Angkara Murka di Tengah Malapetaka

Tidak ada alasan lagi untuk tetap memelihara prasangka baik terhadap rezim. Faktanya sederhana: Pemerintah Joko Widodo memanfaatkan krisis untuk menguntungkan segelintir pihak.

Di tengah pandemi global, kita bisa memilah pemerintah mana yang mengutamakan keselamatan rakyatnya, becus menangani penyebaran wabah, atau bukan keduanya. Pemerintah yang masuk golongan terakhir biasanya memiliki ciri-ciri kebijakan yang mirip: meremehkan potensi pandemi di awal 2020, tak punya rencana tegas penanggulangan, mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek, dan menutupi buruknya kinerja dengan jargon atau pencitraan. Dengan kata lain, pemerintah negara-negara ini telah secara sadar membiarkan banyak warganya menjadi korban, asal bisnis oligark dan korporat kakap terselamatkan.

Tentu jelas Indonesia masuk dalam golongan negara yang mana. Sebulan lalu, kami sudah mencium gelagat pemerintah akan memilih opsi menumbalkan yang rentan. Metode yang sering diperhalus dengan istilah herd immunity ini sudah pasti bakal menelan banyak korban karena ketiadaan vaksin yang dapat mengisolasi penyebaran wabah. Namun kami luput menebak pemerintah bakal menjalankan penanganan yang keji ini sambil mempertontonkan ketamakan dengan vulgar. Satu bulan terakhir, berturut-turut kita dihantam berita buruk yang menunjukkan peraturan dan kebijakan negara sengaja dibuat untuk melindungi kekuasaan sekaligus modal para oligark. 

Perppu Corona yang melindungi segala tindakan penguasa dalam “menangani” pandemi dari tuntutan hukum, lolos di DPR. Revisi UU Minerba yang memberikan kelonggaran luar biasa bagi pengusaha tambang kakap, tanpa memperdulikan nasib warga dan lingkungan terdampak, diketok. Presiden Joko Widodo lagi-lagi menaikkan iuran BPJS Kesehatan, suatu kebijakan yang sudah dibatalkan lewat putusan Mahkamah Agung Maret lalu. 

Sementara itu, warga disuguhi tontonan kartu prakerja, kebijakan 5,6 Triliun yang cemerlang dalam absurditasnya: memberikan warga pengangguran sejumlah uang untuk menonton video kursus. Kita sontak terpekur. Bagi-bagi uang dengan kedok kebijakan publik tidak pernah dilaksanakan segamblang ini

Di situasi normal, deretan masalah di atas sepatutnya menjadi skandal yang bisa mengguncang rezim mana pun. Tapi hari ini kita ada di tengah pandemi mematikan yang, terlepas dari bualan pemerintah, tidak ada yang tahu persis kapan bakal berakhir. Tidak jelas dengan metode nujum apa pemerintah bisa-bisanya mengklaim pada awal bulan ini kalau pandemi mulai dapat dikendalikan, apabila Indonesia sendiri menghitung kurva pandemi dengan indikator-indikator yang tidak sesuai dengan standar epidemiologi. Belum lagi membahas perkara ketidaksesuaian data Covid-19 antara pusat dan daerah. Kita seolah berada dalam kapal oleng tak berjendela, dengan nakhoda inkompeten memegang kemudi, di tengah badai ganas, sementara pengeras suara di kabin mengulang racauan: “Kita baik-baik saja! Situasi terkendali!”. 

Belakangan, saat badai masih berkecamuk, sang nakhoda mengumumkan niatan untuk (((berdamai dengan Corona))). Masyarakat – pekerja, anak sekolah, pengunjung wisata – diharapkan dapat segera kembali beraktivitas. Proyek infrastruktur harus jalan terus. Penerbangan domestik dibuka lagi dan segera membuat bandara Soekarno-Hatta penuh sesak. Mari bergandengan tangan dengan wabah, menyongsong masa depan Indonesia yang cerah berseri.

13 tahun silam, Naomi Klein menulis mengenai “shock doctrine”, yakni strategi para penguasa di berbagai negara yang memanfaatkan krisis nasional, baik akibat bencana alam maupun pergolakan sosial, untuk mengerek kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak, memanfaatkan momen dimana masyarakat luas tengah kesulitan untuk mengadakan perlawanan efektif terhadap kebijakan tersebut. Kebijakan yang ia namai disaster capitalism terjadi dimana-mana: Chile di awal rezim Augusto Pinochet, Inggris di bawah Margaret Thatcher semasa Perang Falkland, hingga Irak pasca invasi militer Amerika Serikat. 

