Golongan Putih (golput) mendapatkan tempat yang lebih besar dalam perdebatan Pemilihan Umum 2019. Hal ini jauh berbeda dibandingkan pemilu 5 tahun sebelumnya karena banyaknya kelompok pro-demokrasi yang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Lima tahun lalu justru banyak orang yang sebelumnya golput menjadi pemilih untuk pertama kali karena ancaman terpilihnya Prabowo dan menjanjikannya figur Jokowi.
Wacana golput di Pemilu kali ini menguat ketika banyaknya janji Jokowi yang tidak terpenuhi, terutama terkait Hak Asasi Manusia dan demokrasi. Wacana ini semakin menguat ketika banyak yang kecewa tatkala Jokowi memilih berpasangan dengan Ma’ruf Amin, tokoh yang terkait dengan berbagai tindakan intoleransi.
Golput Sebagai Hak
Hak untuk memilih dan dipilih sendiri merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini diatur dalam UUD NRI 1945 (Pasal 28D ayat 3), UU Hak Asasi Manusia (Pasal 23 ayat 1), dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 25). Memilih atau dipilih bukan kewajiban atau bukan sesuatu yang bisa dipaksakan kepada pemegang hak. Indonesia juga bukan merupakan negara yang mewajibkan warga negaranya untuk memilih. Hal ini berbeda dengan 30 negara yang mewajibkan memilih (compulsory voting), dan hanya 13 negara yang memaksa orang untuk memilih dengan dikenakan sanksi.
Pendukung golput memosisikan hak untuk tidak memilih sama dengan hak sipil dan politik lain. Misal, dalam hak atau kebebasan berbicara dan berpendapat (freedom of speech) maka di dalamnya juga terdapat hak untuk tidak berbicara (freedom not to speak). Begitupun dengan hak untuk berekspresi, berorganisasi dan berkumpul, berpartisipasi dalam partai politik, dan hak sipil dan politik lainnya. Sehingga terhadap hak tersebut tidak bisa dipaksakan kepada pemegang hak.
Di Indonesia, golput seringkali disamakan dengan setiap orang yang tidak menggunakan hak suaranya, baik karena alasan politis maupun apolitis. Banyak juga yang berpendapat bahwa golput yang apolitis karena malas datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memilih berlibur tidak dapat dikategorikan sebagai golput. Golput dianggap harus berangkat dari sikap politik dan punya tujuan politik. Tapi bukankah apolitisnya masyarakat sendiri dapat dikarenakan oleh sesuatu yang politis, terutama akibat gagalnya sistem politik? Dengan demikian, malas datang ke TPS karena menganggap pemilu tidak pernah bisa mengubah nasib seseorang juga sebetulnya merupakan hal yang politis.
Golput karena tidak puas dengan calon yang tersedia, muak dengan sistem politik elektoral yang dibentuk, dan bahkan tidak sepakat dengan sistem demokrasi yang ada jelas merupakan golput yang politis. Golput tipe inilah yang sekarang ini banyak mengemuka dan menjadi perdebatan di Indonesia. Golput seperti ini bahkan dianggap mengancam calon tertentu jika belajar pada pemilu presiden di Amerika.
Golput dan Kampanye Golput
Tidak ada satupun ketentuan perundang-undangan yang melarang golput dan mengampanyekan golput, termasuk UU Pemilihan Umum. Dan tentunya tidak ada pidana yang dapat dikenakan terhadap kedua tindakan tersebut. Anehnya, banyak yang meyakini bahwa golput adalah tindak pidana dan mengajak orang atau mengampanyekan golput bisa dipidanakan. Tidak heran sebagian orang menjadi gamang untuk menyatakan dirinya golput, apalagi mengajak orang untuk golput.
Kekeliruan mengenai pidana terhadap golput atau orang yang mengampanyekan golput terkadang dikemukakan oleh orang yang berpendidikan, politikus, atau orang yang mengklaim dirinya aktivis. Menurut saya hal ini adalah berita bohong (hoax) yang patut disejajarkan dengan hoax mengenai tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos, karena sama-sama menimbulkan efek yang cukup signifikan terhadap kesadaran masyarakat. Entah dasar hukum apa yang digunakan oleh para penyebar hoax tersebut.
Perlu diingat, terkait tidak digunakannya hak pilih, yang dilarang oleh UU Pemilu adalah perbuatan yang sengaja menyebabkan orang kehilangan hak pilihnya (Pasal 510). Tindakan yang dapat dikenakan pasal ini misalnya; seorang majikan atau pengusaha yang memaksa buruh untuk bekerja sehingga ia tidak bisa menggunakan hak pilihnya.
Lalu ada tafsir ngawur terhadap pasal ini, yaitu kampanye golput diartikan sebagai tindakan sengaja yang menyebabkan seseorang kehilangan hak pilihnya. Padahal mengampanyekan atau mengajak golput tidak menyebabkan seseorang kehilangan hak pilihnya. Hak pilih mutlak masih ada pada orang yang diajak untuk golput. Dan keputusan untuk memilih atau tidak memilih masih melekat pada orang tersebut.
Selain itu yang dilarang oleh UU Pemilu adalah menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih, baik dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan kekuasaannya (Pasal 511). Membayar atau melakukan money politics agar seseorang tidak menggunakan hak pilihnya, juga dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana (Pasal 515 dan Pasal 523 ayat 3).
