Tidak perlu gelar ilmu politik berderet-deret untuk bisa menebak ke arah mana pemerintah Joko Widodo akan melangkahkan kakinya. Sejak awal ia adalah kandidat oligarki, terlepas dari besarnya andil masyarakat sipil yang memuluskan lajunya ke istana.
Ideologi Joko Widodo adalah investasi, korupsi, pengerukan SDA ugal-ugalan, impunitas, dan kesewenangan aparat. Dengan piawai rezimnya memanfaatkan keluguan dan oportunisme masyarakat sipil (alias pendukungnya di Pilpres 2014) untuk mempreteli capaian demokrasi dan membatalkan checks and balances, seraya menormalisasi kriminalisasi dan kekerasan.
Buku Ben Bland menjulukinya man of contradictions – pemimpin penuh kontradiksi, lahir dari masyarakat yang juga paradoks. Namun, apa yang disebut Bland dengan ‘kontradiksi’ di tubuh kepemimpinan Joko Widodo nyatanya konsisten membawa kita ke tepi otoritarianisme, dan kini, terjun ke dalamnya. Ingat, ada perbedaan mencolok antara ‘kontradiksi’ dan hipokrisi. Antara pragmatisme dan inkompetensi dibalut hasrat berkuasa yang tak kenal keadaban publik. Tidak ada lagi apologia yang memadai untuk menutupi kenyataan ini.
Senin (5/10) kemarin pada esensinya menandakan serangan yang kesekian terhadap keselamatan publik. Tidak cukup dengan herd immunity bertajuk “protokol kesehatan dengan syarat dan ketentuan berlaku” ala pemerintah, tidak puas dengan UU Minerba serta pengebirian Mahkamah Konstitusi dan KPK, pun tidak berhenti pada pencalonan sanak famili Presiden untuk tahta kepala daerah, setelah dikebut sedemikian rupa, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja. Usai sudah penantian Joko Widodo yang berulang kali memaksa, mendesak dan memerintahkan agar UU ini rampung sesegera mungkin.
Undang-Undang Cipta Kerja, seperti sering disampaikan, sangatlah bermasalah. Mulai dari proses pembahasan yang serba rahasia, asumsi peningkatan investasi yang keliru, dan pemangkasan hak pekerja. Belum lagi substansi yang jarang dibawa sebelumnya ke muka publik: diam-diam rezim bermaksud membabat habis kewenangan pemerintah daerah (Gubernur, Bupati) atas kendalinya terhadap sumber daya dan proses politik di daerah yang jadi salah satu mandat reformasi (UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah).
Segala izin prinsip, penentuan lokasi, kajian lingkungan hidup, penetapan jenis tanaman yang hendak diusahakan, hingga penataan ruang kota, desa, wilayah pesisir hingga kelautan, semuanya ditarik kembali ke pusat. Praktis daerah hanya disisakan tugas untuk mengawasi dan memberi masukan kepada presiden (perubahan UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU Kelautan dalam UU Cipta Kerja). Boleh jadi memang Pilkada didorong terlaksana demi mulusnya agenda rezin untuk memegang penuh hak atas pengelolaan sumber daya Indonesia yang melimpah; toh beberapa calon kepala daerah yang akan berlaga akhir tahun ini masih punya hubungan darah maupun pertautan kuat dalam koalisi partai politik pendukung presiden.
Tanpa tedeng aling-aling, Presiden hendak mengakhiri kekuasaan politik daerah yang sejatinya jadi penanda berakhirnya Orde Baru. Kepala daerah yang dipilih oleh warganya sendiri tak lagi punya makna sebagai otoritas yang menjamin pembangunan dan kesejahteraan warga. Semua harus seizin sang paduka di pusat kekuasaan.
