‘Mengakali’ Konstitusi ala Kakanda Menteri Investasi

Bukan Menteri Investasi (Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal), Bahlil Lahadalia, kalau tidak tampil ke publik dengan pesan – pesan sensasional. Sudah dua kali ‘Kakanda’ di hadapan publik menyorongkan ide terkait penundaan atau perpanjangan masa jabatan presiden. Padahal ia sendiri masih jadi seorang ‘petugas’ kabinet yang seharusnya sibuk membenahi peringkat kemudahan berinvestasi.
Demonstrasi mahasiswa menolak wacana Tiga Periode Jokowi

Ia juga tampak acuh dengah Presiden Joko Widodo per 5 April 2022, yang melarang para menteri untuk berbicara mengenai urusan penundaan dan urusan perpanjangan jabatan. Terakhir, Kakanda kembali melempar isu Jokowi tiga periode pada acara Malam Puncak HUT ke-56 KAHMI per 17 September 2022.

Penyampaian narasi ataupun wacana yang kerap kali diucapkan oleh pejabat publik model Bahlil mesti segera dihentikan. Walaupun sering dibalut dengan kelakar, parahnya, narasi serta wacana tersebut bahkan berlindung dibalik dalih demokrasi, konstitusi, dan hak atas kebebasan berpendapat. Persoalan ini menjadi terang bagi publik bahwa argumen yang diucapkan oleh Menteri Investasi telah menunjukan kualitasnya sebagai pejabat publik yang gagal memahami konsep demokrasi, konstitusionalisme serta hak asasi manusia.

Hal tersebut setidaknya dapat kita teliti dari argumentasi-argumentasi Bahlil yang pada berbagai kesempatan berbicara mengenai isu 3 periode masa jabatan atau penundaan pemilu.

Pertama, Bahlil mengatakan: “Tapi saya pikir bahwa kita harus mengacu konstitusi, selama konstitusi kita begitu jangan kita buat gerakan tambahan. Terkecuali konstitusi berubah baru kita melakukan gerak tambahan.” Argumen dengan jenis ini jelas sekali jauh dari konsep konstitusionalisme yang pada pokoknya sebagai paham yang meletakkan pembatasan kekuasaan atau penyelenggaraan kekuasaaan sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya (Jimly Asshidiqie, 2006).

Kedua, mirisnya, argumen Bahlil tersebut dibangun dengan menempatkan publik sebagai benteng terakhirnya. Seakan-akan situasinya yang hendak dibangung oleh Bahlil kira-kira demikian; ‘jika publik menghendaki amanden konstitusi UUD 1945 dengan memasukan pasal mengenai perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu, maka itu adalah hal yang konstitusional.’ Dengan cepat argumen kacangan ini dapat dibalikan dengan bersandar pada ungkapan umum yang sering kita dengar dari Lord Acton; Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely!

Walaupun Bahlil membentengi argumennya dengan melibatkan ‘kehendak publik’, ia tidak serta merta mendapatkan legitimasi. Sebab, prinsip konstitusionalisme juga tidak membenarkan bahwa kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu dilaksanakan melalui the rulling of the mob. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD  1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Frasa ‘dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, menurut Prof. Laica Marzuki merupakan unsur yang mengandung prinsip konstitusionalisme (Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, S.H., 2009)

Amandemen konstitusi menjadi langkah pamungkas yang hendak disiapkan oleh pendukung ide 3 peridoe masa jabatan presiden atau penundaan pemilu sebagai langkah yang bisa melegitimasi wacana yang kental dengan motif kehausan untuk berkuasa. Padahal sejatinya demokrasi menghendaki adanya sirkulasi kekuasaan dengan itikad agar kekuasaan tidak berjalan secara absolut dan secara alamiah tidak boleh ada seseorang atau sekelompok orang menguasai orang lain dalam waktu lama.

Bahkan ketika suatu konstitusi itu tidak mengatur atau membolehkan masa jabatan kekuasaan lebih dari dua kali, maka warga harus membatasi atau mengakhiri kemutlakaan suatu kekuasaan (Haris Azhar, 2022).

Ketiga, pada awal tahun 2022, Bahlil sempat menyatakan bahwa dunia usaha menyetujui Pemilu Presiden diundur dari tahun 2024. Argumen ini semakin memperlihatkan bahwa Bahlil sebagai pejabat publik dan bagian dari pemerintah mudah sekali untuk dikendalikan oleh dunia usaha. Hal ini diangkat bukan dengan maksud menyajikan perdebatan antara pro atau kontra antara paham proteksionisme dan perdagangan bebas. Namun, lebih untuk menunjukan bahwa mundurnya atau menyingkirnya peran pemerintah dari peran aktivis (activist role) pembangunan ekonomi rupanya justru menghancurkan agenda pembangunan itu sendiri (Herry Priyono, 2004).

Hal ini berkaitan dengan tupoksi Bahlil sebagai Menteri Investasi itu sendiri. Alih-alih menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; bagaimana signifikansi dari iklim investasi di Indonesia dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya pengentasan kemiskinan rakyat Indonesia secara umum? Apakah investasi yang masuk ke Indonesia sudah benar-benar memperhatikan environmental ethics atau bagaimana Menteri Investasi mengorkestrasikan tegangan antara serbuan modal yang masuk dengan fakta di lapangan yang dengan dalih investasi dan pembangunan kerap kali menyingkirkan masyarakat adat, perempuan, serta kelompok rentan lainnya?

