Memelihara Kesungkanan, Mengistimewakan Diskriminasi

Mengapa kebijakan kepemilikan tanah yang diskriminatif di Yogyakarta masih terus dipertahankan?
Sultan Ground untuk rakyat (Pidjar.com)

Pada 2016, Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan bahwa 56% penguasaan tanah di Indonesia hanya dikuasai oleh 0,2% penduduk. Tanah sebagai bagian dari alat produksi dan barang sosial tentu memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Bukankah ketimpangan kepemilikan tanah ini tak ubahnya kecelakaan yang mengerikan?

Implikasi ketimpangan kepemilikan tanah adalah ketimpangan ekonomi. Di tahun yang sama, BPS menyebutkan bahwa 1% penduduk Indonesia menguasai 49,3% kekayaan nasional. Buku Muhtar Habibi “Surplus Pekerja dan Kapitalisme Pinggiran” menjelaskan bahwa munculnya pekerja informal yang jumlahnya mencapai 71 juta orang ini antara lain akibat dari petani yang kehilangan tanahnya.

Para petani yang kehilangan tanah mau tidak mau harus masuk sektor informal untuk bertahan hidup. Padahal kita sama-sama tahu jaminan akan hak-hak dasar amat rentan statusnya dalam kerja informal. Rumah yang ditempati pada umumnya berada di daerah kumuh. Selain itu, pekerjaan mereka juga tidak mengakomodasi pendapatan yang pasti, lebih-lebih jaminan kesehatan.

Ketimpangan tersebut sesungguhnya bisa dicegah, mengingat kita punya pemerintah yang punya kuasa untuk menetapkan regulasi atas kepemilikan tanah. Pemerintah dari level pusat hingga daerah dapat memulai dengan, misalnya, berpikir dua kali perihal investasi yang dalam praktiknya belum tentu menjamin kemaslahatan warganya.

Yogyakarta kini merupakan daerah dengan ketimpangan ekonomi tertinggi kedua di Indonesia. Soal tanah juga demikian, daerah ini menempati posisi ketiga harga tanah tertinggi di Indonesia. Namun, Yogyakarta juga merupakan contoh bagaimana pengelolaan tanah yang ada sudah keliru sejak dalam pikiran.

Kesadaran akan ketimpangan dan perlunya perlindungan atas kepemilikan tanah sebenarnya sudah dimiliki daerah ini. Namun pengambilan kebijakannya justru salah kaprah. Alih-alih menjadikan kelompok ekonomi sebagai basis pengelolaan atas ancaman ketimpangan kepemilikan tanah, malah etnisitas dan ras yang dijadikan tolak ukur.

Contohnya dapat dilihat pada Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 tentang pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi, yang ditandatangani Pakualam XII. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) yang risau warganya kehilangan hak atas lahan seyogianya paham bahwa apa yang sejatinya mengancam warga bukanlah komunitas etnis tertentu. Tapi Pemda masih saja mempertahankan aturan pertanahan yang diskriminatif terhadap etnis dan keturunan Tionghoa, sekaligus membangun wacana bahwa peraturan tersebut adalah upaya melindungi warga yang lemah.

Pertanyaanya adalah: bagaimana bisa menyimpulkan bahwa semua kepemilikan tanah oleh keturunan Tionghoa mengancam warga kelas bawah? Nalar yang sehat tentu dengan mudah menganggap hal tersebut keliru. Atau jika kita tanya kembali: apa hubungannya kemampuan ekonomi dengan etnis seseorang? Mencari jawaban atas pertanyaan tersebut di seluruh kolong langit pun tidak akan ketemu. Bagaimanapun juga stigma atas etnis Tionghoa tidak bisa dijadikan landasan bagi sebuah kebijakan publik.

Diskriminasi macam ini memang bukan hal baru di Indonesia. Bertahun-tahun setelah peristiwa pembunuhan etnis Tionghoa yang memakan korban hingga 10.000 orang, paling tidak ada tiga kebijakan diskriminatif yang diinisiasi oleh kolonialisme di Indonesia. Pertama, orang Tionghoa ditempatkan di kampung yang terpisah dari etnis lain, atau disebut wijkenstelsel. Kedua, orang Tionghoa harus mempunyai surat jalan jika hendak bepergian, aturan ini disebut passenstelsel. Ketiga, penggolongan kelompok masyarakat menempatkan etnis Tionghoa dalam rumpun Asia Timur.

