Barbarisme adalah Kita?

Adegan Dalam Film Senyap - Anonymous
Istimewa
Film Senyap - Joshua Oppenheimer
Film Senyap – Joshua Oppenheimer

Darah itu harus diminum, kata mereka, agar si pembunuh tak jadi gila terbayang penderitaan korbannya. Kita tak paham betul apakah ada semacam zat penenang dalam darah korban yang mereka bunuh, namun mereka mempercayai itu dan mereka mengklaim mereka masih waras hingga hari ini.

Tentu kita tidak sedang menyaksikan sebuah adegan dalam film gore, di mana  adegan sadis diumbar untuk memompa adrenalin. Ucapan itu datang dari seorang tua dalam film Senyap yang dengan santai mengisahkan bagaimana prosesi setelah pembantaian itu dilakukan. Penonton tidak disajikan adegan berdarah-darah, namun serentak semua bisa membayangkan betapa mengerikan kejadian tersebut. Terasa lebih mengerikan ketika kita terhenyak sadar dari kenyamanan hidup sehari-hari: bahwa kejadian itu benar-benar terjadi di masa lalu, di tempat-tempat yang mungkin kita kenal.

Aksi pembantaian yang dituturkan sendiri oleh para pelaku ini, paling tidak mengungkapkan dua hal penting: pertama, mereka merasa sedang mengemban tugas mulia dalam melaksanakan pembantaian itu. Kedua, bagi para pembantai itu, para korban layak mendapatkan perlakuan tersebut atas dasar fantasi ketakutan yang dibangun sendiri oleh para pelaku.

Anggapan akan tugas mulia itu bisa muncul karena ada legitimasi yang diberikan negara untuk melakukan pembantaian tersebut. Seolah dengan ikut berpartisipasi aktif, mereka telah membuktikan diri sebagai warga negara yang patriotik, membela kepentingan bangsa, dan lain sebagainya. Di sini negara telah menjadi sebuah entitas yang tak dapat dipertanyakan, hanya bisa untuk dipatuhi. Di sisi lain, negara juga menawarkan romantisme “bela negara” kepada mereka yang patuh ikut ambil bagian dalam kekejaman tersebut.

Terlebih, laku pembantaian itu diberi justifikasi tambahan bahwa “massa menghendaki”, “terdapat keresahan warga”, atau dalih-dalih lain yang menggeneralisasi keseluruhan individu sebagai bagian dari “massa” tersebut. Di sini gagasan demokrasi negara modern yang memerlukan legitimasi perwalian atau legitimasi “kehendak rakyat” dalam menjalankan kebijakannya diakuisisi untuk menjalakan pembantaian tersebut. Dalih yang digunakan tentu saja soal “kepentingan bersama”, “tuntutan mendesak rakyat banyak”, meskipun dalam konteks pembantaian ‘65, itu ditujukan untuk menghancurkan mereka yang menjadi bagian dari “rakyat” atau “massa” itu sendiri.

Dari sini pula, kita temui pandangan yang cukup ganjil mengenai barbarisme. Dalam bukunya, The Fear of Barbarians, Tzvetan Todorov menyebutkan bahwa pada masa Yunani kuno, kata barbar ditujukan untuk mengidentifikasi semua orang yang bukan bagian dari peradaban Yunani. Dengan kata lain, di satu sisi ada kita sebagai orang Yunani, dan di lain sisi adalah yang barbar, atau mereka yang asing. Penyebutan asing di sini didasarkan pada ketidakmampuan dari sekelompok orang untuk berbahasa dan berkebudayaan seperti orang Yunani. Dengan kata lain penempelan label barbar dilakukan sepihak oleh mereka yang merasa lebih beradab.

Lebih lanjut label barbar juga disematkan kepada mereka yang secara sadar memutuskan hubungan kemanusiaan dengan manusia lain. Karenanya, segala laku keji terhadap manusia lain menjadi sah saja, karena mereka menolak orang lain adalah manusia juga seperti dirinya. Namun batas antara mereka yang merasa diri beradab, dan mereka yang dianggap barbar sering juga menjadi kabur. Barbarisme bisa juga mewujud di dalam laku mereka yang sudah menganggap diri beradab. Untuk kasus pembantaian ‘65 ada akumulasi fantasi ketakutan kepada PKI sebagai yang barbar itu: segala asumsi tidak beragama, kejam, melakukan pembunuhan pada jendral, dan lain-lain, disematkan terlebih dahulu kepada para korban. Kemudian hal itu menjadi legitimasi untuk melakukan barbarisme yang lain: mereka yang dengan bangga membantai bahkan meminum darah korban sebagai tugas mulia. Di sinilah letak ironisnya pandangan akan barbarisme itu: Ketakutan yang dibangun (dari pihak yang merasa dirinya lebih beradab) akan mereka yang barbar, justru menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan barbar lainnya.

