Buat saya dan banyak kawan yang memilih golput pada Pemilu 2019 ini, pemilu yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi ini tak lain adalah pestanya oligarki (khususnya di sektor industri ekstraktif). Meski demikian, Hendropriyono mengatakan Pilpres 2019 tak sekadar pemilu tapi pertarungan ideologi Pancasila vs Khilafah. Jujur saja, pernyataan sang mantan petinggi BIN tersebut terdengar menggelikan. Kita tahu PBB, partai pimpinan Yusril Ihza Mahendra yang secara ideologis adalah islamis yang merupakan metamorfosis partai Masyumi, juga ada di barisan pendukung Jokowi.
Tak hanya itu, sejumlah aktivis juga menghembuskan kabar bahwa pemilu kali ini adalah pertarungan antara Kuasa Baik vs Kuasa Jahat; Toleransi vs Intoleransi; NKRI vs Khilafah; Sukarnois vs Suhartois; Multikulturalisme vs Monokulturalisme. Bahkan kata mereka, bila Jokowi kalah Indonesia akan terjatuh menjadi negara gagal seperti Syuriah. Pokoknya kalau Jokowi kalah Indonesia akan di-Syuriah-kan atau diubah menjadi negara Islam. Pernyataan semacam ini telah beredar luas di media sosial, yang tentu saja tak jauh beda dengan Hendropriyono, tidak berdasar pada fakta konkret yang ada. (Soal ini saya akan mengulasnya tersendiri di lain kesempatan).
Mereka hendak membangun dikotomi antara Yang Baik dan Yang Jahat. Seolah-olah ada kubu Pandawa di satu sisi dan kubu Kurawa di sisi lainnya yang tengah beradu pedang di padang Kurusetra. Seolah-olah pilpres 2019 seperti jihad jaman para rasul yang ada garis batas yang tegas antara Yang Hak dan Yang Batil. Tak heran buat mereka, Jokowi-Ma’ruf adalah simbol Pancasila dan toleransi di Indonesia. Simbol kerukunan umat beragama yang harus diperjuangkan dan dibela. Sementara Prabowo-Sandi simbol intoleransi dan sumber perpecahan di Indonesia. Anda tak perlu tertawa dengan propaganda politik ini. Inilah faktanya.
Untuk mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, Anda cukup ketik nama: Ma’ruf Amin/MUI/Pelarangan gereja, atau Ma’ruf Amin/MUI/Ahok, di google, Anda akan tahu sendiri jawabannya. Maha benar google dengan segala jejak digitalnya. Nah kalau Prabowo? Tak usah kita bahas di sini. Ia sejak semula adalah elitnya elit dan pelanggar HAM berat. Jokowi memang bukan pelanggar HAM berat, tapi ia memaklumkan penggusuran paksa, perampasan tanah disertai intimidasi dan kriminalisasi masyarakat untuk proyek jaringan infrastruktur transportasi dan energi di Indonesia.
Lagi-lagi bagi kami, Pilpres 2019 adalah pertarungan Bohir vs Bohir serta manifestasi pesta oligarki. “Siapapun yang menang, rakyat tetap kalah”, demikian kata kawan saya Bilven. Namun kali ini saya tak akan mengomentari persoalan NKRI vs Khilafah dan segala rumor politik borjuis yang penuh tipu muslihat, atau turut dalam perdebatan demokrasi. Nanti akan kita sediakan ruang khusus untuk mengulasnya dengan serius. Kali ini saya merasa terpanggil untuk mengomentari fatwa haram bagi golput. Itupun saya tak akan menanggapinya dengan terlampau serius. Mengapa? Ya untuk lembaga kumpulan kaum fanatis seperti MUI, kita tak perlu terlampau serius menanggapinya dengan beradu dalil agama. “Hei bung, ini abad 21. Iman penting, sangat penting, tapi ortodoksi dan fanatisme tidak kompatibel bagi peradaban dan kebudayaan yang kosmopolitan serba saling silang seperti sekarang. Ia adalah cerita usang yang dipaksakan untuk semua orang. Jadi, fatwa haram bagi golput saya anggap olok-olok kaum fanatis yang baiknya kita buat parodi di atas mimbar stand up comedy. Serius!” (yang ini saya 1000% serius ya akhi!).
***
Setelah Rocky Gerung membuat gaduh dengan gerakan akal sehatnya. Saya pikir kegaduhan akan segera reda. Rupanya menular. Agamawan plus ahli filsafat Magnis-Suseno turut latah mengumbar kata-kata kasar pada para golput. Seperti diakuinya sendiri, belakangan ia menyesalinya. Tak berselang lama keluar pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto yang mengancam akan mempidanakan golput. Bahkan ia mau memakai UU Terorisme untuk memenjarakan golput yang disebutnya sebagai “pengacau”. Ingat ya? Wiranto melabeli golput sebagai pengacau. Maklum anak ideologis fasisme orde baru.
