Pada 2 September 2019, Kapolri Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dijadwalkan akan berkantor selama sepekan di Kodam Cendrawasih, Jayapura. Alasannya tentu untuk “mengawasi” situasi di Papua dan Papua Barat yang kabarnya berangsur kondusif setelah berlangsung rangkaian demonstrasi dan kerusuhan. Bersama dengan kurang lebih 6,000 aparat gabungan TNI dan Polri, kedua pentolan TNI/Polri ini tentu kebelet untuk menghadirkan ketertiban di Papua. Apalagi rangkaian aksi menolak rasisme terhadap warga Papua itu perlahan berkembang menjadi seruan kemerdekaan dan desakan untuk referendum.
Selain penambahan pasukan, sejak 21 Agustus perlambatan koneksi internet (throttling) bagi perangkat mobile dan blokir bagi seluruh akses di Papua (blanket internet shutdown – meliputi jaringan mobile dan broadband) dilaksanakan. Maklumat larangan melakukan aksi demonstrasi juga diterbitkan Kapolda Papua, Irjen Rudolf Albert Rodja pada 1 September. Belum lagi pergantian tiba – tiba panglima komando daerah militer (Kodam) di Papua dan Papua Barat pada hari yang sama, persis di tengah eskalasi konflik, juga menambah spekulasi tentang kegentingan krisis di Papua.
Informasi yang disampaikan pihak istana lebih banyak menutupi fakta dan informasi daripada menjernihkannya. Sampai tulisan ini disusun, segala informasi pemerintah terkait kisruh Papua kebanyakan bergantung pada keterangan Menko Polhukam sebagai ‘saluran informasi maha benar’. Sejak 19 Agustus, tercatat sudah enam kali Wiranto menggelar konferensi pers terkait perkembangan situasi di Papua[1]. Mulai dari respon terhadap insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, hingga justifikasi atas kebijakan yang ditempuh selama penanganan aksi demonstrasi di Manokwari, Sorong, Fakfak, Jayapura, Deiyai, Paniai serta Timika.
Pernyataan–pernyataan Wiranto di konferensi pers tersebut menyuratkan beberapa hal: Pertama, konflik meluas akibat penyebaran hoaks. Penyebaran video teriakan rasis di Surabaya yang disebut Wiranto sebagai ‘oknum’ ditengarai sebagai pemicu konflik di Papua dan Papua Barat. Kedua, pemerintah Indonesia mengedepankan dialog dengan mengundang sejumlah tokoh Papua untuk menyampaikan keluh kesah terkait persoalan sosial–politik di Papua. Pemerintah juga bersedia menarik sejumlah pasukan polisi dan tentara jika situasi sudah kondusif.
Ketiga, pemerintah akan menindak tegas siapapun yang melanggar hukum, baik mereka yang bertanggung jawab atas perusakan fasilitas publik, mengibarkan bendera Bintang Kejora serta yang terus ‘mengompori’ konflik di Papua. Dan keempat, jalan kekeluargaan akan diambil untuk menyelesaikan segala persoalan di Papua. Dengan kata lain, tidak ada jalan referendum bagi Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Sayangnya di luar empat poin yang sarat nuansa pendekatan keamanan klasik di atas, kita tidak pernah tahu tentang bagaimana sesungguhnya operasi pengamanan dilakukan di Papua dan Papua Barat. Seperti sejauh mana dampak rangkaian demonstrasi di berbagai kota di Papua, bagaimana eskalasi kekerasan tercipta, jumlah korban yang jatuh, dan yang tak kalah penting, tentang pertanggungjawaban aparat bersenjata atas operasi Aman Nusa 1 di Papua (semenjak Tolikara dan Mimika tahun 2015) hingga 1 September 2019. Alih-alih penjelasan kronologis, kita hanya disediakan serba–serbi soal hoaks dan pentingnya merawat semangat Kebhinekaan yang tengah diuji akibat pesatnya berita bohong dan provokasi.
Padahal hingga hari ini paling tidak sudah ada 9 jiwa terenggut dalam rangkaian peristiwa pasca Surabaya; dari bentrok di depan kantor Bupati Deiyai (30 Agustus) dan bentrok di sekitar asrama Nayak, Jayapura (1 September). Apakah angka ini akurat? Adakah korban lainnya? Yang jelas, masih banyak kekaburan atas krisis di Papua akibat dari pembatasan akses informasi oleh negara.
Pemerintah memang buru-buru melakukan upaya penanganan konflik sebelum meluas lebih jauh. Satu minggu pasca insiden di asrama mahasiswa Papua Surabaya, lima personil tentara terduga pelaku tindakan rasisme diskors pada 26 Agustus. Seminggu kemudian, menyusul koordinator aksi dari ormas FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri) Surabaya Tri Susanti ditahan atas tuduhan menghasut. Namun pergolakan di Papua masih terus terjadi.