Namun, sebaliknya, Bahlil lebih sibuk untuk berbicara isu seputar pemilu. Pasalnya, sederet pertanyaan di atas lebih urgen untuk dijawab apalagi dengan kondisi warga yang semakin terhimpit dengan naiknya kebutuhan hidup mulai dari harga BBM, harga bahan pokok dan kebijakan lainnya yang tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli yang sepadan. Lalu ke mana larinya manfaat dari terbukanya keran investasi yang digadang-gadang demi pembangunan ekonomi bagi masyarakat?

Jika alasan dunia usaha hendak menunda pemilu demi adanya stabilitas ekonomi- politik maka tidak bisa kesimpulan solusinya bermuara pada hal yang prinsip dengan menggadaikan konstitusi dan prinsip demokrasi. Semakin relevan untuk menjawab pertanyaan itu dengan melontarkan pertanyaan balik berkaitan dengan tupoksi Bahlil sebagai Menteri Investasi; kebijakan publik macam apa yang diambil pemerintah atau spesifik pada Kementerian Investasi untuk menjamin stabilitas ekonomi-politik?

Jika tidak ada maka sah-sah saja jika kita berkesimpulan bahwa Bahlil sebagai Menteri mandul untuk melahirkan kebijakan publik yang dapat menjawab stabilitas ekonomi- politik, kalau tidak mau disebut  sebagai ‘pengepul dana investasi.’

Lebih parahnya, argumentasi Bahlil yang seakan berlindung di balik ketiak dunia usaha justru memperlihatkan dengan terang bahwa gejala ‘state capture’ makin menggila yang mana menjelaskan bahwa cara-cara para pelaku bisnis untuk menentukan aturan main (legislasi, hukum, peraturan, dekrit) dengan menyuap para pejabat pemerintah (Herry Priyono, 2004). Indikasi ini semakin terlihat jelas ketika Bahlil meneriakkan yel-yel “lanjutkan” di acara HUT ke-50 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang berlangsung pada 10 Juni 2022.

Fenomena narasi serta wacana 3 periode masa jabatan atau penundaan pemilu sebenarnya berakar dari ketidaktegasan Presiden Jokowi untuk mengambil sikap yang disinyalir juga disebabkan nihilnya pengetahuan presiden kita mengenai prinsip demokrasi, konstitusionalisme serta hak asasi manusia. Bahkan, instruksi Presiden kepada jajaran kabinetnya untuk berhenti mengucapkan wacana tersebut juga seakan dianggap hanya buih- buih verbal dengan melihat fakta masih bandel Menteri Investasi.

Ketidakpahaman Presiden juga dapat kita lihat dari argumentasinya saat diwawancari oleh Karni Ilyas dalam rangka HUT ke-77 RI. Presiden Jokowi selain menanggapi persoalan kebebasan/demokrasi yang baginya sudah sangat liberal, ia juga mengegaskan kembali bahwa ia tidak sepakat dengan wacana masa jabatan 3 periode. Namun ia mengatakan bahwa sah-sah saja jika para relawan terus mendorong wacana itu.

Pernyataan tersebut semakin menggenapi ungkapan bahwa sang presiden memang sebagai Man Of Contradictions. Sikap yang berbeda ia tunjukan pada tahun 2018 di saat periode akhir masa jabatannya yang pertama, ramai kala itu gaungan #2019gantipresiden. Ketika wacana hastag tersebut ramai dan mendapat larangan dari kepolisian maka Presiden Jokowi berlindung dengan dalih bahwa larangan itu demi menjaga ketertiban dan keamanan. Ia juga mengungkapkan bahwa “Ya negara ini negara demokrasi. Bebas berkumpul, berpendapat, ya ya. Tapi ingat ada batasannya. Yaitu aturan-aturan.”

Jika kita kaitkan argumentasi terakhirnya di atas, maka jelas situasinya yang hendak dibangun seperti ini; “selama wacana yang dibangung demi kepentingan dan kebaikan Presiden dan kelompok pendukungnya, maka lindungi dengan dalih kebebasan berpendapat plus aturan pada level konstitusi pun siap untuk diubah. Sebaliknya, bila wacana yang merugikan maka larang dengan dalih; demokrasi ada batasnya.”

Dengan demikian, kondisi ini seharusnya menjadi alarm bagi kehidupan publik kita karena ternyata ada pejabat publik yang berkelakar dan menyampaikan pesan di sekitaran konsep demokrasi, konstitusionalisme dan hak asasi manusia namun berkebalikan serta malahan melenceng dari konsep-konsep tersebut.

Kelakar ala Bahlil ini tidak bisa dianggap remeh sebab ia sendiri adalah seorang pejabat publik, yang menggambarkan kiranya bagaimana watak pegawai – pegawai presiden yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik; bukan kepentingan politik praktis semata.

 

*) Fian Alaydrus adalah peneliti di Haris Azhar Law Office