Kebangkrutan Gagasan Masyarakat Sipil
Pengesahan mendadak UU Cipta Kerja sontak disambut amarah warga. Buruh melancarkan mogok kerja di Bandung, Sidoarjo, Karawang, Purwakarta, hingga Serang. Demikian pula elemen mahasiswa berbagai daerah sigap turun ke jalan. Bentrokan dengan aparat terjadi dimana-mana. Media sosial dipenuhi caci maki buat parlemen dan pemerintah. Terngiang kembali memori September 2019, saat ratusan ribu tumpah ke jalanan menyerukan #ReformasiDikorupsi.
Lantas, apa tawaran masyarakat sipil di tengah momen ini?
Seperti sinetron yang mudah ditebak jalan ceritanya, lagi-lagi masyarakat sipil banyak membuang waktu dengan memusatkan gempurannya ke parlemen. Mengusung #MosiTidakPercaya, tentu sambil diiringi lantunan Efek Rumah Kaca, penggubah soundtrack “perlawanan” di seantero nusantara selama satu dekade terakhir. #MosiTidakPercaya? Kalau ternyata tuntutannya terkabul, apakah otomatis masyarakat sipil kembali percaya?
Menggagas tajuk gerakan suam-suam kuku memang telah lama jadi playbook gerakan masyarakat sipil, khususnya yang bermukim di ibukota. Persoalannya, di tengah situasi serba mencekam akibat COVID-19 dan kebrutalan aparat, dekadensi masyarakat sipil tiba pada tahap kronis. Ada kebangkrutan gagasan yang meluas, yang jika dibiarkan, dapat berujung pada kehancuran gerakan itu sendiri.
Kita mulai dari kekeliruan yang paling sederhana sekaligus paling fatal. UU Cipta Kerja diajukan oleh Joko Widodo ke DPR. Dengan kata lain, UU itu lahir dari inisiatif pemerintah, bukan DPR. Walhasil, ngotot menuntut Perppu untuk UU yang diinisiasi oleh pemerintah sendiri adalah langkah konyol, kalau bukan naif. Kita semua tahu Joko Widodo bahkan tidak mengabulkan tuntutan Perppu KPK yang diusung #ReformasiDikorupsi untuk membatalkan revisi UU KPK dari DPR, lalu untuk apa dia mengeluarkan Perppu bagi produk UU yang jajarannya rancang sendiri?
Usai ditipu mentah-mentah pasca #ReformasiDikorupsi, sebagian masyarakat sipil sekali lagi menyodorkan muka untuk diludahi dengan mengajukan Judicial Review atau meminta Perppu. Saat parlemen jadi sansak warga, Pemerintah tinggal leha-leha, menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan kontroversial, dan menunggu begawan-begawan masyarakat sipil sowan ke Istana meminta Presiden menjadi penyelamat dunia. Merasa tuntutannya telah “diakomodasi”, perlawanan mengendur, tapi mesin oligarki terus bekerja mengamankan posisi sambil merepresi mereka yang masih pasang badan. Hal inilah yang membuat gerakan #ReformasiDikorupsi tahun lalu lekas padam.
Heran. Di dunia film, bergantung pada deus ex machina untuk memungkasi plot cerita acap dianggap sebagai buah kemalasan dan kemiskinan kreativitas. Sebaliknya di kancah masyarakat sipil Indonesia, ritual bersimpuh pada konsep satria piningit justru sedang kencang-kencangnya, bahkan setelah dianiaya rezim selama bertahun-tahun. Entah lugu entah oportunis, mungkin dua-duanya. Jika ada penghuni rumah yang bersedia berunding dengan maling di ruang tamunya sendiri, kemungkinannya hanya ada tiga: tidak punya keberanian, bodoh, atau memang dia bagian dari komplotan maling tersebut. Tiga-tiganya tidak bisa ditolerir.