Tempo hari Klein memperbaharui analisisnya dengan “Screen New Deal”: sebuah tren kebijakan yang menggelar karpet merah bagi raksasa-raksasa Silicon Valley untuk merombak kehidupan publik di tengah ganasnya pandemi yang sudah membunuh puluhan ribu orang di Amerika Serikat. Klein menamainya “pandemic shock doctrine”, saat chaos pandemi dimanfaatkan untuk menguras kas negara dan menggelontorkannya langsung ke pundi-pundi oligark dan investor, seraya menelantarkan tenaga medis yang siang-malam di garis depan bergulat dengan wabah dan mereka yang paling rentan jadi korban virus mematikan. 

Jika editorial kami selama lima tahun terakhir bisa disingkat ke dalam satu kalimat, ia akan berbunyi seperti ini: Presiden Joko Widodo adalah politisi pro-oligarki dan ia siap melakukan apa saja untuk membuktikan kesetiaannya. Dan jika rentetan peristiwa naas selama beberapa tahun terakhir – penghancuran sistematis KPK, konflik agraria, pembunuhan demonstran #ReformasiDikorupsi, kriminalisasi aktivis, rancangan Omnibus Law, UU Minerba, keringanan pajak buat pengusaha, penanganan pandemi dengan modal jamu, nasi kucing, dan pikiran optimis, ad infinitum – tidak kunjung membuat anda sadar akan fakta sederhana ini, maka tak ada lagi yang bisa mengubah pikiran anda.

Di awal pandemi, banyak pihak sudah menyangsikan kemampuan Indonesia dalam menghadapi pandemi. Populisme tidak akan mempan melawan penyebaran virus, katanya. Wabah tidak bisa dihalau dengan blusukan, vlogging, anggaran buat buzzer, dan rutinitas rezim lainnya. Sampai akhirnya, pemerintah tak lagi punya pilihan selain mengusulkan herd immunity

Namun, sampai titik ini, anggapan tersebut justru nampak terlalu optimis. Tidak ada alasan lagi untuk tetap memelihara prasangka baik terhadap rezim ini. Joko Widodo nampak enggan menyelamatkan warganya yang rentan. Lupakan pemberian BLT secara intensif untuk mendukung karantina warga. Lupakan jaring pengaman sosial untuk mereka yang kehilangan pekerjaan. Lupakan eskalasi tes dan pelacakan penyebaran virus. Di ambang krisis ekonomi global terburuk abad 21, pandemi ini adalah peluang emas bagi segelintir pemodal dan oligark untuk mengamankan, bahkan menambah pundi-pundi mereka. Untuk apa melawan hal yang jelas-jelas menguntungkan mereka?

Rasanya Naomi Klein pun akan bergidik melihat Indonesia hari ini. Di tengah potensi jatuhnya ratusan ribu korban jiwa karena kebijakan pemerintah yang plin-plan, lamban, dan kelewat sibuk dengan gimmick politik tak bermutu, jaminan bagi segelintir orang untuk tetap meraup untung yang jadi hukum tertinggi.

Perppu Corona kiranya contoh bagaimana rezim memanfaatkan situasi krisis. Atas dalih ‘kegentingan yang memaksa’, defisit neraca keuangan diperlebar (hingga 5%) untuk menutupi ketidakbecusan pemerintah melakukan penyesuaian rencana belanja negara selama krisis. Sementara proyek-proyek yang tidak punya nilai bagi keselamatan publik, seperti pembangunan infrastruktur pariwisata, tidak ikut dikurangi. Tak hanya itu, agenda omnibus perpajakan (salah satu seri omnibus) juga diselundupkan dalam Perppu ini, yakni dengan memberikan pengurangan pajak badan usaha secara bertahap hingga 2023. 

Meski tidak sebesar negara lain, alokasi 405 Triliun untuk menghadapi dampak ekonomi selama pandemi bukanlah angka yang kecil. Maka dari itu, pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran perlu maksimal. Tetapi pasal 27 Perppu berkata lain. Tak hanya mendapat prioritas tes kekebalan tubuh, pejabat publik juga mendapat imunitas dari Perppu karena tidak bisa dituntut selama menjalankan tugasnya.

Parahnya lagi, harapan kita pada parlemen untuk menentang kelakuan miring pemerintah pun harus bertepuk sebelah tangan. Sempat dibuka dengan serangkaian kritik, akhirnya Perppu Corona disahkan tanpa perlawanan signifikan. Hanya satu fraksi yang menyatakan keberatan (F- Partai Keadilan Sejahtera) dalam Rapat Paripurna DPR 12 Mei. Begitu cepatnya kritik berganti jadi dukungan mengkonfirmasi dugaan bahwa pembunuhan KPK tempo hari memang bagian dari upaya eksekutif dan parlemen dalam menggasak habis ruang-ruang yang bisa dimanfaatkan publik untuk turut berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan.

