Ketika pertama kali mendengar tentang S. Rukiah Kertapati, saya ingin memaki diri sendiri: ke mana aja woy! Namun jika boleh mengajukan pembelaan—ehem nirfaedah ehem—saya mewakili jutaan orang di generasi saya yang suam-suam kuku soal sastra Indonesia era S. Rukiah. (Suam-suam kuku di sini artinya sulit menyebutkan nama penulis sastra lainnya selain Pramoedya Ananta Toer, apalagi perempuan #kesedihanini.) Maka penerbitan ulang tiga buku S. Rukiah oleh Ultimus—Kejatuhan dan Hati, Tandus, dan Pak Supi Kakek Pengungsi—harus diapresiasi. Kerja tim penelitian, editor, dan penerbit, juga para pendukungnya perlu saya sebutkan di sini, karena tanpa mereka, saya, kita semua pembaca buku awam versi panas-dingin ini, akan kesulitan mendapatkan akses terhadap karya-karya S. Rukiah. Salut!
Tulisan pendek ini tidak akan memberikan sinopsis atau plot dari semua buku S. Rukiah ini, juga tidak akan mengulang pengantar Tim Editor maupun pengantar Eka Kurniawan yang tentu saja bisa dibaca kalau pembaca semua membeli buku ini (yak promosi, silahkan mampir ke kanal Ultimus). Tapi sebagai pembaca awam—alias bukan pengamat sastra, juga bukan kritikus atau penulis fiksi—izinkan saya berbagi pengalaman membaca ketiganya.
Jika boleh jujur, membaca Kejatuhan dan Hati bukanlah pengalaman penuh riang gembira. Sesungguhnya tidak sampai membuat saya tersedu-sedu, tapi tidak mau menyangkal juga kalau novel pendek ini membuat saya jadi sendu dan melankolis sekali. Novel ini dimulai dengan sebuah pesan soal cinta, pesan terakhir seseorang yang diingat oleh sang Aku (yang nantinya diketahui adalah kekasihnya); tentang berpikir praktis dalam romantika, kasih sayang dan kepanjangan-kepanjangannya. Dari kenangan sang narator itulah kemudian cerita berlanjut, tidak cuman soal kisah cinta, tapi juga peliknya hubungan keluarga, pertemuan watak-watak yang saling kontras, dilema revolusi dan ekses-eksesnya, dan yang paling penting, konflik batin seorang perempuan dalam menghadapi kontradiksi antara “logika-logika” di dalam gerakan dengan kemauan hati pribadi.
Perjalanan perasaan maupun pemikiran sang narator dalam Kejatuhan dan Hati membuat saya turut menghayati persoalan-persoalan yang cukup memusingkan. Sang Aku, sebagai anak paling bungsu, melihat kedua kakaknya menjalani kehidupan yang berbeda. Hubungannya dengan sang ibu pun membuatnya memikirkan banyak hal, sejauh apa ia harus berontak, seberapa mungkin ia dapat melepaskan kungkungan ekspektasi ibunya. Ia seperti limbung, ingin keluar dari tuntutan-tuntutan ibunya namun juga tidak ingin memilih pilihan saklek kedua kakaknya. Di tengah perjalanannya, ia bergabung dengan palang merah, bertemu dengan mereka yang mengklaim perjuangan revolusi, dan menjalin hubungan asmara dengan pemimpin gerakan. Sang Aku gelisah, keikutsertaannya dalam gagasan revolusi bercampur aduk dengan harapannya soal kasih sayang yang lengang, pun cita-cita akan keluarga.
Dari segala persinggungan itu, kesenduan saya tertancap pada satu hal: keheningan sang Aku. Mungkin pembacaan ini bisa dibilang lucu, karena sudut pandang novel adalah sang Aku yang sepertinya bebas mengungkapkan banyak hal. Pikirannya menumpuk, perasaannya gamang, keyakinannya sering kali digusarkan oleh banyak hal di luar dirinya. Kita sebagai pembaca dapat menangkap itu semua. Namun hingga akhir cerita, sang Aku sebenarnya adalah sosok yang tertutup, ia mengunci rapat hal-hal yang sejujurnya ingin ia ungkapkan. “Hampir dua tahun selama revolusi ini aku pergi membuang diri dari keluarga, dengan keinginan mau membuang perasaan.” “Kusimpan, dan kutekan sambil berdiam.” “Itu sebabnya aku diam.”
Membaca kalimat-kalimat serupa, saya jadi seperti membaca diam-diam sebuah buku harian yang sangat pribadi. Sang Aku bukan tak memiliki suara, bukan juga tak berdaya, namuna ia merasa dan menimbang dalam diam. Tak jarang ia menyatakan bahwa pria yang jadi lawan bicaranya merendahkan hal-hal yang ia rasakan. Tak jarang juga ia lebih memilih tak berkonfrontasi dengan argumen yang tidak sepenuhnya ia setujui. Mungkin saja ini sebuah kelemahan, sebuah sikap konformis yang membuat sang Aku bukanlah “tokoh” yang ideal. Namun justru di sinilah kekuatan watak sang narator yang memang dominan dalam novel ini: tanpa menjadi vulgar dan berisik, ungkapan pikiran dan perasaan narator sepenuhnya jujur. Pengamatannya tajam, namun ia tidak selalu punya opini penuh pengertian. Justru dalam kebingungan antara pilihan-pilihan hidup, ia menyimpan kepasrahan, dan dari situ kita bisa melihat kekuatan yang subtil dalam diri sang Aku sebagai perempuan yang terombang-ambing di antara pergolakan zaman. #emoticonmewek
Perasaan melankolis membaca Kejatuhan dan Hati sedikit luruh ketika saya mulai membaca syair-syair dan cerita-cerita S. Rukiah dalam Tandus. Meskipun narasi besar soal pertemuan antara rasio-rasa, saya merasa lebih kuat membacanya. Dalam “Lagu buat Saudara”, misalnya, saya melihat sebuah posisi sikap yang tegas bahwa perjuangan pun tak lekang dari gundah rasa.
