Internet: Kreativitas dan Kultur Berbagi

poster human right internet
Mufqi Hutomo

Sebut saja namanya Triawan, kendati ini bukanlah nama samaran. Ia adalah Kepala Badan Ekonomi Kreatif di era rezim Jokowi-JK. Tempo hari komentarnya sempat membuat publik cemas, ia berniat memutus koneksi Internet bagi siapapun yang mengunduh file secara illegal. Kendati efek komentarnya tidak segaduh perkara asap di Riau sana, tetap saja komentarnya tetap penting untuk dicermati, mengingat apa yang hendak ia lakukan mestilah berpengaruh besar terhadap khalayak ramai.

Laiknya para menteri dan pejabat lainnya di era ini, awalnya publik menggantungkan harapan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Pria necis nan bersahaja ini tak ubahnya menjadi cerminan kedangkalan berpikir rezim Jokowi-JK. Ketika pemuda-pemudi kreatif berharap akan sosok pemimpin dengan ide-ide inovatif dan tidak ketinggalan zaman, yang tampak ialah tetua yang masih memegang teguh pola pikir usang.

Ada sekian alasan yang membuat Triawan layak dijadikan bahan cercaan. Triawan tak berbeda dengan gerombolan generasi tua kebanyakan yang memandang Internet sebagai sesuatu yang sama persis dengan Televisi atau Radio. Barangkali, ini diakibatkan masa prematur dirinya yang baru melek Internet ketika Blackberry dalam genggaman. Atau paling banter, dahulu ia menggunakan Internet hanya untuk membuka situs trendy astaga.com.

Hal penting untuk dipahami adalah pola-pola komunikasi dalam Internet teramat jauh berbeda dengan Televisi dan Radio. Kedua hal ini memiliki pihak yang bertanggungjawab untuk mengontrol apa yang ditampilkan, dan membuat penikmatnya bertindak cenderung pasif. Namun Internet sejatinya tak begitu, pola komunikasi berjejaring dan terkoneksi satu sama lain, membuat absennya otoritas tunggal untuk mengontrol apa yang tersaji, sehingga otoritas ada dalam tangan para individu sebagai users. Di sini users bertindak aktif, baik dalam mengkonsumsi atau memproduksi informasi. Pola komunikasi baru yang dilahirkan Internet lantas mendobrak gaya lama, lalu melahirkan kultur berbagi yang begitu elok: abai akan garis geografis negara bangsa.

Kultur berbagi ini kemudian mendorong individu-individu untuk berbagi hal-hal yang ia gemari, yang bersifat ringan atau berbobot, begitupun dengan berbagi hal menarik dari daerah mereka berasal. Dampaknya, individu lain terdorong untuk melakukan hal yang sama. Kombinasi kultur dari seantero dunia menjadi mungkin, ada dorongan untuk berkreasi atas kultur berbagi ini. Tak lupa, pertukaran konten antar satu sama lain turut memuat proses pertukaran gagasan. Sehingga pola-pola ini mendorong individu untuk berlaku kreatif.

Kultur baru yang terbentuk itu memang kerapkali berbenturan dengan pakem-pakem lama, dalam konteks ini adalah copyright. Inilah yang membuat jengah para pelaku industri dan manusia seperti Triawan. Ada sejenis rasa kaget mendapati fenomena ini. Perilaku pertukaran konten terkadang merupakan hasil “pelanggaran” terhadap copyright. Disebut pelanggaran apabila kita masih mengacu terhadap copyright gaya lama. Terkesan ironis, karena pelanggaran terhadapnya justru mendorong kreativitas individu untuk menghasilkan sesuatu.

Problematika ini bahkan telah dijadikan perhatian sejak lama, bagaimana Internet dengan pola-pola baru yang dilahirkannya, tetap dapat menempatkan kehadiran copyright di dalamnya. Salah satu usaha yang lahir atas dorongan ini ialah Creative Commons, yang mempromosikan copyright gaya baru dan menyesuaikannya dengan realitas Internet. Kajian-kajian akademis perihal polemik ini telah bermunculan di berbagai Universitas seantero dunia. Namun menutup akses tak pernah menjadi solusi. Jika ada beberapa negara yang memberlakukannya, barangkali kebijakan berangkat atas keawaman dan kemalasan yang sama dengan Triawan.

Langkah ceroboh Triawan juga semakin menunjukan pentingnya Tata Kelola Internet (Internet Governance) di Indonesia. Tak boleh lagi ada pejabat pemerintah, karena merasa memiliki otoritas, lalu dengan seenak udelnya mengeluarkan kebijakan di ranah Internet tanpa pertimbangan matang. Sebelum kebijakan terkait Internet dikeluarkan, perlu ada kajian mendalam, pelibatan berbagai pihak, dan pemahaman akan nilai-nilai di dalamnya. Pembagian peran dalam keputusan di ranah Internet pun masih teramat kabur. Dalam kasus ini, Internet Service Provider (ISP) yang mestinya menjamin akses Internet, malah dipaksa untuk menutup akses jika ada user yang melakukan pelanggaran, pelanggaran yang ditentukan secara sepihak tentunya. Jika tidak patuh, ISP akan dikenakan hukuman tidak mendapat izin beroperasi. Pada akhirnya, Tata Kelola Internet yang berantakan akan memunculkan Triawan-triawan lain yang dengan sewenang-wenang memblokir situs atau bahkan menutup akses Internet.

Dengan pola pikir kolot dalam memandang Internet, Triawan sebagai cerminan kegagapan rezim lantas berniat untuk melakukan penutupan akses Internet, hanya karena melakukan perilaku yang terbentuk dari kultur berbagi. Di sini kita dapat melihat secara terang, ada kegagalpahaman dalam mengikuti arus perkembangan zaman. Tak ada usaha mencari terobosan agar ekonomi kreatif dapat menyesuaikan diri dengan realitas Internet. Sebaliknya, malah memaksa realitas Internet untuk menyesuaikan diri dengan realitas lama yang mulai ditinggalkan. Jalan pintas diambil tanpa pemaknaan secara mendalam, Internet adalah alat untuk berbagi dan berkreasi, baik dalam melahirkan kreativitas atau membuka ruang edukasi. Langkah yang hendak diambil justru akan membawa Internet kearah kegelapan.

Maka dari itu, gelar sosok kreatif yang Triawan sandang patut kita pertanyakan. Barangkali kreativitas yang paling bisa dibanggakan hanyalah kecakapan beliau dalam menggunakan Corel Draw untuk membuat logo PDI Perjuangan, pun itu berlaku jika kita menganggap moncong putih sebagai produk inovatif nan estetis.

Triawan hanyalah satu dari sekian orang yang dapat membahayakan masa depan Internet. Para pembuat kebijakan di rezim ini sayangnya masih berpandangan serupa dengannya, dangkal dan begitu mudah mengambil jalan pintas. Tak ada dukungan untuk Internet Freedom & Openness dari rezim saat ini. Penutupan akses Internet, jelas pada akhirnya akan melanggar hak akses atas informasi. Entah berapa banyak individu yang akan kehilangan akses apabila ia benar-benar memberlakukannya. Maka jika benar demikian kita hanya bisa tercengang sembari berucap: selamat datang Internet Dark Ages, terima kasih rezim yang gagap.

 

Egi Primayogha pernah berharap Internet sebagai ranah bebas yang tidak tersentuh otoritas. Belakangan jadi sedikit pesimis.