Keteledoran kedua bermuara pada kegagalan masyarakat sipil untuk menempatkan UU Cipta Kerja dalam konteks yang tepat. Prioritas oligarki – pemilik sah pemerintahan Joko Widodo – tidak jauh-jauh dari akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Oleh sebab itu, UU Cipta Kerja semestinya dipandang sebagai manuver terbaru, dan bukan manuver satu-satunya dari oligarki. Ia harus diposisikan berurutan dengan revisi UU KPK (untuk menghabisi penghambat proyek oligarki), Perppu Corona (memanfaatkan chaos pandemi untuk bagi-bagi uang tanpa risiko gugatan di kemudian hari), UU MK (konsolidasi politik-hukum), dan pelaksanaan Pilkada yang dipaksakan (demi menempatkan oligark dan antek-anteknya di daerah). Jika dipadukan dengan pemretelan wewenang daerah di UU Cipta Kerja, kombinasi ini menandakan evolusi dan sentralisasi kekuasaan oligarki di tubuh politik Indonesia.
Opera oligarki seyogyanya akan dilanjut dengan revisi UU Pemilu, yang diwacanakan ingin menaikkan parliamentary threshold hingga 7%. Jika lolos, maka konsekuensi logis menuntut hilangnya partai-partai kecil di parlemen, sehingga mendorong merger dan penyederhanaan partai. Sedikitnya jumlah partai mungkin sering diandalkan sebagai solusi modernisasi politik. Namun, di politik yang katanya tak mengenal konsep oposisi, yang bakal muncul cuma despotisme dan parlemen boneka.
Kedua kegagalan ini akhirnya menghasilkan gerakan sipil tak bertaji. Analisanya kopong, responnya tanggung. Mudah dikooptasi, mudah pula demoralisasi. Kebangkrutan gagasan ini sayangnya juga diiringi kebangkrutan moral. Masyarakat sipil ibukota nampak santai-santai saja melibatkan warga luas, pelajar dan mahasiswa untuk ikut dalam sirkus mereka. Giliran bentrokan pecah di jalan-jalan, mereka sibuk cari muka dan cari aman. Sejarah mencatat betul respons masyarakat sipil tahun lalu, ketika lima orang mati di jalan dan ratusan mahasiswa ditahan polisi tanpa kejelasan. Apa yang dilakukannya saat itu? Bikin konser.
Hari ini, slogan #MosiTidakPercaya sesungguhnya lebih cocok untuk dialamatkan pada kelompok masyarakat sipil tersebut. Mereka yang hanya sibuk mengkapitalisasi keresahan publik dan mendaurnya kembali menjadi paduan suara sumbang tanpa arah tujuan. Jika ingin membuahkan terobosan, gerakan yang mekar hari ini tak boleh lagi mengulang kesalahan tahun lalu, yakni mendaulat eksponen masyarakat sipil sebagai ujung tombak dan juru bicara mereka
Cabut Mandat Reformasi
Kebobrokan rezim telah dirasakan banyak warga lewat pengesahan UU bermasalah, dimatikannya upaya anti-korupsi, represi aparat, dan manuver memupuk kuasa oligarki lainnya. Kemarahan warga yang membuncah, termasuk hari-hari ini, adalah momentum kritis yang tepat untuk terjadinya perubahan. Berbagai macam tuntutan perubahan yang mengambang dan tak kokoh hanya akan membuat gerakan tersebut berakhir pada nasib yang sama.
Seruan paling masuk akal yang perlu dilantangkan saat ini adalah: Joko Widodo – Ma’ruf Amin beserta segenap jajaran kabinetnya harus disingkirkan. Sebagai maskot oligarki Indonesia, ia merupakan eksekutor semua bencana yang kini melanda Republik ini. Ini adalah fakta tak terbantahkan. Kita bahkan tak perlu membaca ratusan halaman UU Cipta Kerja. Kenyataan bahwa kita sudah tujuh bulan dicekik pandemi tanpa penanganan serius semestinya cukup untuk mencabut mandat warga yang ada pada dirinya. Kita harus mulai terang-terangan menyuarakan: tak akan ada keselamatan selama Joko Widodo masih berkuasa. Tarik mandatnya segera.