Bila hidup sudah tidak tahu lagi kemenangan
atau tidak kenal akan cahaya dalam hari-hari gembira
engkau biasa mengajak aku
pulang saja ke tempat yang dulu
meninggalkan rumah dan kamar yang koyak-koyak
…..
…..
Bagaimana cara menghunus pedang serta menyapukan darahnya sekali di baju kita?
Posisi ini menurut saya juga hadir di beberapa sajak lainnya seperti “Sahabat Ku”, “Antara Menunggu”, dan “Layar Hitam”. Saya tentu tak sepenuhnya punya landasan utuh soal memahami sajak S. Rukiah, namun sebagai pembaca awam yang menyukai keindahan dan kekuatan liris, saya merasa beruntung sekali bisa membaca karya-karya beliau. Kekuatan dan kelembutan membaur, dan bagi saya pribadi, sajak-sajak S. Rukiah membuat saya banyak berpikir dan merasa soal menjadi diri dalam pergulatan (baik yang sehari-hari maupun dalam situasi politis). Kesukaan saya, “Kenangan Gelita”, mungkin dapat menjadi rangkuman keindahan maupun sikap sajak-sajak S. Rukiah:
Cuma di sini
masih ada yang mau aku katakan:
Engkau memang diburu, tapi bukan pelarian
aku memang di penjara, tapi bukan manusia kurungan
Kita bukan orang pelarian yang
masing-masing tidak punya satu dunia
YAAAASSSSS!
Saya menutup rangkaian pembacaan saja terhadap karya S. Rukiah dengan kisah Pak Supi: Kakek Pengungsi. Dalam acara peluncuran buku ini di Komnas HAM Maret lalu, paling tidak saya menangkap bahwa penerbitan buku Pak Supi juga untuk menunjukkan kemajemukan karya-karya S. Rukiah. Sebagai sebuah cerita anak, Pak Supi menampilkan sepotong fragmen tentang suramnya realitas. Sekelompok anak di Desa Sukarapih kasak-kusuk tentang Pak Supi, dan pertemuan langsung mereka dengan Pak Supi justru membuka karakter Pak Supi sebenarnya yang berbeda dari apa yang mereka pikir. Namun kesadaran itu tak langsung berakhir tenang. Ada konflik-konflik di dalam masyarakat desa yang membuat Pak Supi harus berhadapan dengan para penguasa.
Saya tak tahu apakah orang tua pada umumnya, dengan segala optimisme akan kenyataan hidup, bersedia memberikan jenis bacaan semacam ini kepada anaknya. Namun menurut saya, buku ini justru menjadi penting. Ia tidak cuma politis menunjukkan serpihan kisah dalam sejarah, tapi juga menyajikan kisah dengan karakter-karakter yang berkembang. Sebagai pembaca, perjalanan para karakter membentuk rasa empati dan, jika tidak berlebihan, menaruh bibit-bibit solidaritas. Cara S. Rukiah merangkai dan mempertemukan karakter, dengan bahasa dan ungkapan eskpresif sehingga membuatnya mudah dicerna, berhasil mengekspos hal-hal penting yang sering kali disembunyikan oleh orang tua. Lewat kisah Pak Supi, pembaca anak maupun dewasa diajak untuk mengamati hal-hal tidak hanya dari kulit luarnya, penuh kesangsian dan berdasarkan rasa takut. Justru keberanian untuk menyapa, berbicara, serta kemauan untuk melihat dan mendengar, membawa perjalanan anak-anak dalam Pak Supi kepada panggilannya sebagai manusia dalam perjalanan sejarah.
Membaca ketiga buku S. Rukiah ini adalah pengalaman yang sejatinya cukup membuat saya banyak berpikir tentang penulis-penulis perempuan Indonesia. Butuh waktu hening untuk benar-benar mencerna tulisan-tulisan beliau. Bukan karena sulitnya bahasa, atau padatnya cerita. Namun karena tulisan beliau membuat saya, mungkin juga pembaca sejawat lainnya, kembali berpikir soal-soal apa yang sering kita abaikan dari perasaan. Kacamata tradisi rasionalitas dengan selimut maskulinitas seakan-akan membuat perasaan menjadi musuh rasio dan akal budi. Namun S. Rukiah, dalam usahanya “mendamaikan” rasio dan rasa, tidak vulgar mentah-mentah menciptakan narasi antagonisme. Dengan penuh kekuatan sekaligus kelembutan, S. Rukiah mempertemukan dan mengiris keduanya: rasio-rasa adalah keniscayaan bersama. Karya-karya S. Rukiah adalah bukti akan premis tersebut. Dan tidakkah sekarang pun kita, seperti S. Rukiah, masih terus bertanya, tentang merah, tentang kasih sayang?
Eunike Gloria adalah pelahap buku yang rutin menuangkan pengalaman membacanya disini. Beliau dapat dihubungi di twitternya: @eunikeglr