Di hari yang sama, revisi UU Minerba disahkan bersama rencana pembahasan RUU Ideologi Pancasila yang tak ada relevansinya dengan urgensi hari ini. Mimpi buruk September lalu juga hendak diulang dengan pembahasan revisi KUHP yang hanya ditunda pengesahannya, bersama dengan RUU Cipta Kerja dan segala beleid yang tidak ada urusannya dengan penanganan pandemi. 

Yang penting, hutang-piutang politik selama masa pemilu sudah dibayar tuntas. Pengusaha tambang dapat menarik nafas lega karena kepentingan bisnisnya aman tanpa harus menuntaskan tanggung jawab menutup lubang tambang yang terus menelan korban. Pengusaha lainnya mendapat keringanan pajak, sekaligus dilepaskan dari tanggung jawab untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih baik untuk para buruh. Rezim ini sudah membuktikan dua kali bahwa dalih ‘kegentingan yang memaksa’ (yang pertama, Perppu Ormas) berhasil digunakan untuk memuluskan agenda otoritarian yang dibungkus nasionalisme dan solidaritas kebangsaan semu.

Urusan hidup mati masyarakat? Biar diserahkan pada diri masing-masing.

Tak sedikit yang menggugat ulah komplotan pencoleng demokrasi ini.  Sebab bayangkan, 25 Triliun duit negara dipakai hanya untuk memilih Presiden pro-oligarki dan parlemen yang manggut-manggut saja dengan kebijakan pencolengan massal. Tetapi apa pernah rezim kekurangan cara-cara baru untuk membungkam suara-suara gaduh? Ravio Patra merasakan langsung hal itu. Begitupun ketiga mahasiswa aktivis Kamisan Malang, anak-anak muda yang kedapatan mencoret-coret tembok lantas langsung diklaim tengah merencanakan penjarahan se-Jawa, dan mereka yang jadi korban telegram anti-hoax dan anti-penghinaan terhadap penguasa dari Kapolri. 

Skema pelonggaran PSBB tengah digodok, dan jika pemerintah tak menemui halangan berarti, sebentar lagi rutinitas akan kembali seperti sediakala. Pabrik-pabrik beroperasi, para penumpang komuter berdesakan, tempat wisata dibuka lagi. Sementara SARS-CoV-2 terus menyebar tanpa terdeteksi. Mereka yang kembali beraktivitas akan berjudi dengan taruhan nyawanya dari pagi hingga malam. Demikian pula keluarga yang menanti di rumah. Korbannya akan jadi statistik, syukur-syukur kalau dapat diumumkan di televisi. 

Kalangan masyarakat sipil sibuk dengan agenda perlawanan taktis terhadap serangkaian produk hukum yang diloloskan selama masa krisis. Padahal keletihan menghadapi manuver komplotan pencoleng ini sebaiknya disikapi secara proporsional, ketimbang membabi buta menyerang ke segala arah. Bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana: dengan senjata apa kiranya rezim hendak menggasak republik? Apakah dengan revisi UU Minerba? Pengesahan RKUHP? Omnibus Cipta Kerja? Atau sebuah produk hukum kolonial (baca: Perppu) yang meludahi prinsip-prinsip dasar republik dengan dalih krisis?  

Malapetaka ini sedang dipoles sebagai kondisi normal baru yang tidak terhindarkan, terutama oleh kawanan pendengung bayaran. Seolah tidak ada yang aneh atau buruk terjadi sebelum pandemi. Menyangkut rezim ini, tidak pernah ada yang normal dan tidak ada yang baru. Kondisi sekarang bisa digambarkan sebagai bentuk angkara murka, kata dalam bahasa Indonesia yang menggabungkan dua makna sekaligus: kebengisan dan ketamakan. Segelintir meraup untung, sisanya terpaksa menyabung nyawa dalam diam atau menanggung konsekuensi digebuk aparat.

Tidak ada cara lain. Perppu Corona harus segera dibatalkan untuk mencegah komplotan ini terus menunggangi situasi krisis untuk melumat demokrasi. Normalisasi kesewenang-wenangan, perampokan, pengabaian terhadap nyawa manusia, dan inkompetensi hanya pantas dijawab dengan normalisasi pembangkangan.