Menumbalkan yang Rentan

Pemerintah pusat yang bersikeras mengangkat dirinya sebagai pusat otoritas politik sekaligus medis di masa pandemi adalah ‘patogen baru’ yang melemahkan upaya warga untuk menekan angka kematian akibat Covid-19.

Di hari-hari yang penuh kecemasan ini seharusnya negara hadir untuk memberikan kepastian. Namun alih-alih menjamin rasa aman, pemerintah Joko Widodo justru menjadi sumber ketakutan dan kegeraman warga. Awal mulanya tentu dari abainya pemerintah akan peringatan bahaya wabah Covid-19 di Indonesia. Dalam dua bulan sebelum penyakit tersebut diketahui secara terbuka di sini, kita malah disajikan parade penyangkalan dan upaya melucu dalam berbagai pernyataan publik pemerintah. Saat krisis itu sudah hadir, justru kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan istana serba lambat dan tidak tegas. 

Contoh pembuatan kebijakan yang lambat dan tak tegas itu adalah penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur lewat Keppress 11/2020 yang baru diteken 31 Maret lalu. PSBB sendiri merupakan salah satu pilihan respons dalam situasi darurat kesehatan yang mengacu pada pasal 59 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang disusun pemerintahan Joko Widodo sendiri, di luar pilihan karantina rumah, karantina wilayah dan karantina rumah sakit.

Penetapan status keadaan darurat kesehatan dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bagi wilayah episentrum penyebaran wabah masih jadi satu rangkaian parade kekonyolan itu. Paradoks dengan kondisi darurat (state of emergency) yang membutuhkan langkah-langkah cepat dan strategis demi keselamatan publik, PP 21/2020 muncul sebagai beleid yang lebih banyak merecoki pemerintah daerah dalam mengambil langkah strategis yang diperlukan guna mengurangi penyebaran pandemi.

Ketentuan di dalam PSBB sendiri (sebelum terbitnya PP) sebenarnya sudah dijalankan oleh pemerintah daerah. DKI Jakarta, Jawa Barat dan beberapa wilayah Kabupaten lainnya sudah lebih dulu menetapkan pembatasan kegiatan publik yang berpotensi menjadi titik berkumpulnya orang (sekolah, mall, rumah ibadah, transportasi publik, dan sebagainya). Bahkan, tidak sedikit warga yang berinisiatif duluan membatasi peredaran orang di wilayahnya masing-masing hingga tingkat desa dan kecamatan. 

Belakangan, pengajuan status PSBB oleh pemerintah daerah diperlakukan mirip seperti pengajuan proposal pembangunan infrastruktur, ia harus disetujui dulu oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, tokoh sentral yang terus mendulang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah pusat dalam menghadapi virus yang telah merenggut lebih dari 95,000 jiwa hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Di samping itu juga tidak ditemukan sama sekali ketentuan spesifik mengenai bantuan jaring pengaman sosial dari pemerintah pusat guna melindungi warga yang mulai terseok dalam memenuhi kebutuhan hariannya selama masa PSBB. 

Tak ayal, lewat prosedur penetapan PSBB yang bertele-tele, pemerintah pusat yang bersikeras mengklaim dirinya sebagai pusat otoritas politik dan medis di masa pandemi malah jadi ‘patogen baru’ yang melemahkan upaya warga untuk menekan angka kematian akibat virus yang belum ditemukan vaksinnya ini.

Hal lain yang seharusnya bisa dipersiapkan oleh Presiden sejak jauh hari adalah ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis dan optimalisasi kapasitas tes Covid-19. Kegagalan pemerintah untuk menjalankan dua hal krusial dalam penanganan wabah ini terbukti fatal. Hingga awal April, 24 tenaga medis (dokter dan perawat) telah kehilangan nyawa akibat tidak tercukupinya kebutuhan APD. Pemerintah sudah merilis daftar rumah sakit rujukan sejak akhir Januari. Namun masih saja ada kendala penolakan pasien, kekurangan fasilitas kesehatan dan terbatasnya tenaga medis. Ini membuktikan segala langkah antisipasi pemerintah pada dua bulan pertama 2020 itu tak terwujud.