Disebutkan pula bahwa kaum barbar dianggap hidup dalam sebuah habitat yang terpisah dari manusia kebanyakan, karenanya tidak ada hubungan langsung dengan komunitas yang lebih besar, atau bahkan komunitas terbayang negara-bangsa. Di sini anggapan ancaman yang barbar menjadi problematik dalam konteks negara-bangsa. Sebelumnya anggap yang barbar adalah yang asing, kemudian jadi bangsa sendiri yang sebelumnya dibayangkan bersama. Hal ini berlaku juga untuk kekejaman yang baru saja terjadi di Papua, misal, yang akan terus terjadi jika secara tersirat Papua dan orang-orang masih dianggap sebagai bagian yang asing. Kepentingan negara terhadap rakyat Papua seolah-olah hanya terbatas pada masalah eksploitasi sumber daya alam yang kaya. Untuk masyarakat Papua sendiri, seperti dianggap bagian dari Indonesia hanya saat pemilihan umum,  dan juga hanya untuk memenuhi prasyarat Bhineka Tunggal Ika dengan memasang gambar kebudayaan orang Papua di buku-buku pelajaran dan forum pameran internasional.

Berbeda dari film sebelumnya, Jagal yang lebih menekankan pada sudut pandang Anwar Congo sebagai seseorang yang mereproduksi kekejaman yang dia lakukan lewat imajinasi dan film yang dia buat, dalam Senyap kita disuguhkan perspektif si korban. Namun dalam Senyap, Joshua Oppenheimer kembali menyajikan paradoks itu: si pembantai ditampilkan tak hanya dari sisi kekejamannya saja, namun juga dari kehidupan kesehariannya, bahkan kekonyolan-kekonyolannya yang dapat mengundang geli penonton. Geli penonton? Di tengah sebuah film yang jelas-jelas mempertontonkan prosesi bagaimana nyawa seseorang dicabut? Tapi tampaknya justru keganjilan inilah yang coba digambarkan oleh Joshua untuk membahasakan bagaimana kita melihat konteks sosial para pelaku dan korban kekejaman itu.

Adegan Dalam Film Senyap - Anonymous
Adegan Dalam Film Senyap – Anonymous

Si pelaku maupun si korban mungkin saja mereka yang juga mempunyai afeksi dalam kehidupan keluarga dan kehiudpan bermasyarakatnya. Mungkin mereka beribadah dengan tekun, mempunyai cara bersenang-senang sendiri, dan lain sebagainya. Namun terlihat jelas, saat si pelaku dan si korban dihadap-hadapkan untuk membicarakan kasus pembantaian tersebut, ada kesenyapan yang melingkupi keduanya.

Senyap di sini adalah kegetiran yang tak terbahasakan bagi para korban.

Namun bagi para pelaku, senyap adalah keengganan untuk berbicara soal kekejaman yang dilakukan, meski sempat bangga mempelihatkannya dalam rekaman lain. Lebih tepatnya, keengganan itu muncul saat dihadapkan pada kesedihan si korban. Mereka takut dibilang barbar meski dengan jelas mempertontonkan perilaku tersebut sebelumnya. Di sini, pandangan bahwa laku yang dilakukannya itu benar adanya seolah-olah tergoyahkan: bagaimana ia harus menambal lubang justifikasi bahwa kekejaman yang dilakukannya itu berbeda dengan kekejaman lain, misal dari penjajah ke jajahannya, atau dari seorang pembunuh berdarah dingin pada para korbannya.

Namun kembali, romantisme bahwa apa yang dilakukannya itu mulia karena tugas negara akan terus hadir selama dari negara sendiri tidak ada upaya untuk menyelesaikan. Karenanya jalan ke depan bukan justru seakan dengan membangun hierarki di antara para korban kekejaman: apakah itu kasus ’65, Malari, Timor Leste, Talang Sari, Priok, ’98, Munir, Mesuji, maupun kekejaman berpuluh tahun di Papua. Pertama-tama bukan dengan mematok generalisasi bahwa yang paling penting semua yang jadi korban ingin gagasan ideologisnya ditegakkan, tapi menganggap keniscayaan akan kesetaraan dalam kemanusiaan. Selamat memecah kesenyapan itu!