Sejak reformasi 1998 kita melakukan empat kali amandemen konstitusi UUD 1945 yang membawa implikasi luas terhadap sistem pemerintahan. Implikasi itu setidaknya meliputi pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, legislatif terdiri dua kamar DPR-DPD, dan melikuidasi lembaga tertinggi negara MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Amandemen konstitusi merupakan bagian dari agenda reformasi untuk menjamin ruang partisipasi rakyat dan mengukuhkan sistem pemerintahan presidensialis.
Presidensialisme menempatkan seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memegang mandat rakyat melalui mekanisme pemilihan presiden (Pilpres) langsung. Dalam menjalankan pemerintahannya, pada diri presiden melekat hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri. Posisi menteri atau kabinet pembantu presiden kemudian bertanggung jawab kepada presiden.
Hal ini tentu berbeda dengan parlementarisme, dimana seorang kepala pemerintahan atau perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Kabinet parlementaris merupakan representasi dari partai politik mayoritas di parlemen. Dalam perjalanannya kemudian, Parlemen pun bisa mengajukan mosi tidak percaya dan membubarkan kabinet. Secara umum menurut A. Rahman Tolleng dalam artikel What Next Hubungan Eksektif-Legislatif, “sistem parlementaris adalah supremasi legislatif, mengingat sistem pemerintahan parlementaris meleburkan kekuasaan eksekutif dan legislatif (fusion of powers). Sementara presidensialis merupakan eksekutif tunggal terpisah dengan kekuasaan legislatif (separation of powers)”.
Di era orde baru seorang mandataris MPR kekuasaannya dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui Sidang Umum MPR. Sistem pemerintahan era orde baru ini sering disebut kuasi-presidensialis. Tidak aneh kemudian ketika demi menjaga stabilitas kekuasaan, hal ini kerap disiasati rezim orde baru dengan memilih para loyalis pemerintah untuk duduk di DPR/MPR.
Konsekuensi logis dari amandemen konstitusi membuka kebebasan mendirikan partai politik sebagai wujud sistem multipartai. Pembatasan partai politik ketika era orde baru menutup partisipasi rakyat, sehingga kehadiran banyak partai politik dianggap keniscayaan. Tidak tanggung, pada Pemilu 2009 jumlah peserta mencapai 48 partai politik, dan Pemilu 2019 kemarin diikuti 16 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh.
Dinamika Politik
Kini genap 21 tahun kita menapaki era reformasi dan sudah melaksanakan empat kali Pemilu langsung. Namun, praktis sistem pemerintahan presidensialis belum berjalan efektif, Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus kebijakan eksekutif yang tersandera oleh DPR.
Pasca KPU dan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019, partai politik tanpa malu meminta jatah menteri. Bahkan manuver pertemuan Gondangdia tidak lepas dari upaya mengimbangi pertemuan Megawati-Prabowo yang dinilai menurunkan posisi tawar partai politik pengusung. Situasi ini membuat presiden berada dalam posisi sulit, berkompromi agar mempunyai sokongan maksimal partai politik atau bersikap ajeg dalam menjalankan hak prerogatifnya.
Hal krusial lain menyangkut Pemilu 2019 yang dilakukan serentak. Tentu masuk akal alasan MK mengabulkan permohonan Pemilu serentak mendorong efek ekor jas (coattail effect) raihan suara pemilihan presiden seiring hasil pemilihan legislatif. Presiden terpilih kemudian memiliki legitimasi penuh karena dipilih rakyat secara langsung dan didukung partai politik pengusung di DPR.
Persoalannya kemudian, MK menolak gugatan presidential threshold 20%. Padahal konsekuensi dari Pemilu serentak seharusnya mensyaratkan presidential threshold tidak berlaku lagi. Esensi dari Pemilu adalah rakyat mempunyai hak langsung memilih pemerintahan yang berkuasa dan wakil rakyat di DPR setiap lima tahun sekali. Partai politik pemenang suara mayoritas pada pemilu kali ini, pada Pemilu lima tahun berikutnya mungkin saja menjadi minoritas. Karena itu, menerapkan ambang batas pencalonan presiden di Pemilu 2019 dengan menggunakan hasil Pemilu 2014 merupakan sebuah anomali.
Inkonsistensi Pemilu serentak dengan presidential threshold 20% terbukti menuai kekecewaan. Bukan sekadar menutup pintu bagi setiap kader partai politik terbaik untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden, kebijakan ini juga memperuncing segregasi sosial. Pada perkembangan dinamika politik sekarang memang samar-samar terdengar wacana peninjauan ulang UU Pemilu. Tetapi ada semacam tukar-tambah; presidential threshold diturunkan asalkan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen juga diturunkan.
Pemilu serentak secara prinsipil semestinya menghilangkan presidential threshold sehingga membuka kesempatan semua partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Namun parliamentary threshold harus dilihat dalam kerangka penyederhanaan jumlah partai politik.
Diktum Scott Mainwaring menyebutkan sistem pemerintahan presidensialis tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Presiden terpilih kendati dipilih mayoritas rakyat berpotensi selalu kesulitan memperoleh dukungan mayoritas legislatif. Memang diktum Scott tidak bisa ditelan bulat-bulat, apalagi kita memiliki sejarah kelam pembatasan partai politik di era orde baru.
Hak warga negara untuk mendirikan partai politik peserta Pemilu tetap diberi keleluasaan, namun mereka harus konsisten membubarkan diri atau bergabung kepada partai politik lain kalau tidak lolos parliamentary threshold. Menaikkan parliamentary threshold berdampak pada terjadinya penyederhanaan partai politik secara alamiah. Karena itu, agar lolos parliamentary threshold kelembagaan partai politik dituntut untuk serius dalam melakukan fungsi artikulasi, agregasi kepentingan publik, kaderisasi, serta pendidikan politik.
Lebih jauh, rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN tidak relevan. Pembatasan masa jabatan presiden dan pemilihan presiden langsung menuntut seorang presiden terpilih untuk merealisasikan visi dan program kerja sesuai janji kampanye. Persoalan kontinyuitas pembangunan yang dikhawatirkan sebetulnya sudah dijawab oleh UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Jadi yang urgen dilakukan sekarang adalah menata ulang sistem kepemiluan dan kepartaian, bukan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi yang justru menganulir sistem pemerintahan presidensialis.
Penulis adalah peneliti Lingkar Studi Transformasi Kebijakan