Jika ada larangan mengampanyekan golput, justru hal tersebut merupakan pelanggaran hak untuk berpendapat dan berekspresi yang telah dijamin dalam UUD NRI 1945 (Pasal 23 ayat 2 dan 3, UU Hak Asasi Manusia (Pasal 23), dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Pasal 19). Terlebih jika ada kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap seseorang yang golput atau mengampanyekan golput.
Pada tahun 1999, seorang aktivis HAM di Belarusia dihukum karena mengampanyekan untuk tidak memilih dan dianggap sebagai orang yang tidak demokratis. Tahun 2004, Komite HAM PBB (United Nations Human Rights Committee) memutuskan bahwa hukuman tersebut melanggar kebebasan berekspresi, dan kampanye atau deklarasi yang dilakukan oleh aktivis tersebut tidak mempengaruhi hak pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu. Belarusia kemudian diwajibkan memberikan pemulihan, kompensasi, dan diwajibkan untuk mencegah pelanggaran serupa kembali terjadi (Leonid Svetik v. Belarus, Communication No. 927/2000).
Golput Politis
Banyak yang berpendapat bahwa golput tidak punya gagasan atau alternatif atas kondisi yang ada, sehingga para pemilih tidak akan mengubah apapun dengan golput. Hal ini tentunya tidak berdasar karena banyak golput yang saya ketahui punya gagasan yang luar biasa. Sejarah gerakan golput di Indonesia bahkan lahir dengan gagasan tanding yang kuat. Namun harus diakui memang gerakan golput saat ini belum terkonsolidasi dengan baik sehingga gaung mengenai gagasan alternatif tidak terlalu terdengar dan daya tawarnya pun juga sangat lemah.
Lalu apa yang harus dilakukan pemilih golput politis setelah absen di Pemilu 2019? Menurut saya, para pemilih golput yang kecewa dengan calon yang tersedia tapi masih percaya dengan sistem politik saat ini harus terlibat mendorong calon-calon masa depan yang dianggap lebih baik, lalu menyiapkan kendaraan politik untuk calon-calon pilihannya. Golput yang tidak sepakat dengan sistem politik elektoral saat ini tentunya akan pesimis dengan hal tersebut karena sistem politik elektoral sekarang akan sulit memunculkan calon-calon terbaik. Banyak sistem yang menjadi kendala; misalnya peraturan yang menyulitkan pembuatan partai politik, presidential threshold yang tinggi, tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden independen, sistem partai yang tidak transparan dan feodal, tidak adanya mekanisme recall dari konstituen terhadap wakil rakyat, tidak diakuinya golput dalam surat suara, dan berbagai hal lain.
Golput yang tidak percaya pada sistem politik elektoral saat ini harus menguatkan konsolidasi untuk mendorong perubahan sistem politik elektoral. Konsolidasi yang kuat merupakan modal untuk mengubah sistem politik elektoral baik dengan gerakan sosial, advokasi kebijakan, maupun advokasi hukum. Kelompok status quo dan oligark akan melindungi sistem saat ini karena di dalam sistem politik elektoral terkandung pengamanan kekayaan para oligark. Lebih lanjut perlu diingat pendapat Jeffrey Winters dalam Oligarki (2011) yang mengatakan bahwa pemilu, sistem pemerintahan yang bebas dan partisipatif, bahkan revolusi sekalipun belum tentu mampu menghilangkan oligarki. Partisipasi aktif harus menyasar stratifikasi material sehingga kekayaan oligark dapat menyebar. Harus fokuskan diri melawan oligarki karena oligarki merupakan penghalangan pemenuhan hak asasi manusia, penyebab ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan juga berada di belakang berbagai peristiwa intoleransi di Indonesia.
Golput yang tidak percaya dengan politik elektoral, melainkan kepada aksi langsung dan demokrasi langsung, tentunya tidak terlalu memikirkan pemilu. Pekerjaan paling besar bagi kelompok ini tentunya adalah untuk meluaskan ide mengenai demokrasi langsung dan membangun solidaritas untuk bertahan dari gempuran negara yang dikontrol oleh oligark. Praktek terbaik demokrasi langsung harus muncul ke permukaan sehingga masyarakat tidak bergantung kepada segelintir orang yang dipilih melalui pemilu.
Siapapun yang terpilih tentunya tidak akan menghentikan kita untuk bersikap kritis. Berbeda dengan pandangan pemilih atau politisi yang beranggapan bahwa golput tidak punya hak untuk mengkritisi pemerintahan dan wakil yang terpilih. Padahal hak untuk berekspresi, berpendapat, berpartisipasi dalam pembangunan tidak gugur karena tidak menggunakan hak pilih. Pemerintah dan wakil rakyat terpilih bertanggungjawab menjadi pelayan semua warga negara, bukan hanya kepada warga yang memilih. Tidak pula hanya melayani warga yang memilih dirinya. Segala kebijakan wakil dan pemerintah terpilih pasti mempengaruhi seluruh warga negara sehingga siapapun berhak untuk mengkritisi.
Akhir kata, semoga #SmackQueenYaQueen golput.
Alghiffari Aqsa adalah seorang pengacara. Ia juga Mantan Direktur LBH – Jakarta untuk periode 2015 – 2018.