar hidup secara beradab dan berkeadilan.
Tentu mengkhawatirkan jika banyak indikator tersebut jarang menjadi perhatian publik, bahkan dianggap sebagai kondisi yang normal, meski alarm tanda bahaya sudah disuarakan banyak pihak. Konferensi Indonesia Update di Australia National University tahun 2019 lalu menyerukan terjadinya executive illiberalism – saat negara merespons polarisasi yang meruncing dan ancaman terhadap kekuasaannya dengan menghancurkan fondasi demokrasi yang susah payah dibangun sejak reformasi. Gejala ini bisa dibilang membuka jalan bagi kembalinya otoritarianisme.
Namun, otoritarianisme yang telah ada di beranda kita, tampaknya tak akan mengambil bentuk yang sama dengan Orde Baru, atau negara-negara lain yang mengandalkan tokoh pemimpin kuat dan menonjol. Pemilihan umum bakal tetap terlaksana meski dengan menyajikan “ilusi pilihan bebas”: seolah-olah publik disajikan pilihan yang beragam, namun apapun hasilnya tetap bermuara pada berkuasanya orang-orang dalam lingkaran oligarkis yang sama. Perkembangan politik pasca Pemilu 2019 menyajikan bukti yang jelas mengenai fenomena ini, saat dua kandidat Presiden yang berlawanan pada akhirnya bersatu dalam biduk kekuasaan.
Hal tersebut dimungkinkan karena para oligark yang menguasai ekonomi dan politik Indonesia memanipulasi sistem hukum dan negara untuk menyangga kekuasaannya. Sehingga sebagian besar warga yang tidak masuk dalam lingkaran oligarki tidak lagi memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengubah situasi politik. Dengan kata lain, hukum telah dipakai untuk membuat pemimpin negara dan para oligark kebal dari upaya koreksi demokratis. Lembaga penegak hukum telah direbut independensinya dan hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Rezim otoritarian oligarkis ini lantas akan memerintah dengan hukum (rule by law) untuk menghajar kelompok yang berseberangan, alih-alih menegakkan aturan hukum (rule of law).
Habis Statecraft Terbitlah Stagecraft
Menghadapi sistem politik dan hukum yang telah dimanipulasi agar memenangkan yang kaya, tentu pilihan ideal untuk perbaikan adalah mengubahnya dengan cara demokratis. Namun hal itu sulit dilakukan ketika saluran demokratis maupun hukum untuk mendorong perubahan tersebut juga telah dihambat oleh kekuasaan oligark. Karenanya, seringkali harapan perubahan biasanya tertumpu pada munculnya orang-orang berkualitas yang memimpin jabatan-jabatan publik atau merebut kursi kekuasaan lalu ikut memperjuangkan perubahan tersebut. Tentu syaratnya individu-individu tersebut mau memegang teguh nilai-nilai keutamaan negara demokratis, menjalankan etika publik, serta memiliki kemampuan dalam menjalankan kekuasaan. Sayangnya kualitas dalam bernegara (statecraft) seperti itu tidak bisa kita temukan lagi sekarang pada tampuk pimpinan negara.
Saat statecraft tak lagi menjadi syarat utama politik saat ini, yang muncul menggantikan adalah stagecraft: politik yang mengandalkan keterampilan panggung — kemampuan menciptakan tontonan untuk menarik massa. Rezim Joko Widodo adalah salah satu cerita sukses politik stagecraft. Demikian pula saat berlangsung Pilkada DKI 2018 lalu, para kandidat juga berlomba-lomba mengaplikasikan politik jenis ini. Dan sebagaimana halnya cerita sukses lain, formula stagecraft ini akan terus diaplikasikan ulang pada Pilkada dan Pemilu-Pemilu yang akan datang.
Bagi seorang politikus, tampil di depan media untuk mendapat perhatian atau dukungan publik merupakan hal yang lumrah dilakukan di negara demokratis. Jika ada masalah dengan kinerja politikus tersebut, media atau warga sendiri dapat menyampaikan kritiknya, sebagai masukan yang harus didengar pemerintah untuk upaya perbaikan. Jika tak ada yang berubah, maka si politikus akan diganjar kekalahan dalam pemilu atau upaya pemakzulan. Namun politik stagecraft berusaha untuk memangkas proses koreksi di negara demokrasi ini dengan mengaburkan kenyataan politik dengan pencitraan, misinformasi, dan disinformasi. Misal peristiwa kebakaran hutan selalu menjadi krisis musiman di Indonesia, dan hampir selalu kita melihat foto Presiden Jokowi meninjau langsung lokasi kebakaran. Hal itu tentu untuk menujukkan keseriusan Presiden mengatasi masalah, meski jelas bahwa masalah ini tak juga tertangani. Hal ini membuktikan bahwa politik stagecraft dipakai untuk menutupi ketidakmampuan Presiden dalam menjalankan statecraft.