Berulangkali Wiranto menekankan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang seharusnya bisa menghukum para pengacau alias para golputers. Ironinya, bila memang benar negara ini negara hukum kenapa tak bisa mengadili pelanggar HAM berat! Mengapa tidak bisa menangkap para pembunuh aktivis dan pembunuh Munir! Mengapa Jokowi tidak menuntaskan persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia? So, bila supremasi hukum hendak ditegakkan di negeri ini, maka yang harus ditangkapi duluan adalah para pelanggar HAM, bandit politik, dan koruptor yang masih bergentayangan di panggung politik 2019 dan merupakan pengacau sesungguhnya republik ini, bukan rakyat. “Situ ngaca dong, Pak Wir?” Siapa Pak yang pengacau? Istighfar Pak, ingat nama Anda akan dikenangkan sebagai apa kelak. Yang jelas bukan pahlawan rakyat.
Beginilah jadinya, sang pengacau menuding orang lain mengacau. Maling teriak maling kata pepatah yang entah.
Menurut saya ini yang paling menggelikan dari semua keculasan elit politik di negeri ini. Bayangkan, orang yang jelas-jelas pelaku pelanggaran HAM berat masih bisa mengancam mau menghukum rakyat! Inilah prestasi terbesar perjuangan para aktivis pejuang HAM pendukung Jokowi maupun Prabowo. Menjadikan para pelanggar HAM kembali ke panggung politik Indonesia.
Eit, kita kembali ke MUI. Kita lompati saja membahas statemen Mega. Kita patut kasihan padanya. Sepanjang karir politiknya, ia berlindung di bawah ketiak bapaknya. “Ia memang anak biologis BK, tapi bukan anak ideologisnya” demikian jamak dikatakan banyak orang. Jadi tak usah terlalu banyak kita bahas di sini. Kasihan. Ia salah seorang golputers yang labil. Kini mengecam orang golput sebagai pengecut. Sepertinya ia juga lupa mengaca seperti Pak Wir! Tapi sudahlah ya, jangan paksa saya untuk membahas keculasannya di sini. Ya begitulah. Kasihan.
***
Belum lama ini beredar berita bahwa MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Meski demikian, kabar tersebut segera disanggah oleh salah seorang pejabat MUI, Ketua Bidang Fatwa Huzaimah, yang mengatakan bahwa MUI tidak pernah menerbitkan fatwa golput atau tidak memilih dalam pemilu adalah haram. Menurutnya, MUI hanya mengimbau agar masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019 dan membuat empat syarat yang harus dimiliki calon pemimpin yang diambil dari empat sifat Rasulullah yaitu sidiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (aspiratif dan komunikatif), dan fatonah (cerdas atau memiliki kemampuan). Ini anjuran paling ilusif yang pernah saya dengar di dalam iklim demokrasi pasar. Tentu saja menggelikan. Hari gini menganjurkan memilih pemimpin yang jujur dan tidak menyebar hoax? Tahan dulu jangan ketawa. Nanti Anda dikira anti Islam. Bahaya!
Berbeda dengan pernyataan ketua Bidang Fatwa MUI. Calon wakil presiden nomor urut 01 yang juga petinggi MUI, Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengharamkan golput sejak 2009 melalui Ijtima’ Ulama di Padang Panjang, Sumatera Barat. Menurut pengakuannya, fatwa tersebut juga sudah disosialisasikan pada Pilpres 2014 lalu.
Jadi, kalau banyak ilmuwan politik sekarang gemar mengulang-ulang pernyataan hingga klise bahwa banyak terjadi politisasi agama untuk kepentingan politik, mereka lupa bahwa MUI adalah contoh paripurna bagaimana agama dipolitisir untuk kepentingan modal dan penguasa. Ia adalah contoh terbaik dari apa yang dikatakan oleh Althusser sebagai alat aparatus ideologis negara. Ya iyalah, lembaga produk orde baru! tugas dan fungsinya adalah memberi stempel bagi berlangsungnya struktur kuasa yang menindas untuk terus menindas.
***
Jadi begini, terkait dengan fatwa haram bagi golput oleh MUI, saya kok tiba-tiba ingin merasa umuk, kemaki, ujub, takabbur, sombong, congkak, dan sok-sok-an ngaku-ngaku relijius. Sebenarnya kalau boleh jujur, saya rugi mengklaim relijius di negeri mabok agama seperti NKRI ini. Sebab ini menurunkan level atau maqam saya setara dengan para nasionalis relijius NKRI harga mati. Bahkan istri saya sendiri telah mengingatkan, “masyarakat kita bukan makin relijius, tapi makin fanatis. Itu dua hal yang berbeda!” Oke saya sepakat.
