“Kita bisa membedakan perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik-baik dari penampilannya,” kata ibu sembari ia menancapkan jarum-jarum pentul di kerudung putihku.
Ia bilang perempuan baik-baik mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup, sedangkan perempuan tidak baik-baik doyan mengumbar badannya yang seksi dengan pakai rok mini. Perempuan baik-baik menghindari tempat-tempat remang dan tidak pernah pulang malam. Perempuan tidak baik-baik senang pulang menjelang pagi lewat gang-gang gelap yang sepi.
Obrolan itu bermula ketika kami mendengar berita bahwa Wulan, anak sulung tetangga sebelah, baru saja diperkosa di terminal angkot saat ia baru pulang kuliah. Katanya dia pakai baju ketat dan celana jeans.
‘Hanya perempuan yang tidak baik-baik yang mengalami pemerkosaan’ jadi kalau seorang perempuan diperkosa, pastilah ia bukan perempuan yang baik-baik, ia penggoda. Perempuan yang bukan perempuan baik-baik pantas menerima risikonya, pantas jika tidak dipercaya—pantas diperkosa.
Kata ayah perempuan korban pemerkosaan adalah perempuan hina, pencoreng nama baik keluarga. Hidupnya sudah tak ada harganya.
Eh, tapi aku anak perempuan yang baik-baik. Aku tak pernah pulang di atas pukul lima sore. Kalau pun aku terpaksa pulang malam dan ayah sedang tidak ingin menjemputku, aku akan menginap saja di rumah teman agar tidak diperkosa preman di pinggir jalan. Dengar-dengar pria memang sangat mudah terangsang. Sekali terangsang, mereka tak dapat dikendalikan dan langsung menerkam menyerang tanpa pikir panjang.
“Kayak Mpus ya, bu…,” Mpus suka mengeong dan berloncatan di genteng rumah kami berisik sekali kalau dia sedang kawin.
“Husss!”
**
Siang itu aku pulang mendapati ibu menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya. Aku mengintip saja, tak berani bertanya. Tak ada ayah, mungkin habis bertengkar. Aku acuh saja. Namun, tangis ibu selalu terdengar di siang hari hingga dua minggu berikutnya. Aku mulai curiga ayah memukuli ibu, seperti ayah Reni memukuli ibu Reni dan Reni hingga akhirnya ada tetangga yang melaporkannya ke polisi. Ah, aku mulai takut, aku takut nantinya akan dipukuli juga oleh ayah.
“Ayah memukuli ibu, ya?”, aku bertanya dengan nada amat pelan dan halus agar ibu tidak terkejut.
Ibu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya yang diusap dengan ujung daster batiknya. Ia memandangku lalu menggeleng.
“Ayo, ikut ibu ke pasar!”
Lalu ibu ganti baju. Aku sengaja tidak beranjak dari kamar agar bisa melihat bekas-bekas memar di tubuh ibu karena aku yakin ibu pasti bohong. Ibu membuka daster batiknya, BH-nya. Eh, betulan tidak ada memar. Berarti memang ayah tidak memukuli ibu. Syukurlah. Aku tak perlu takut kalau begitu. Mungkin memang sedang bertengkar saja. Aku memutuskan untuk tidak ikut campur.
Tidak sampai hari Jumat itu ketika aku pulang sekolah lebih awal. Aku sempat membeli bakso dulu untuk dimakan bersama ibu. Namun, baru satu langkah kakiku memasuki pintu, kudengar suara raungan tangis ibu. Keras sekali. Aku berlari menuju kamar ibu. Suara dipan berdecit-decit, aku tak berani langsung masuk. Aku mengintip dari sela pintu yang sedikit terbuka.
Eh, ayah. Ayah tidak memukul ibu. Ia hanya berada di atas ibu sambil bergoyang-goyang. Tapi mengapa ibu menangis? Aku mencoba mendongakkan kepalaku dengan jantung berdegub-degub kencang. Aku mendengar raungan ibu, air mata ibu membanjir—ibu nampak kesakitan. Ayah tak mengeluarkan suara apa-apa, hanya desah-desah nafas yang memburu. Lebih dari lima menit berlalu aku menyaksikan mereka, aku masih tak dapat mencerna.
Ayah mendapati aku sedang mengintip. Dia menuju pintu, aku terdiam kaku. Aku akan dipukul ayah. Jantungku berdegub lebih kencang serasa hampir meledug. Panas tubuhku meningkat, aku ingin mengusap keringat tapi tak berani bergerak. Ayah datang menujuku. Satu langkah lagi. Ibu menatapku dari atas kasur dengan mata nanar.
“Cklek..”
Ternyata ayah hanya menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Aku tidak dipukul ayah, ibu tak dipukul ayah, tapi air mataku menetes—deras dan lama sekali aku tak memahami apa yang terjadi. Menetes deras namun terus kuusapi.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, kupandangi langit-langit kamarku. Aku menangis tanpa suara.