Dengan makin populernya politik stagecraft, maka lengkaplah upaya memerangkap demokrasi dalam belenggu kekuasaan oligarkis. Agar pemilihan umum tetap berjalan dan warga terperdaya “ilusi pilihan bebas”, maka dibutuhkan figur-figur yang dapat menyihir dengan pesona dan citra. Barangkali inilah efek samping yang paling mengenaskan dari sistem pemilihan langsung. Hal ini akan sedikit banyak menjamin gugatan atau keluhan warga tetap mulus terserap dalam kotak suara, sehingga rezim terhindar dari tuduhan otoritarian seperti Orde Baru.
Otoritarianisme di Indonesia, dengan demikian, tak perlu lagi hadir dengan bentuknya yang terdahulu. Layaknya virus, ia akan masuk ke dalam tubuh demokrasi lalu mengendalikan dan menghancurkannya dari dalam. Itu semua dilakukan dalam waktu yang tidak sebentar dengan sedikit orang yang menyadari. Banyak orang yang dulu begitu menggebu mendorong reformasi, sekarang terkecoh dan merasa maklum. Mereka sudah merasa pemerintah berwatak otoritarian yang bertopeng demokrasi merupakan normal yang baru. Dalam kondisi seperti itu, saat otoritarianisme betul-betul mengetuk pintu rumah, kita sudah tak bisa pergi kemana-mana.
Memikul Batu, Mendorong Perubahan
Selama ini, upaya untuk mengubah situasi politik yang tak memihak kepada kepentingan publik bukannya nihil. Sejumlah kalangan telah berinisiatif untuk mengintervensi politik oligarkis dan stagecraft melalui jalur elektoral. Partai alternatif dibentuk untuk bisa menawarkan jalan keluar dari kebuntuan hari ini. Namun upaya ini harus terantuk dengan mekanisme politik elektoral dan undang-undang yang masih amat memihak kepentingan oligarkis.
Partai politik yang ada sekarang jelas tak sanggup menjadi penjaga gerbang demokrasi. Ia tak punya ideologi, juga tak peduli pada pendidikan dan perubahan politik. Undang-undang Partai Politik pun seperti didesain untuk memastikan status quo tetap terjaga. Praktis partai politik hanya menjadi sarana daur ulang elit oligark dan bandit. Corak politiknya transaksional, sensasional, plus nihil etika publik. Celakanya, kebobrokan partai politik dari tahun ke tahun akhirnya melahirkan sentimen anti-partai yang kental di masyarakat. Ini adalah lahan subur bagi demagog dan otoritarianisme.
Maka dari itu, langkah lain yang perlu diupayakan kembali adalah untuk mengorganisir warga dan mengupayakan pendidikan politik. Sebab saat ini hanya kekuatan populis warga yang secara masif menuntut perubahan lah yang mampu ‘menggoyahkan’ kekuasaan.
Namun menggerakkan warga untuk turut dalam gerbong gerakan yang menjunjung nilai keutamaan publik bukan hal yang mudah. Polarisasi yang terjadi sejak Pemilu 2014 dan terus bergaung hingga kini telah menimbulkan luka yang berkepanjangan dan memaksa banyak pihak untuk turut dalam narasi salah satu kutubnya: satu kubu menggunakan politik identitas Islam, sedangkan kubu lain menggunakan dalih “kebhinekaan” tapi melupakan urusan kemanusiaan dan keadilan.
Bahkan tak sedikit kelompok masyarakat sipil yang selama ini diharapkan menjadi motor dalam politik warga turut tertelan dalam polarisasi ini. Mereka seperti alpa akan tugas yang diemban terutama saat era Reformasi bergelora. Selaku bagian dari civil society, ia (seharusnya) hadir untuk memperkuat demokrasi. Kondisi ini diperparah dengan “alergi” kelompok masyarakat sipil terhadap parlemen dan ketergantungannya yang berlebihan terhadap eksekutif. Hal ini menciptakan preseden buruk bahwa proses politik boleh di-bypass begitu saja setiap kali dipandang perlu. Tabiat ini justru memperlemah demokrasi, karena mengabaikan sistem pengawasan demokratis dalam bernegara.