Tak kalah mengerikan, kapasitas tes Indonesia yang sangat terbatas per awal April ini mengakibatkan jumlah kasus positif yang dapat diketahui tiap harinya hanya berkisar di angka 100-an. Penyebabnya, ribuan sampel tes yang masuk tiap hari harus tertahan seminggu lebih sebelum diketahui hasilnya. Akibatnya banyak kasus pasien yang terlambat, kasus pasien yang sudah meninggal baru diketahui positif Covid-19, dan seterusnya. Dampak kelambatan tes dan tidak akuratnya data pemerintah ini sangat luas. Sebab tidak mungkin kebijakan tepat dapat ditelurkan oleh pemerintah apabila data yang dipakai tidak akurat. Sampai hari ini, sebulan lebih setelah pengumuman pasien pertama, tidak ada yang tahu pasti jumlah warga Indonesia yang terjangkit Covid-19. Puluhan ribu? Ratusan ribu? Kita tak ubahnya berada dalam pesawat yang terjun bebas, dengan ekor dan sayap yang terbelah tiga, dalam kegelapan total. 

Tragisnya, data yang jauh dari kenyataan di lapangan ini malah dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai stempel keberhasilan. Presiden Joko Widodo – secara publik – membanggakan bahwa kasus di Indonesia tidak masuk dalam 10 besar dunia berdasarkan data bermasalah itu. Belum lagi pasukan buzzer istana turut membeo kebanggaan semu bahwa kurva pertumbuhan kasus positif Covid-19 di Indonesia tidak seburuk negara seperti Italia, Inggris, dan Amerika Serikat. Narasi penipuan publik seperti itu akan melemahkan berbagai upaya pencegahan wabah, apalagi didasarkan pada data yang tidak tepat. Di titik ini, pemerintah bukan lagi lalai dan anti-sains, ia dengan sengaja melakukan manipulasi yang membahayakan nyawa warganya. 

Dengan langkah yang menyepelekan wabah Covid-19 di awal 2020 dan upaya penanggulangan yang serba terlambat, kita perlu bertanya apa sebetulnya yang jadi fokus pemerintah di tengah krisis ini. Jika menilik konsentrasi anggaran penanganan wabah dan penggunaan aturan yang membungkam kebebasan berekspresi, nampak bahwa pemerintah enggan ekonomi melambat, dan untuk itu, ia hendak memastikannya dengan pendekatan represif. Benar bahwa pemerintah perlu merespons dampak krisis ekonomi akibat pandemi. Dengan catatan, pemerintah harus mendahulukan mereka yang paling rentan terdampak terlebih dahulu, bukan para korporat kakap. Selain itu harus dipastikan kejelasan bantuan yang akan diberikan: seperti apa bentuknya dan bagaimana implementasinya. Di atas semua itu, penanganan pandemi harus diutamakan. Semaju apapun kebijakan ekonominya, ia tak akan bisa berjalan di tengah masyarakat yang diteror wabah. 

Selain itu, kebijakan represif yang menghalangi kritik kepada penguasa adalah langkah yang berbahaya, apalagi di tengah situasi tak menentu ini. Jika kritik dihalangi atas nama nama baik penguasa, segala langkah keliru pemerintah akan terus-terusan tidak terkoreksi dan terus-terusan pula mengancam nyawa warga Indonesia. Kita perlu belajar dari mereka yang berhasil memukul mundur wabah. Keterbukaan pemerintah, misal atas data yang tidak valid, dan kritik dari masyarakat adalah resep keberhasilan penanganan wabah di berbagai negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Selandia Baru.

Kecerobohan, ketidakseriusan, dan ketidaktegasan yang terus berulang meski taruhannya adalah nyawa orang banyak bukanlah sekedar sebuah “problem kebijakan”. Itu adalah wujud nyata dari sikap pemerintah itu sendiri, yang tidak memiliki sense of crisis dan berharap korona akan berlalu begitu saja. Hal ini tergambar jelas dari pernyataan Menteri Luhut Binsar Panjaitan yang masih yakin virus SARS-CoV-2 tidak tahan cuaca panas negara tropis, meski sudah banyak negara tropis terpapar wabah dan di Indonesia ratusan nyawa telah melayang. Karenanya kita patut curiga akan keseriusan pemerintah dalam menangani wabah. Jika sikap abai dan ketidakbecusan itu terus berlangsung, nampaknya arah strategi pemerintah lebih kepada survival of the fittest, alias membiarkan wabah ini berlalu dengan mengorbankan mereka yang rentan kesehatan dan ekonominya. Tidak peduli ribuan korban nyawa bergelimpangan. Tidak peduli jutaan sisanya kelaparan. 

Apabila demikian halnya, mereka yang berhasil bertahan hidup dari gempuran pandemi wajib bikin perhitungan.