Apalagi kata relijius sendiri sekarang tak ada lagi maknanya, kehilangan aura keramatnya. Lihat saja, politisi yang ditangkapi KPK semuanya adalah kaum nasionalis relijius. Bahkan ketua partai Islam berlambang Ka’bah. Memang terdengar ganjil. Tapi semua itu bisa dicari akarnya. Setelah peristiwa berdarah gorok-gorok leher orang di tahun 65-66, kesadaran historis orde baru menegasi semua warisan orde lama dengan mengganti narasi nasionalisme yang tumbuh mekar dalam taman solidaritas internasionalisme yang dibangun Bung Karno, dirontokkan semua diganti dengan narasi kebangsaan: nasionalisme relijius. Tujuannya tak lain untuk memutus kesadaran sejarah orde lama yang dianggap kekiri-kirian, kurang syar’i dan tentu saja tidak relijius diganti dengan cerita agung tentang surga lokanya Gusti Allah dalam terang peri kehidupan sosial politik di Indonesia. Mereka mau bilang, kini jaman kami, jaman beragama. Hidup dalam naungan ridla Allah, tidak seperti sebelumnya. Uniknya, di luar jangkauan pikir mereka, justru kini gusti Allah diobral murah untuk stempel tambang, dan perampasan tanah rakyat. Klop: nasionalis relijius plus NKRI Harga mati! Inilah jadinya.
***
Saya sebenarnya enggan dianggap relijius, meski faktanya beberapa orang menganggap demikian. Sederhana saja, mungkin untuk ukuran kawan saya yang kurang relijius, saya dianggap relijius. Namun bagi mereka yang ahli ibadah (abid), justru seringkali saya diolok-olok atau dikategorikan liberal. Jadi ini hanya murni soal ukuran. Tapi untuk menanggapi arogansi MUI, biarkan saya mengatakan pada Anda bahwa saya pernah dianggap relijius. Meski definisi relijius sendiri salah kaprah dan saya pertanyakan.
Anda boleh percaya, boleh tidak. Boleh menganggap saya relijius atau tidak. Tak jadi soal. Saya tak rugi dan tidak peduli. Bullshit dengan label itu. Tapi, sedikit cerita. Mungkin karena saya diasuh dalam keluarga yang sangat ketat dalam beragama (Islam). Apalagi orang tua saya keduanya guru ngaji dan aktivis Islam, khususnya ibu saya yang sangat taat. Sampai sekarang, saya selalu merasa bersalah setiap melanggar perintah agama, meski ukurannya kecil. Misal— ini sangat sering saya lakukan—telat sholat sampai tiba waktu sholat lainnya. Tahu dengan kebiasaan saya sering lupa sholat tepat waktu, khususnya ketika di luar rumah, tiap kali telepon, ibu selalu mengingatkan satu hal yang tak pernah ia lupakan: “sholatlah tepat waktu, karena itu akan dihisab pertama kali kelak di akhirat. Siapa yang sholatnya baik, maka amal lainnya akan baik”. Saya tak pernah menyanggah pesan tersebut, setidaknya saya tak ingin melukai hati orang tua.
Sekali lagi saya ingatkan, Anda menganggap saya relijius atau tidak, tidaklah penting. Namun hingga sekarang saya selalu merasa bersalah setiap melalaikan sholat. Di dalam Islam hukumnya dosa. Untuk urusan ini tak ada perbantahan di kalangan Ulama. Mungkin karena inilah kawan-kawan saya menganggap saya relijius, meski terkadang dengan nada mengolok. “Hari gini masih percaya dosa. Dosa itu kalaupun ada”, kata Soleh kawan saya satu kosan semasa sekolah, “adalah perasaan bersalah karena telah dengan sengaja berbuat tidak baik atau zalim pada orang lain”. Oke, saya juga setuju dengan pandangan kawan baik saya ini.
Di Indonesia, ukuran seseorang relijius atau tidak adalah seberapa sering ia terlihat rajin sholat atau menjalankan ibadah mahdlah lainnya di masjid atau musholla, atau seberapa sering ia ikut majelis taklim. Jadi, yang dijadikan parameter saleh dan relijius bukanlah komitmen seseorang pada kehidupan sosial yang lebih baik, tapi seberapa rajin Anda sholat. Makanya jangan heran, di Indonesia, sebrengsek apapun orang seperti Haji Muhidin di sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”, tetaplah dianggap relijius. Bahkan meski seandainya seseorang tersebut adalah maling. Apalagi kalau bertitel kiai, ustad dan pernah haji. Berani mengkritiknya? Anda mau dianggap musuh Islam? Berat ‘kan!