Lebih mirisnya sekarang muncul anggapan bahwa ada atau tidaknya kelompok masyarakat sipil seperti tak ada pengaruhnya bagi suatu kebijakan. Sampai sini kita harus kembali pada pertanyaan klasik: masih relevankah menaruh harapan pada gerakan masyarakat sipil untuk menyatukan kekuatan dan membangun oposisi? Melihat kondisi sekarang, hal itu sulit dilakukan. Fragmentasi kronis di kalangan masyarakat sipil membuat gerakan tersebut susah mencapai titik temu. Apalagi kecenderungannya kini masing-masing lembaga terlalu berorientasi untuk memenuhi target domestiknya. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, upaya menyatukan kelompok masyarakat sipil di Indonesia memang selalu kandas di tengah jalan, tapi percakapan yang mengarah kesana tetap rutin dilaksanakan. Kombinasi antara faktor–faktor diatas, ditambah polarisasi yang meruncing dan lack of leadership di kalangan masyarakat sipil, telah menciptakan vakum dalam gerakan sosial yang akhirnya diisi oleh kelompok-kelompok yang kini mengusung sentimen sektarian.
Lantas siapa, atau kubu mana yang sanggup menjadi oposisi seimbang bagi penguasa? Kelompok militer sebagai pihak yang biasanya “mengambil inisiatif” belum jelas keberpihakannya. Purnawirawan militer yang aktif di politik pada umumnya berbicara politik bukan sebagai seorang militer, melainkan sebagai partisipan politik elektoral biasa. Namun kita mesti selalu ingat akan pembelajaran sejarah yang pahit saat menggantungkan harapan pada militer: pasca kejatuhan Soekarno, militer tak pernah menyerahkan demokrasi yang dinanti-nanti. Para Jenderal yang simpatik kepada demokrasi dan gagasan supremasi sipil dalam politik, serta diharapkan dapat membantu transisi kepemimpinan militer ke sipil, akhirnya tak sanggup berbuat banyak. Walhasil, Soeharto dan kroni-kroninya mendirikan kediktatoran baru di atas puing-puing otoritarianisme lama.
Melihat keadaan ini, wajar kalau beberapa dari kita dihinggapi putus asa, bahkan apatisme. Meski demikian, kita tahu bahwa apabila status quo terus berlanjut, tatanan demokrasi itu sendiri terancam sulit untuk pulih kembali. Keruntuhan demokrasi terus berjalan terlepas dari siap atau tidaknya kita menerima kenyataan. Kenyataan bahwa meskipun sulit dan kecil peluangnya, kita harus mulai bertaruh di antara opsi-opsi yang saat ini tersedia.
Melanjutkan Perjuangan
Salah satu pilihan yang amat diperlukan sekarang adalah menyusun kekuatan oposisi yang politis dan tak berdasarkan ambisi personal belaka. Hal ini dikarenakan oposisi partai politik tak lagi bekerja dan kelompok lain yang menyatakan diri oposisi pun jatuh dalam politik identitas. Agar bisa mendatangkan dampak, oposisi baru ini harus didukung gerakan ekstra parlementer yang solid. Di satu sisi, ia diperlukan untuk menghadapi kekuasaan yang kokoh didukung alat kekerasan negara dan modal para oligark. Di lain sisi, kita perlu mengimbangi gerakan ekstra parlementer kelompok Islamis yang sekarang sudah menguasai media sosial, jalanan, hingga masjid-masjid.
Karenanya gerakan yang dibentuk ini harus juga berfungsi sebagai kelompok penengah antara ekstrim-ekstrim yang kini beredar di masyarakat. Kelompok ini menolak untuk tertelan baik ke dalam politik identitas maupun akumulasi oligarkis, dan ia mengemban tugas maha berat untuk menyuntikkan kembali politik nilai dan akal sehat ke dalam tubuh Republik. Ia hadir untuk membedah politik stagecraft rezim dan menawarkan alternatif bagi kondisi bangsa yang semakin bergulir ke arah yang mencemaskan. Untuk ini, platform bersama harus mulai dirumuskan sembari terus memperkuat diri agar tidak terhisap ke dalam polarisasi yang ada.
Selain itu, kepemimpinan sipil yang menjanjikan hanya bisa dirintis lewat dinamika di dalam masyarakat sipil itu sendiri, sehingga ia tidak akan mudah digerus oleh transaksi politik di kemudian hari. Petunjuk jalan untuk menuju kesana tidak akan tiba-tiba muncul dalam waktu dekat, tapi ia penting untuk selalu diupayakan.
Saat otoritarianisme mulai mewujudkan dirinya di depan mata, menemukan alternatif menjadi tugas mendesak yang wajib dilakukan. Merujuk pada Levitsky dan Ziblatt, kita harus mulai serius menyiapkan bangunan partai politik yang benar-benar baru: sekali lagi menyusun strategi untuk merombak Undang-undang Partai Politik; merintis dan mengaktifkan kembali jejaring politik oposisi yang siap bertarung di kancah elektoral; dan menggagas platform yang mengakar pada publik serta berlandaskan politik warga.