Simpang siur fakta di lapangan yang bikin situasi tambah runyam ini ditambah dengan kebijakan drastis pemerintah, seperti pembatasan internet, yang tidak memiliki tenggat waktu jelas. Selain mengebiri hak berekspresi dan menyampaikan pendapat, blokir internet dan akses ke Papua akan terus membuat penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi susah dilakukan. Absennya keadilan itu telah menjadi keprihatinan historis warga Papua dan menjadi salah satu alasan menuntut kemerdekaan.
Kontrol atas informasi, penambahan pasukan, dan larangan berdemonstrasi di Papua mengingatkan kita pada peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003. Jika kita tarik mundur lebih jauh ke akhir 90-an, kondisi ini juga mirip saat Timor Leste masih nampak tidak terpisahkan dari Indonesia. Apalagi langkah tangan besi pemerintah kini untuk memburu dan menghukum “provokator” pun senada dengan kebijakan Soeharto. Mereka yang menyebarkan informasi tentang krisis Papua atau yang menyuarakan pelanggaran HAM disana dapat sewaktu-waktu dikenai pasal makar. Di Jakarta dan kota lain, sejumlah aktivis kemerdekaan tengah diburu lantaran tuntutan referendum terus bergelora. Jika tertangkap, para aktivis ini barangkali bakal ikut dikurung di sel isolasi Mako Brimob seraya dibombardir lagu-lagu nasionalis.
Penetapan Keadaan Bahaya
Di era reformasi, Pemerintah Indonesia tercatat tiga kali menetapkan situasi darurat (sipil/militer). Yang pertama, melalui Keppres No. 107 Tahun 1999 yang ditandatangani Presiden B.J. Habibie untuk Timor-Timur, serta dua kali di era Megawati Soekarnoputri (Darurat Militer – Keppres No. 28 Tahun 2003 dan Darurat Sipil – Keppres No. 43 Tahun 2004) untuk Aceh. Penetapan situasi tersebut memiliki dasar hukum dari Perppu No. 23 Tahun 1959.
Ketiga penetapan situasi darurat tersebut diambil untuk menangani bahaya yang sama: adanya upaya melepaskan diri dari negara kesatuan yang konon tak bisa lagi ditawar. Solusinya pun itu-itu lagi: operasi gabungan polisi dan tentara jadi andalan menumpas gerakan kemerdekaan di Aceh maupun Timor Leste. Tak terhitung jumlah korban sipil semasa operasi militer tersebut (Operasi Seroja 1975 di Timor Leste, Operasi Jaring Merah 1990-1998, dan Operasi Terpadu 2003 di Aceh). Hingga kini, kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh dan Timor Leste masih belum diselesaikan secara adil dan beradab.
Keduanya punya kesamaan dengan situasi Papua hari ini. Jalan kekerasan telah ditempuh Negara manakala segala upaya “dialogis” (otonomi khusus, pembangunan infrastruktur, dialog langsung nasional dan internasional) dianggap tidak lagi mampu membeli hati rakyat. Terlebih, mengutip alasan yang muncul dalam beberapa keputusan mengenai situasi darurat, saat eskalasi konflik sudah mengganggu roda pemerintahan dan agenda pembangunan. Dari beberapa pasal Perppu No. 23 Tahun 1959 yang jadi dasar terbitnya ketiga Keppres situasi darurat, kita bisa mendapat gambaran tentang apa yang jadi alasan pemerintah:
Perppu No. 23 Tahun 1959
Pasal 1
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
|
Pasal 17
Penguasa Darurat Sipil berhak:
|
Pasal 19
Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah |
Pasal 20
Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain. |
Wajar apabila segala keputusan dan tindakan yang terus berulang per tanggal 19 Agustus hingga saat ini membangkitkan memori akan serangkaian operasi militer Indonesia di masa lalu. Belum lagi nama–nama seperti Wiranto (Menkopolhukam), Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim) yang menghiasi Kabinet Jokowi namanya juga muncul dan dianggap bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan selama operasi militer di Aceh dan Timor Leste.
Meski pada pelaksanaannya terus menuai kecaman dari masyarakat sipil, operasi militer di Aceh masih mencantumkan masa operasi maksimal 6 bulan. Hal ini tidak terjadi di Timor Leste dan Papua, yang sepanjang tahun diperlakukan sebagai medan latihan tempur dan ladang panen kenaikan pangkat bagi personil polisi maupun tentara.
Pertanyaannya kemudian: jika langkah pemerintah dan kondisi di Papua kini setali tiga uang dengan apa yang dahulu terjadi di Aceh dan Timor Leste, mengapa Joko Widodo tak kunjung menetapkan situasi darurat?