Dalam lintas zaman setelah Indonesia merdeka, dapat kita temui berbagai kebijakan rasis terhadap etnis Tionghoa. Cap yang diberikan Belanda dengan stempel pribumi dan non-pribumi yang secara langsung berimplikasi bahwa pribumi selalu baik nan benar dan sebaliknya untuk non-pribumi, menjadi legitimasi atas kebijakan yang rasis. Parahnya, 73 tahun setelah Indonesia merdeka, hingga kini diskriminasi tersebut pun masih ada saja.

Warga DIY entah sadar atau tidak, sudah terlanjur terbudaya untuk sungkan dan mengikuti apa pun yang diinginkan oleh pihak keraton. Lantaran masih kuatnya hegemoni feodal yang menyatakan bahwa keraton adalah perwakilan pemimpin yang diutus Tuhan pada mereka.

 

Ruwetnya Aturan Tanah DIY

Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa DIY adalah bagian dari Indonesia, dengan sejarah yang mengikuti isi perjanjian Giyanti 1751 yang memisahkan antara Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Urusan pertanahan Yogyakarta awalnya diatur dengan keluarnya Rijksblad No.16 Tahun 1918. Dalam Rijksblad antara lain ditetapkan bahwa tanah yang tak bertuan menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Tanah itu disebut sebagai Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG). Dalam Rijksblad disebutkan juga mengenai tanah anggadhuh dan anganggo, yang diterjemahkan dalam bahasa pertanahan sebagai hak pinjam pakai dan hak memakai. Anggadhuh salah satunya adalah tanah kas desa yang dipakai para petani di pedesaan DIY. Setelah Indonesia merdeka, tanah ini kemudian diatur lebih jauh lagi melalui Perda DIY No.5/1954 tentang Hak Atas Tanah.

Aturan-aturan diatas lahir sebelum Undang-undang Pokok Agraria (UPPA) No. 5 Tahun 1960 yang mengatur pertanahan di seluruh Indonesia. Hingga pada tahun 1984 keluar Kepres No. 33 yang menegaskan bahwa UUPA berlaku secara penuh di DIY. Ini didukung oleh Perda No. 3 yang menyatakan hal serupa

Namun kenyataan berkata lain, diskriminasi rasial pertanahan diberlakukan melalui Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975. Pemberlakuan itu beberapa tahun lalu makin ditegaskan lewat surat Sekretaris Daerah DIY nomor 593/00531/RO.I/2012 yang dikeluarkan tanggal 8 Mei 2014. Dalam surat itu, Pemda DIY menyatakan Instruksi Kepala Daerah 1975 masih berlaku sebagai affirmative policy guna melindungi warga pribumi agar kepemilikan tanah tidak beralih kepada warga atau pemodal yang secara finansial memiliki kemampuan lebih atau kuat.

Padahal dalam UUPA semua warga negara diberi hak yang sama atas tanah. Tak peduli ia keturunan etnis Tionghoa, Arab, atau India, jika ia menjadi warga negara Indonesia maka haknya sama dengan yang lain. Pembatasan hak atas tanah dalam UUPA diatur bukan berdasarkan keturunan etnis, melainan dari kelas ekonomi. Dan bagaimana bisa sebuah kebijakan disebut affirmative policy jika ternyata ia tidak memberikan perlindungan untuk warga kelas bawah?

Dalam tesis yang ditulis Tihara Seto Sekar, mahasiswa Magister Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, “Problematika Surat Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi di Yogyakarta” disebutkan bahwa affirmative policy diatur dengan jelas jangka waktunya. Selain itu affirmative action juga baru bisa dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, berangkat dari riwayat upaya legal penghapusan instruksi ini, ada banyak kebingungan yang timbul saat kita berusaha mengidentifikasi jenis produk hukum dari instruksi ini. Dalam gugatan yang diajukan Handoko, seorang mantan pengacara LBH Semarang, MA menilai instruksi ini bukan termasuk produk perundang-undangan seperti yang telah diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan. Akibatnya, MA merasa tidak berhak untuk menguji materi instruksi tersebut.

Padahal MA pernah menguji materi Surat Edaran Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi yang notabene kekuatan hukumnya dibawah Perda Kabupaten/Kota, seperti yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011. Tak berhenti disitu, Handoko menganggap Instruksi Kepala Daerah 1975 adalah diskresi, kebijakan yang dilakukan oleh orang yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu permasalahan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Namun, gugatan Handoko juga tidak diterima karena menurut hakim Instruksi Kepala Daerah 1975 bukanlah sebuah diskresi.