Membicarakan relijiusitas personal di tengah malapetaka sosial sebenarnya adalah kesia-siaan. Kurang ajar. Bahkan bisa dilihat sebagai kegagalan beragama. Saya sadar soal itu. Tapi kita tak perlu repot-repot menganalisanya di sini. Kita tak sedang bicara hal ihwal yang teoritis dan njlimet. Ini murni soal sesuatu yang absurd dan memuakkan di negara yang menyebut dirinya demokratis, nasionalis, dan apa? Ya, betul, relijius!
Intinya, setelah mendengar Ma’ruf Amin bilang golput haram (dan otomatis berdosa),saya mendadak ketagihan ingin terus menerus melakukan tindakan berdosa dengan golput sampai pencoblosan tiba. Kebayang ‘kan betapa besar dosa kita yang golput; telah didakwa merusak tatanan demokrasi oleh kaum ultranasionalis, dan dianggap membahayakan masa depan sosialisme oleh para kiri takfiri pemegang kunci kebenaran sabda Lenin. Bayangkan ya akhi, betapa pedihnya nanti nasib kita di akhirat kelak. Dikutuk di dunia, dirajam di neraka. Para golput akan meronta-ronta kesakitan pantatnya disunduti malaikat pakai besi panas karena di dunia telah berbuat dosa melanggar fatwa MUI dan mengerjakan perbuatan haram.
Sementara para pejabat MUI yang telah memberi stempel halalan thayyiba pada bisnis tambang batubara sebagai bisnis syar’i yang sesuai dengan prinsip-prinsip maqasid al syariah (tujuan dari syariah), tertawa cekikikan bersama Luhut di surga melihat nasib para golput di neraka, “rasain lho, siapa juga yang suruh kalian golput, kapokmu kapan? tuman! mending ikut kami. Jaya di dunia, jaya di surga!” Bisa dipastikan mereka di sorga bakal menggelar pesta dengan anggur dan wanita. Ya surga gitu lho! Jangan kalian pikir ada yang haram. Semua yang dulu haram sekarang menjadi halal semua. Pasti ada anggur dan sex-nya. Mereka mengulangi lagi kisah manis, berbagi kebahagiaan sebagaimana yang pernah mereka lakukan di dunia. Sementara itu para golput yang sebagian besar aktivis dan masyarakat korban pembangunan masih demo di neraka dan menangis merintih karena digamparin malaikat akibat perbuatan mereka di dunia, memilih golput di Pilpres 2019.
Berat memang menjadi golput. Kalau tak kuat biar Bilven dan Alghif saja yang menanggungnya. Kalian jangan. Resikonya dunia dan akhirat.
Tapi, jangan pernah lupa berbahagia dan berdoa pada Allah swt, siapa tahu Allah berbelas kasihan pada hambanya yang teraniaya. “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah swt” seperti pesan al-Qur’an. Tak dapat surga tak masalah. Memang Anda mau masuk surga satu kamar dengan para pejabat MUI, Luhut, Wiranto, atau Sandiaga Uno? Serem ‘kan bayanginnya? Sekarang tak usah ngoyo, dapat surga alhamdulillah, tak dapat selow saja. Lebih baik di emperan surga saja ketimbang satu kamar dengan para bigot agama, penindas rakyat dan perusak lingkungan. Yang penting, lagi-lagi seperti pesan al-Qur’an, “jadikanlah sabar dan sholat sebagai pegangan hidup Anda”. Bagi yang sholat.
Kalian tak usah emosi hanya sekedar disebut pucuk tai oleh Alit Ambara, atau diolok-olok pengecut oleh Mega dan dituding mengidap gangguan mental dan berperilaku tak sedap oleh Romo Magnis. Anggap saja kegembiraan dalam berpolitik. Apalagi Romo Magnis. Anda tahu sendiri, sang Romo tak sedap-sedap amat kalau bahas politik di Indonesia sejak peristiwa 65. Klise. Minus mallum andalannya. Mencegah yang terburuk untuk berkuasa. Uniknya, kita keblangsak terus.
Kalau Alit? Ah, khusnudzan saja pada kawan senior kita. Jangan gampang berburuk sangka. Ini hanya soal selera. Ia bilang begitu, karena memang ia tak suka pucuknya, terlalu minimalis. Ia ingin bonggolnya. Lebih sedap bos! Takbir! 3x. ***
(Tulisan yang dimuat di rubrik kolom merupakan opini pribadi penulis)