Mencabut mandat Joko Widodo tak cukup jika berujung pada penunjukan pion oligarki baru di posisinya. Kita harus melangkah lebih jauh. Jika kita menyepakati seluruh konstelasi politik hari ini lahir dari mandat reformasi, yang gagal menghadirkan pemenuhan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, demokrasi, dan keadilan, maka yang perlu kita batalkan seluruhnya adalah mandat reformasi itu sendiri.
Reformasi 1998 lahir dari keinginan untuk berkompromi dengan momentum revolusioner saat itu. Kemarahan warga diredam oleh lengsernya Soeharto, penyelamatan ekonomi via deregulasi, dan Pemilu 1999. Hasilnya adalah perombakan sistem, instalasi prosedur demokrasi – kebebasan sipil, dan pendirian lembaga-lembaga pengawalnya, baik di level negara maupun masyarakat. Namun, seperti kita ketahui, elit Orde Baru sendiri relatif tidak tersentuh dan bangunan ekonomi-politiknya segera mengkonsolidasikan diri. Dua puluh tahun setelahnya, capaian reformasi telah mandek sama sekali, bahkan mundur teratur.
Selain disebabkan oleh reorganisasi oligarki yang cekatan, penyebab lainnya adalah kegagalan masyarakat sipil memanfaatkan reformasi untuk bertempur di ruang-ruang yang disediakan demokrasi. Reformasi dianggap “tuntas”, berada dalam jalurnya, dan yang tersisa tinggal upaya untuk mempertahankannya. Sebab itu, masyarakat sipil mendapuk diri menjadi watchdog moral-prinsipil dari segala dinamika politik, tanpa bersedia terlibat lebih jauh secara kolektif. Sedari awal, pola ‘perjuangan’ defensif-moralis ini memang hanya akan berakhir di rilis dan konferensi pers. Aspirasi politik maksimalnya adalah menitipkan cita-cita di pundak politisi “yang berasal dari sipil” dan bukan bagian dari Orde Baru. Tanpa disadari, reformasi yang mereka jaga sebenarnya tak lebih dari gencatan senjata, dan nilai-nilai yang jadi klausul gencatan itu sudah dilanggar berkali-kali.
Masyarakat sipil dan bermacam kegagalannya tersebut juga lahir dari amanah reformasi. Maka sudah sewajarnya mandat reformasi yang ada pada dirinya pun turut dicabut. Sebab baik ia dan politik oligarkis sama-sama punya andil dalam karamnya demokrasi. Kehadirannya tak lebih dari penghambat gerakan untuk beranjak ke level yang lebih tinggi.
Supaya kembali relevan, gerakan masyarakat sipil perlu membersihkan diri dari mental kompromistis, pencari keuntungan material dan sosial dari gerakan warga, dan mereka yang merasa diri berjasa di gelanggang perjuangan masa lalu sehingga berlagak paling berhak jadi nakhoda perubahan. Menarik garis demarkasi dengan kaum reformis-kompromistis tak lagi memadai, saatnya merebut secara aktif ruang gerak mereka. Hadang manuvernya, delegitimasi posisinya, kucilkan operatornya. Hanya dengan membuat patahan radikal inilah jalan ke depan bisa diretas.
Masa depan warga dan negara dipertaruhkan di hari-hari penting ini, karenanya kita tidak bisa lagi mengulangi kesalahan gerakan reformasi maupun kelompok masyarakat sipil yang lampau. Reformasi Indonesia telah berakhir, saat ruang demokratis lenyap satu-satu dan oligarki leluasa berkuasa. Sudah waktunya kita semayamkan jasadnya. Tak perlu lama-lama menangisi kepergiannya. Sebab esok hari, kita perlu sambut era baru yang menggantikannya.
Selamat jalan reformasi, saatnya revolusi.