Amarah Sudah Naik Sampai Leher

Kita tidak butuh permohonan maaf pejabat publik. Kita butuh mereka sesegera mungkin angkat kaki.

Di masa yang diliputi duka dan ketakutan seperti sekarang, kemarahan adalah sebuah keistimewaan. Banyak dari kita tidak mampu mengekspresikan amarah karena diliputi kesedihan ditinggal orang tercinta, atau berjuang merawat orang di sekitar kita yang sakit. Beberapa sibuk berjuang di garis depan sebagai tenaga kesehatan atau bergotong royong untuk menyokong hidup orang banyak saat pemerintah abai. Sebagian besar kepayahan bertahan hidup sembari cemas akan nasib esok hari. Namun sangat sedikit, atau bahkan hampir tidak ada yang mewakili kemarahan kita hari-hari ini.

Amarah warga kini bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi lagi. Kebobrokan pemerintah terpampang begitu jelas, dan telah berdampak pada hal yang tidak bisa lagi dipelintir serdadu berbayar di sosial media: wabah tak terkontrol, ruang hidup dibatasi tanpa kompensasi, akses dan tenaga kesehatan tak mencukupi, kematian yang makin dekat. 

Sejak awal kita dibuat gusar dengan aksi ramai-ramai menyepelekan wabah COVID-19 dari para pemangku kebijakan. Setelah pandemi melanda, nampak jelas pula bahwa strategi utama pemerintah adalah menumbalkan yang rentan sembari menomorduakan kesehatan publik. Lantas kita dibikin muak dengan ketamakan rezim meraup cuan bagi kroni-kroni pengusaha dan politikus di masa sulit ini: dari pengesahan Omnibus Law, UU Minerba, korupsi bantuan sosial, hingga vaksin berbayar. Begitu banyak kebijakan pemerintah yang lebih sering didorong oleh naluri bisnis daripada pengutamaan keselamatan publik. 

Presiden Joko Widodo sendiri masih memperlihatkan gejala delusional dalam pidatonya memperpanjang masa PPKM, menyitir jumlah kasus COVID-19 yang turun tanpa menyebut jumlah tes yang ikut turun. Sebelumnya, ia menargetkan Jawa-Bali akan mencapai herd immunity pada September. Seandainya ia tidak mempengaruhi hajat hidup ratusan juta warga Indonesia, rasanya kita pantas iba terhadap politisi inkompeten yang makin lama kian tidak berguna di hadapan masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan lompat masuk gorong-gorong ini. Namun kenyataan menunjukan sebaliknya: ia seorang Presiden, dan kelak sejarah akan mencatat tahun-tahun kekuasaannya sebagai era pengkhianatan luar biasa seorang pemimpin negara terhadap keselamatan hidup warganya. 

Lebih parahnya, dari kondisi serba memprihatinkan ini, tidak ada satupun koreksi konstitusional yang dilakukan lembaga kekuasaan lain kepada pemerintah. Maka yang niscaya pun terjadi: mampetnya saluran koreksi demokrasi berujung pada meledaknya kemarahan warga di jalanan, mulai dari Balikpapan, Ambon sampai Bandung. Dan itu baru permulaan saja. 

Kondisi pandemi memang membuat kemarahan publik tidak serta merta mewujud dalam aksi jalanan yang masif karena pembatasan sosial dan potensi penyebaran penyakit. Rezim begitu represif dalam memantau, menghalangi, dan mengendalikan lawan-lawan politik maupun protes dari warga. Belum lagi mobilisasi serdadu pendukung rezim demi menangkal suara sumbang dari publik sehingga konflik politik terjadi secara horizontal, alih-alih vertikal menyasar jantung kekuasaan. 

Meski demikian, saat hidup sebagian besar warga jadi korban ketamakan penguasa, kemarahan publik bukan lagi sesuatu yang bisa disangkal dan telah sampai pada titik didihnya. Desakan untuk perubahan akan terus membesar terlepas dari selesai atau tidaknya pandemi. Tidak bisa lagi pemerintahan diserahkan kepada para pemburu rente. Bahwa siapapun yang berkuasa harus memegang prinsip dasar keadaban publik: Jika merasa tidak mampu memimpin, kamu harus mundur! 

Di masa yang diliputi duka dan ketakutan seperti sekarang, kemarahan adalah sebuah keistimewaan. Karenanya jika anda masih sanggup untuk marah dan menumpahkannya ke jalanan, lakukan itu untuk warga lain yang tak memiliki kesempatan yang sama. Problem utama dari situasi yang makin memburuk saat ini adalah rezim yang bebal, culas, dan tamak. Nyawa ribuan warga Indonesia jadi tumbalnya. Selama mereka masih berkuasa, niscaya akan lebih banyak kabar duka meliputi kita semua. Bicara soal bertahan hidup hari ini tak cuma urusan menjaga diri sendiri dan orang-orang tercinta dari hantaman wabah. Tak kalah penting, ia juga perkara mengarahkan kepalan kita ke arah mereka yang dengan sadar membiarkan bencana ini melahap kita. Saatnya bikin perhitungan.