BPN RI bahkan sempat menegur BPN DIY dengan memberikan salinan perundang-undangan yang mengatur soal pertanahan pada 16 November 2016. Namun BPN DIY memilih bersikukuh mengikuti Instruksi Kepala Daerah No. K.898/I/A/1975 dan mengabaikan instruksi BPN RI hingga hari ini. Padahal BPN DIY seharusnya mematuhi BPN RI, mengingat garis hirarki berikut status dirinya selaku kepanjangan tangan BPN RI.

Bukankah ini adalah hal yang ganjil? Bagaimana bisa suatu aturan yang kekuatan hukumnya luar biasa besar, sampai-sampai BPN DIY lebih memilih mematuhi instruksi tersebut daripada hirarki diatasnya, namun identitas hukumnya sendiri masih belum jelas hingga kini.

Lepas dari hal diatas, Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 mestinya telah melarang penggunaan label pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah. Pelarangan ini juga diatur kemudian dalam Undang-undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sehingga sebetulnya sudah tidak ada alasan untuk meneruskan Instruksi Kepala Daerah 1975.

 

Mencurigai Agenda Keistimewaan dalam Pertanahan

Undang-undang No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) menjadi dalih untuk tidak menerapkan UUPA di DIY. Wacana untuk menghidupkan kembali Rijksblad No.16 Tahun 1918 pun dapat kita lihat dari turunan UUK. Misalnya Peraturan Gubernur No.112/2014 tentang inventarisasi tanah Kasultanan dan Kadipaten. Termasuk di dalamnya adalah inventarisasi tanah kas desa.

Hadirnya Pergub No.112/2014 menggugurkan Pergub No.65/2013, yang menyatakan bahwa inventaris tanah kas desa diselenggarakan untuk dan oleh pemerintah desa. Sedangkan Pergub No.112/2014 menyatakan inventaris tanah kas desa untuk dan oleh Kesultanan, seperti halnya tercantum dalam Rijksblad No.16 Tahun 1918.

Akibatnya, para petani penggarap tanah kas desa terancam beralih profesi ketika tidak ada yang bisa menjamin hak mereka untuk terus bertani di tanah kas desa. Tak hanya itu, Pergub No.112/2014 juga bertolak belakang dengan Undang-undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Padahal UUK sendiri tidak lebih tinggi dari UUPA. Posisinya juga tidak seluas apa yang diatur oleh UPPA, sebab UUK hanya mengatur Sultanaat dan Pakualamanaat Ground, bukan pertanahan secara umum.

Ketika kesadaran masyarakat atas haknya memperoleh ruang hidup yang adil masih minim, ditambah dengan kuatnya hegemoni feodalisme DIY, ketika itu juga penguasaan tanah di DIY akan selalu timpang. Berbagai upaya hukum untuk menggugat peraturan pertanahan yang tidak berpihak pada rakyat kecil selalu kandas. Bukan karena argumentasi hukum yang lemah. Namun, sekali lagi, karena kuatnya hegemoni feodalisme itu tadi

Kuatnya hegemoni ini bisa dilihat dari tanggapan masyarakat Yogyakarta atas Instruksi Kepala Daerah 1975. Jejak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi UNY, menunjukan bahwa diskriminasi pada warga negara non-pribumi masih dinilai masyarakat sebagai bagian dari perlindungan pihak Kraton pada mereka.

Untuk menyaingi hegemoni tersebut, kita bisa belajar dari Gramsci soal kontra hegemoni. Dibutuhkan dua hal dalam kontra hegemoni; dominasi dan kepemimpinan intelektual. Dominasi bisa kita mulai dengan mewacanakan ulang kesetaraan hak atas kepemilikan tanah dengan berbagai kanal media. Kepemimpinan intelektual pun harusnya mudah dilakukan ketika Yogyakarta, kota pelajar itu, memiliki banyak kampus; tempat yang umumnya disinggahi kaum intelektual.

Apa bisa kita diamkan kalangan ningrat yang bisa memiliki tanah seluas-luasnya dengan dalih keistimewaan, dan kemudian mengkambinghitamkan etnis lain sebagai penyebab ketimpangaan penguasaan atas tanah? Tentu saja tidak.