Tentu ada banyak penjelasan: dari mulai pemerintah yang khawatir investasi macet, alergi rezim terhadap ‘kegaduhan’, sampai silang pendapat di dalam tubuh pemerintahan sendiri. Namun di balik itu semua, keadaan ini menyimpan bahayanya sendiri, yakni saat semua laku kekerasan negara mulai dibingkai sebagai ‘a new normal’ – sebuah kondisi normal baru. Tingkah negara di Papua hari-hari ini seolah dicitrakan seperti business as usual di tengah gegap gempita mendorong semangat persatuan NKRI lewat acara dan slogan solidaritas semu. Dengan demikian, diharapkan publik akan permisif dengan tangan besi kekuasaan, terbiasa dengan perampasan, penangkapan sewenang-wenang, dan akhirnya tak punya kuasa lagi untuk menggugat kemunduran demokrasi di depan mata.
Segala operasi yang digelar dalam senyap tersebut memang tak berjalan sempurna. Michelle Bachelet, Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tempo hari menyatakan di muka khalayak internasional bahwa dirinya masih menunggu pemerintah Indonesia membuka akses Papua dan Papua Barat untuk keperluan investigasi independen. Belum lagi penetapan tersangka Veronica Koman dan intimidasi yang dialami Febriana Firdaus, kontributor Aljazeera, yang makin mengungkap watak asli pemerintah Indonesia pada Papua.
Tentu saja di tengah desakan yang begitu keras terhadap pemerintah untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Papua, Indonesia terus berkelit. Kita selalu diingatkan bahwa sepanjang Kabinet Kerja, Papua selalu jadi destinasi pertama pendapatan negara berlabuh. Bahwa di sana telah dibangun jalan besar penghubung provinsi dan kabupaten, telah dilancarkan akses terhadap bahan bakar dan beragam lainnya upaya pemerataan pembangunan manusia, seperti yang tak putus-putus diserukan pemerintahan Jokowi.
Sudah sepantasnya kita balas pengingat itu dengan pengingat lainnya: di balik segala gula–gula pembangunan di Papua, ada aroma busuk yang hendak ditutup rapat-rapat. Seperti yang dikemukakan Aliansi Demokrasi Papua (ALDP) tahun lalu, derap pembangunan di Papua masih meninggalkan jejak kelam Orde Baru, ditandai dengan lestarinya impunitas dan kekerasan terhadap orang asli Papua (OAP).
Papua seharusnya jadi pelajaran bagi para pemimpin: kerja-kerja-kerja sudah seharusnya diimbangi dengan kewarasan. Perlu dibuka kebebasan warga seluas–luasnya demi tercapainya momen dialogis yang setara dan bebas dari intimidasi. Tetapi yang kita saksikan malah pemerintah yang susah payah memblokir, menutup akses informasi, dan beternak buzzer demi menutupi apa sebenarnya yang terjadi di Papua. Padahal di era 4.0 ini, tingkah polah pemerintah yang bersikeras mengisolasi Papua dari dunia luar tak ubahnya menggantang asap.
Jika stempel ‘orang baik’ yang senantiasa disematkan para pendukungnya bukan bualan, Joko Widodo seharusnya tidak lagi mengulang kesalahan negara di Aceh dan Timor Leste. Namun kita pantas pesimis. Sebab seperti halnya Megawati Soekarnoputri, ia terus memberikan tempat bagi kelompok militer ultra-nasionalis dan jajaran polisi yang hanya mengenal pendekatan pertumpahan darah dalam menangani konflik. Apalagi Joko Widodo, seperti kita ketahui, adalah Presiden yang gemar menari diiringi gendang orang lain, selama hal tersebut bisa mengamankan posisi politiknya.
Jika kekhawatiran ini terbukti, jangan harap pemerintahannya di periode kedua akan berjalan seperti mimpi pendukungnya, sebuah pemerintahan ‘tanpa beban’ demi membela kepentingan publik. Justru sebaliknya, ia bakal makin ‘tanpa beban’ mengkhianati cita-cita pendukungnya, menabrak aturan main demokrasi, mengubur perlindungan hak asasi manusia, serta terus menelantarkan Republik digerayangi monster-monster masa lalu yang mestinya sudah dihabisi sejak lama.
Cristo Rei, patung Kristus setinggi hampir 30 meter di ujung Dili sepatutnya menjadi peringatan. Diplomasi 5 miliar rupiah di tahun 1996 demi integrasi Timor Loro Sae nyatanya tidak menghentikan semangat warga yang mencita-citakan kebebasan — kebebasan untuk menentukan nasib sendiri dan bebas dari cengkeraman kekejaman militer Indonesia.
[1] 19 Agustus – Ratas Situasi Manokwari, 30 Agustus – hasil pertemuan dengan tokoh muda Papua dan penyampaian hasil Rapat Terbatas Kabinet, 1 September – setelah Car Free day, 2 September – Rusuh Papua Karena Hoaks, 3 September – Tidak Ada Peluang Referendum di Papua.