**
Kejadian yang kusaksikan delapan tahun silam masih berkelebat sesekali bahkan kadang masuk menjamah mimpi. Ada rasa mengganjal yang ingin kupahami namun selalu gagal.
Sore itu ketika Joni pacarku mengantar aku pulang, ibu sedang duduk-duduk di pelataran sambil mengupas bawang. Joni mencium tangan ibu lalu berpamitan, ibu tersenyum. Aku mengucap salam lalu duduk di samping ibu.
Dalam keheningan, suara-suara di kepalaku berbisik berisik sekali, lalu tiba-tiba terlontar saja dari mulutku,
“Waktu itu ayah memperkosa ibu?”
Ibu terlonjak, pisau yang digunakan mengiris bawang melukai ujung telunjuknya. Ia terdiam. Aku lari mengambil kotak obat, lalu kuusap darah yang menetes-netes dengan kapas. Kubaluri luka ibu dengan obat merah sebelum membebatkan plester.
Ibu masih terdiam, memandang kosong ke pelataran.
“Maaf, bu…,” kubereskan kotak obat cepat-cepat, namun ketika aku hendak beranjak, jemari ibu menggenggam pergelangan tanganku kencang. Aku terdiam, ibu terdiam. Aku mencoba mencari apa yang sedang ibu coba katakan hingga kemudian kata-kata itu keluar dari mulutnya.
“Melayani suami adalah kewajiban seorang istri,” tatapannya tajam menusuk kedua mataku, suaranya tegas tak bergetar. Aku terdiam. Mengerjap-ngerjap kedua mataku memandang ibu sampai ia melepaskan genggamannya. Aku setengah berlari ke kamar karena mulai merasakan tetes-tetes hangat mengaliri pipiku, satu per satu.
Kotak obat itu kubawa serta.
Kupandangi wajahku di cermin. Kubuka kerudung biruku. Kuusap air mataku yang masih belum juga berhenti berjatuhan.
Kudekatkan badanku ke cermin, aku mendongak agar dapat dengan jelas kulihat letak luka cakar itu. Kuraba tulang leherku lalu kububuhkan obat merah perlahan-lahan. Kubuka kancing bajuku satu per satu, kutarik di bagian pundak sebelah kanan, kudapati kulitku berwarna biru memar samar-samar. Kulepas rok panjangku—di paha kiriku terhampar sebuah pulau besar berwarna ungu.
Kuhempaskan badanku di atas tempat tidur, kupandangi langit-langit kamar.
Ya, aku dan Joni baru saja bertengkar. Saat nada suaraku meninggi, ia mendorongku hingga paha kiriku membentur ujung meja kayu. Saat aku hendak melangkah pergi, ditahannya pundakku dengan jemarinya yang kuat, namun tenagaku ternyata lumayan, aku bisa masih melangkah maju ke depan. Ditariknya kerudung biruku dengan kasar, lalu kuku jemarinya yang kuat itu membaret leherku dengan cakar. Aku meraung.
Kami bertengkar dalam sebuah ruang kelas, tiga jam seusai kelas pelajaran terakhir. Sekolahan sudah sunyi, hanya tinggal tukang sapu dan beberapa orang murid yang masih enggan pulang. Beberapa teman-teman kami mengintip dari sela pintu tapi tak ada yang mau ikut campur apalagi membantu. Ketika mendengar aku meraung, mereka beranjak pergi, mendadak tuli seperti patung.
Tidak lama kemudian, Joni mendudukkan aku di sebuah kursi. Ia belutut meminta maaf sambil menangis, suaranya bergetar-getar.
“Antarkan aku pulang,” kuucap tegas sembari kuusap air mataku. Digenggamnya tangan kananku saat kami berjalan menuju parkiran. Ketika sampai di rumah, ia mencium tangan ibu lalu berpamitan. Ibu tersenyum.
Kuhela nafasku dalam-dalam, aku gagal membungkam isi benakku yang gaduh. Koran ayah tergeletak di meja samping tempat tidurku, aku melirik halaman depannya, “Seorang nenek diperkosa oleh cucu laki-lakinya sendiri.” Lalu kepalaku berdenyut-denyut, tubuhku mengeluarkan bulir-bulir keringat dingin.
Langit-langit kamarku kerap kali menjadi saksi atas tangis yang bisu.
**
“Aku telah mencoreng nama baik keluarga, hidupku sudah tidak ada harganya,” sebuah pesan tertulis dalam kertas putih menjuntai di dasar bayang yang melayang-layang.
Ayunda Nurvitasari adalah lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia yang senang menulis. Saat ini ia bekerja sebagai reporter dan manajer media sosial publikasi feminis magdalene.co. Ikuti kicauannya di @ayundanurvi